,

KLHK Diminta Patuhi Putusan Sidang KIP Terkait Keterbukaan Informasi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diminta mematuhi hasil putusan sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) tertanggal 8 Mei 2015, yang mengabulkan seluruh gugatan permohonan informasi yang disengketakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI). Dalam putusan tersebut, KLHK diwajibkan memberikan informasi yang dimohonkan FWI paling lambat 14 hari setelah putusan dikeluarkan, meski jika menolak KLHK bisa menempuh langkah keberatan.

Namun, bukannya patuh pada hasil sidang, KLHK justru melayangkan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 29 Mei 2015. “Ini tentu saja mengabaikan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik  dan tentunya menciderai visi pemerintah dalam menjalankan tata kelola pemerintahan yang tertera jelas dalam nawacita,” ujar Christian  Purba, atau akrab disapa Bob dari Forest Watch Indonesia.

Bob menuturkan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2008 memandatkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam merumuskan, melaksanakan, hingga mengawasi pelaksanaan sebuah kebijakan publik merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance. Tetapi, pada dokumen permohonan keberatan yang diajukan KLHK ke PTUN Jakarta, disebutkan bahwa data yang dipinta FWI merupakan rahasia perusahaan sehingga harus dikecualikan.

Padahal, data yang dimohonkan berupa informasi dasar untuk memantau pengusahaan hutan sehingga dapat diketahui mana yang legal dan ilegal. “Harusnya, KLHK tidak memandang data tersebut sebagai dokumen perusahaan yang harus ditutupi dan akan menimbulkan persaingan tidak sehat. Cara berpikir ini harus dirubah.”

Menurut Bob, informasi yang dimohonkan FWI berupa dokumen rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK), rencana kerja tahunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKTUPHHK), rencana pemenuhan bahan baku industri (RPBBI) diatas 6.000 meter kubik, serta izin pemanfaatan kayu (IPK).

“Keberatan KLHK untuk mematuhi putusan KIP merupakan bukti nyata belum transparannya tata kelola hutan di Indonesia dan masih kuatnya keberpihakan KLHK kepada perusahaan ketimbang melindungi hak masyarakat,” jelasnya, Rabu (10/6/15).

Henri Subagiyo, Direktur Indonesian Center of Environment Law (ICEL), menuturkan meski KLHK memiliki hak keberatan dengan menempuh jalur banding, namun langkah tersebut sangat disayangkan. Mengingat, putusan KIP No 030/I/KIP-PS-A-M-A/2014 merupakan kekutan hukum yang harusnya diikuti bukan diabaikan. “Dengan banding yang dilakukan sekarang, ada stigma bahwa KLHK tidak komitmen dengan keterbukaan informasi.”

Menurut Henri, akan lebih bijak jika Menteri LHK, Siti Nurbaya, menarik pengajuan banding tersebut dan memimpin langsung segala kebijakan keterbukaan informasi di KLHK agar bebas dari segala kepentingan. “Terlebih, KLHK merupakan acuan utama pelaksanaan keterbukaan informasi dan transparansi tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di daerah.”   

Tak jauh berbeda, Teguh Surya, Juru Kampanye Politik Hutan Greenpeace, menyatakan bahwa mustahil tata kelola kehutanan dapat dilakukan bila keterbukaan informasi tidak dijalankan. “Langkah KLHK sangat bertolak belakang dengan semangat Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam yang telah ditandatangani 27 kementerian dan lembaga. Semakin tertutup semakin besar pula peluang korupsi yang dilakukan,” ujarnya.

Keterbukaan informasi diperlukan demi tata kelola hutan yang lebih baik di Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad
Keterbukaan informasi diperlukan demi tata kelola hutan yang lebih baik di Indonesia. Foto: Rahmadi Rahmad

Banding

Di lain pihak, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) KLHK Bintoro mengatakan, pihaknya keberatan atas putusan Komisi Informasi Pusat yang mengabulkan permohonan sengketa informasi publik oleh Forest Watch Indonesia. Karenanya, KLHK mengajukan banding ke PTUN Jakarta Timur tanggal 29 Mei 2015, sembari berharap putusan tersebut bisa dibatalkan.

“Kami hanya ingin menambah poin-poin yang dikecualikan, terutama yang berkaitan dengan rencana kerja usaha, rencana kerja tahunan, serta pengelolaan keuangan dan distribusi kayu,” ujarnya saat dihubungi Mongabay-Indonesia via telepon, Jumat (12/6/2015).

Lebih lanjut Bintoro mengatakan, dokumen-dokumen tersebut apabila dibuka ke publik akan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Pada dasarnya, KLHK mendukung keterbukaan informasi publik. Hanya saja harus ada pengecualian untuk dokumen-dokumen tertentu.

“Seolah-olah dokumen itu sepenuhnya milik publik. Padahal, ada yang domainnya perusahaan. Kita harus memilah mana informasi yang bisa diberikan untuk publik dan mana yang dokumen rahasia perusahaan,” ujarnya.

Terkait dengan dokumen izin pemanfaatan kayu, Bintoro mengatakan, dokumen yang ada di KLHK hanya sedikit. Tak lebih dari 10 persen dari keseluruhan IPK yang diterbitkan. “Ini karena dinas di kabupaten dan provinsi tidak membuat laporan. Padahal, kami sudah mengirimkan surat. Jadi kalau dipaksa untuk memberikan data tersebut, ya tidak ada.”

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto, sebagaimana dikutip dari Bisnis.com, menuturkan bahwa pihaknya menghormati putusan KIP yang mengabulkan gugatan FWI. Namun menurutnya, jika informasi mengenai rencana kerja usaha atau rencana kerja tahunan dibuka dapat mengganggu perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan persaingan dari usaha tidak sehat.

“KLHK perlu menetapkan informasi yang dapat diakses publik tetapi tetap mengedepankan perlindungan terhadap pelaku usaha dari persaingan tidak sehat,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,