, ,

Womangrove, Para Perempuan Penyelamat Mangrove di Tanakeke

Hayati mengusap peluh di wajahnya dengan lengan atas, sementara kedua tangannya memegang alat tulis. Sebuah lembar tulis dari plastik dan spidol warna merah. Dengan teliti ia mencatat satu persatu bibit mangrove yang mulai tumbuh hingga selutut.

“Umurnya sudah setahun lebih, mulai ditanam awal tahun lalu,” katanya tanpa mengalihkan pandangan dari objek yang ia catat.

Sabtu (23/05/2015) siang itu, kami berkesempatan menemani sejumlah perempuan Tanakeke yang tergabung dalam Womangrove melakukan monitoring pertumbuhan mangrove di perairan Kepulauan Tanakake, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Dengan perahu motor kecil berpenumpang lima orang, lokasi dicapai sekitar 15 menit dari Desa Tompotana, salah satu pulau terpadat di Kepulauan Tanakeke.

Womangrove sendiri sesuai dengan namanya berasal dari perpaduan kata woman dan mangrove, adalah sebuah komunitas perempuan yang memiliki kepedulian atas kelestarian mangrove. Komunitas beranggota 20-an orang ini berasal dari berbagai kelompok usaha perempuan di lima desa yang ada di Kepulauan Tanakeke.

Hayati kemudian memperlihatkan lembar monitoring di tangannya sambil menjelaskan cara kerjanya. “Kami mencatat banyak hal, misalnya tingkat kerapatan mangrove, keragaman jenis mangrove, populasi ikan dan udang, populasi kerang-kerangan, populasi kepiting dato’ dan kepiting eja mata,” katanya.

Lahan penanaman mangrove sendiri dulunya adalah bekas tambak milik warga yang tidak produktif lagi. Lahan itu ditanami atas persetujuan pemilik tambak.

Meski tak semuanya berpendidikan tinggi, namun para perempuan dari berbagai usia ini tampak antusias dan serius menjalankan aktivitasnya layaknya peneliti. Sebelum turun di lapangan mereka telah dibekali dengan pengetahuan penanaman dan proses monitoring. Mereka juga punya tugas tambahan mengawasi pengelolaan mangrove di kawasan tersebut.

Perempuan Womangrove dari beragam usia dan pendidikan. Mereka berbaur dalam misi yang sama menghijaukan kembali Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan seperti kondisi semula sebelum rusak oleh hadirnya tambak. Foto : Wahyu Chandra
Perempuan Womangrove dari beragam usia dan pendidikan. Mereka berbaur dalam misi yang sama menghijaukan kembali Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan seperti kondisi semula sebelum rusak oleh hadirnya tambak. Foto : Wahyu Chandra

Menurut Hayati, tidak semua lahan cocok untuk ditanami mangrove, sehingga kemudian ada proses assesment di lapangan, sebagai studi kelayakan. Meski demikian hampir semua daerah yang mereka jajaki memiliki kelayakan.

“Dulu seluruh kawasan di Tanakeke ini memang adalah hutan mangrove, sehingga hampir semuanya layak untuk pertumbuhan mangrove,” katanya.

Meski terlihat mudah namun pekerjaan penanaman dan monitoring ini penuh tantangan. Tidak hanya karena teriknya matahari, namun juga resiko terluka dalam aktivitas.

“Kalau turun biasanya memang kami tak pakai alas kaki sehingga kalau sedang sial bisa tertusuk ikan karang yang durinya beracun. Bisa sampai berhari-hari kaki bengkak dan badan panas dingin kalau kena racun ikan itu,” jelas Hayati.

Aktivitas ini pun dilakukan secara sukarela oleh para perempuan Tanakeke ini, memanfaatkan waktu luang mereka. Menurut Hayati, kesenangannya ketika aktivitas dilakukan ramai-ramai dan ketika mangrove yang ditanam mulai tumbuh dengan baik.

Sebagian besar perempuan di Womangrove ini adalah ibu rumah tangga, yang selain membantu pekerjaan suami juga mengelola usaha budidaya rumput laut. Tak heran ketika kita memasuki pesisir Tanakeke terlihat ratusan bentangan tali yang ditumbuhi rumput laut mengapung di laut.

Para perempuan yang tergabung dalam Womangrove, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan ini adalah kesehariannya bekerja membantu suami budidaya rumput laut. Ada juga jenis usaha lain, seperti pembuatan beragam produk makanan dari hasil laut. Foto : Wahyu Chandra
Para perempuan yang tergabung dalam Womangrove, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan ini adalah kesehariannya bekerja membantu suami budidaya rumput laut. Ada juga jenis usaha lain, seperti pembuatan beragam produk makanan dari hasil laut. Foto : Wahyu Chandra

Mereka juga mengusahakan berbagai produk makanan berbahan baku hasil laut, seperti keripik ikan, kepiting dan rumput laut.

Menurut Irham Rapy, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL), Tanakeke dulunya memang kawasan mangrove. Sayangnya, pada 1980-an ketika sedang terjadi booming udang, banyak lahan mangrove kemudian dikonversi menjadi tambak udang.

“Sayangnya ketika tambak ini tidak produktif lagi kemudian banyak ditinggalkan begitu saja. Kini hanya sebagian kecil saja dari lahan mangrove ini yang tersisa,” ungkapnya.

Hasil penelitian Mangrove Action Plan (MAP) pada 2010 menemukan bahwa dalam 30 tahun terakhir, lahan mangrove di Tanakeke menurun cukup drastis, dari 1776 hektar atau hampir keseluruhan luas daratan Tanakeke menjadi hanya 500 hektar saat ini.

Oxfam didukung Canadian International Development Agency (CIDA) membuat program perbaikan penghidupan pesisir atau Restorasi Coastal Livelihood (RCL) pada 2010 di Tanakeke, dengan salah satu program yaitu gerakan restorasi mangrove. Tidak hanya menyelamatkan mangrove di pesisir, program ini juga menginisiasi lahirnya sebuah kawasan konservasi mangrove seluas 51,5 hektar di Bangko Tapampang, yang dikelola warga secara swadaya.

Lahirnya kawasan konservasi, berawal dari dibentuknya forum pemerintah desa Tanakeke, yang membuat konsensus bersama melahirkan kawasan konservasi Bangko Tapampang.

Forum juga menginisiasi lahirnya Peraturan Desa tentang Mangrove pada 2012, yang efektif menghambat laju deforestasi kawasan mangrove di kepulauan ini.

Forum yang masih aktif ini, melakukan pertemuan tiap tiga bulan di lokasi yang disepakati bersama melalui apa yang mereka sebut Safari Tanakeke.

“Di pertemuan ini mereka membicarakan berbagai hal, baik tentang perkembangan penanaman mangrove di desa masing-masing ataupun masalah-masalah lintas desa. Forum ini secara efektif menjadi perekat bagi warga dari berbagai desa berbeda,” papar Irham.

Kepulauan Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan mencakup lima desa dengan total penduduk sekitar 7000 jiwa. Dulu sebagian besar kawasan ini adalah hutan mangrove, kaya dengan beragam hasil laut dan bahkan mutiara. Foto : Wahyu Chandra
Kepulauan Tanakeke, Mappakasunggu, Takalar, Sulawesi Selatan mencakup lima desa dengan total penduduk sekitar 7000 jiwa. Dulu sebagian besar kawasan ini adalah hutan mangrove, kaya dengan beragam hasil laut dan bahkan mutiara. Foto : Wahyu Chandra

Program Oxfam di Tanakeke sendiri akan segera berakhir, meski belum semua perencanaan penanaman mangrove dilaksanakan. Namun kondisi ini tidak membuat gerakan perempuan ini berhenti tengah jalan.

“Kita tetap akan melanjutkan program yang sudah ada dan sudah direncanakan hingga beberapa tahun ke depan. Meski tanpa ada lagi Oxfam program akan tetap jalan,” ungkap Abbasiah Nutta, anggota Womangrove lainnya.

Meski berharap ada program lanjutan dari lembaga lain, namun jika pun tak ada Abbasiah tetap yakin Womangrove bisa tetap eksis.

“Kalau bibit kita bisa ambil dari yang sudah ada. Ini bisa tetap lanjut dengan swadaya masyarakat,” katanya.

Kepulauan Tanakeke sendiri adalah sebuah gugusan pulau kecil yang berada di pesisir selatan Sulawesi Selatan. Terdapat lima desa di kepulauan ini berpenduduk sekitar 7000 jiwa. Meski kaya dengan hasil laut dan daratan yang subur, namun sebagian besar kepulauan ini tidak memiliki sumber air bersih untuk konsumsi.

Menurut Tajuddin Daeng Ngerang, Kepala Desa Tompotana, keterbatasan air bersih ini membuat mereka harus membeli air dari daratan Takalar. Ia memperkirakan dalam sebulan jumlah total anggaran yang dikeluarkan warga untuk membeli air bersih mencapai Rp 60 juta.

Perairan Tanakeke juga dikenal kaya dengan mutiara alam, ikan napoleon, ikan karang, hiu dan bahkan diperkirakan menjadi salah satu rute mamalia laut.

“Sudah sering warga melihat adanya penampakan ikan paus, bahkan ada yang pernah ditemukan mati terdampar beberapa bulan lalu,” ungkap Irham.

Pelatihan Perencanaan Penanaman

Suksesnya restorasi mangrove dengan lahirnya kawasan konservasi Bangko Tapampang dan di sebagian wilayah pesisir Tanakeke tidak membuat warga berpuas diri. Warga bahkan bermimpi untuk mengembalikan kondisi Tanakeke ke kondisi semula sebelum terjadi konversi lahan menjadi tambak.

Dari mimpi warga inilah kemudian menjadi acuan dari program RCL Oxfam untuk memberi pelatihan bagi warga terkait perencanaan penanaman mangrove.

Menurut Fatmasari Hutagalung, Program Officer RCL Oxfam, perencanaan ini penting dalam mempercepat dan memperluas jangkauan restorasi mangrove, karena selain potensi lahan restorasi yang cukup besar, juga besarnya antusiasme warga, khususnya perempuan, untuk terlibat dalam upaya restorasi tersebut.

“Melalui kegiatan ini diharapkan warga Kepulauan Tanakeke akan memiliki perencanaan teknis, yang dalam hal bahasa teknis mudah dipahami, dalam bentuk apa kegiatannya dan akan menghasilkan apa, yang secara bertahap mereka rancang itu harus ada inline, sehingga pantauannya nanti terukur oleh mereka sendiri,” ungkap Fatmasari.

Kegiatan ini dilakukan memadukan teori dan praktek. Para peserta dibagi dalam beberapa kelompok dimana mereka menyusun proses perencanaan di daerahnya masing-masing. Mereka juga diminta menggambarkan bagaimana kondisi yang diharapkan terjadi di Kepulauan Tanakeke lima tahun ke depan.

Fatmasari berharap apa yang dihasilkan dari kegiatan ini bisa terus berkesinambungan meski program RCL tak ada lagi. “Idealnya proses-proses seperti ini yang harus selalu mereka lakukan. Tools-nya bisa digunakan untuk perencanaan desa. Makanya kita membuatnya secara sederhana,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,