, , , ,

Lahan Terampas Sawit, Beginilah Nasib Warga Desa Biru Maju

Konflik antara warga Desa Biru Maju dan anak usaha Sinar Mas ini sudah berlarut-larut. Kriminalisasi warga terjadi berulang kali. Kini, proses mediasi antara warga dengan perusahaan oleh RSPO sedang berlangsung.  

Suasana pagi di Desa Biru Maju, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sekilas tampak biasa saja, akhir Mei 2015. Beberapa pria setengah baya asik menghisap sebatang rokok sambil bersenda gurau di bangku kayu. Mereka sedang santai di depan rumah Kepala Desa, Purnomo.

Sepeda motor tampak hilir mudik. Beberapa anak-anak tampak diantar orangtua ke sekolah. Tampak perempuan dan laki-laki,  menuju ladang.

Namun, kehidupan warga di sana sesungguhnya tak setenang suasana itu. Kondisi bahkan, bak api dalam sekam. Warga dirundung kesulitan dan kesal karena lahan hidup mereka di wilayah transmigrasi ini terampas kebun sawit.

Semua ini bermula saat perkebunan sawit,  PT Buana Artha Sejahtera (BAS), grup Sinar Mas masuk ke desa mereka 2004. Perusahaan itu mendapatkan izin lokasi pada April 2004 seluas 14.300 hektar. Izin usaha keluar 22 November 2004.

Eben Eser Simamora, warga Desa Biru Maju menceritakan, pertama kali masuk desa ini Oktober 1998. Saat itu,  suasana desa hutan lebat. Dia mendapatkan lahan bersertifikat seluas dua hektar. Setengah hektar untuk rumah dan pekarangan, setengah hektar lahan usaha satu (LU-I) dan satu hektar lahan usaha dua (LU-II).

Namun LU-I tak bisa digunakan karena diklaim masyarakat lokal. Sedang LU-II, tanah berpasir dengan kedalaman tiga meter. Lahan itu hingga kini tak pernah digunakan. Keadaan ini membuat Eben dan warga Biru Maju membuka lahan di kawasan pengembangan transmigrasi yang berstatus area penggunaan lain (APL). Lahan pencadangan seluas 657 hektar. Dia membuka lahan 1999, dan surat keterangan tanah diperoleh 2002.

“Dulu saya garap dua hektar ditambah dua hektar milik orangtua. Karena ada BAS, lahan saya sekarang tak ada,” katanya.

Menurut Eben, BAS land clearing lahan pengembangan transmigrasi tanpa ada sosialisasi. Lahan yang sempat ditanami jahe, kunyit dan sayuran lain, diserobot perusahaan.

Hingga kini, katanya, BAS tak mempunyai hak guna usaha (HGU) dan izin pelepasan kawasan hutan. “Kepala desa sebelumnya mencoba membujuk masyarakat agar mau menyerahkan lahan kepada perusahaan. Katanya kalau pun tak dijual percuma, masyarakat tak akan dapat apa-apa.”

Nilai ganti rugi yang ditawarkan perusahaan melalui kades lalu Rp1 juta per hektar. Masyarakat yang awam hukum, akibat bujuk rayu kades dengan sedikit intimidasi beberapa diantara mereka menyerahkan lahan garapan.  “Kades sebelumnya melakukan penipuan sosialisasi. Memberikan arahan tidak benar.”

Kala itu, kades mendatangi warga satu per satu. Beberapa warga menyerahkan lahan, termasuk ibu Eben. Saat itu ibunya menerima Rp4 juta untuk ganti rugi lahan empat hektar.

“Anehnya, SKT lahan hingga kini masih ada di saya. Itu menandakan proses jual beli tidak sah. Ibu menerima uang tanpa sepengetahuan saya. Dia awam hukum. Harusnya jual beli tak bisa melalui pihak kedua. Itu pun nilai jual beli lahan tak sesuai. Rendah sekali,” katanya.

Menurut Eben, nilai ganti rugi yang diberikan, tak layak. Nilai itu seperti hanya upah membersihkan lahan, bukan . nominal jual beli tanah.

Desa Biru Maju, dengan sebagian warga hidup tanpa lahan karena sudah menjadi 'milik' perusahaan. Foto: Indra Nugraha
Desa Biru Maju, dengan sebagian warga hidup tanpa lahan karena sudah menjadi ‘milik’ perusahaan. Foto: Indra Nugraha

Kini, Eben sama sekali tak mempunyai lahan garapan. Kehidupan ekonomi sangat sulit. Dia terpaksa bekerja serabutan. Sesekali berjualan barang bekas. Padahal dulu dia bertani. Tanah garapan kini dikuasai perusahaan.

Tahun 1997,  wilayah transmigrasi Desa Biru Maju dibuka oleh pemerintah dengan SK Gubernur Kalteng tentang pencanangan pemukiman transmigrasi Padas Sebut DI dan DII dengan luas 8.000 hektar. Sebelum masuk transmigrasi, wilayah ini bagian Desa Sebabi. Penduduk desa ini 270 keluarga dengan 700 jiwa. Mayoritas suku Jawa.

Lukman Rianto, warga lain juga bercerita. Dia punya teman juga ikut transmigrasi dari Tasikmalaya.
“Namanya Pak Kasta. Dulu dia punya lahan enam hektar dan ditanami sawit. Kades sebelumnya bujuk agar dijual tanah ke perusahaan. Ganti rugi Rp6 juta. Padahal modal buka lahan dan beli bibit Rp9 juta.”

Kini,  Kasta tak lagi tinggal di Biru Maju. Dia pulang ke Tasikmalaya karena sudah tak ada lahan. Putus asa, rumah dia di Biru Maju juga dijual.

Penyerobotan lahan oleh perusahaan bukan tanpa perlawanan. Berkali-kali warga Biru Maju, melawan. Namun tak membuahkan hasil. Tanah tetap diduduki perusahaan.

Wayan Sutomo, warga Biru Maju  mengatakan, lahan yang bersengketa itu dulu pernah diduduki masyarakat awal 2013. Siang malam warga bergantian berjaga dan mendirikan pos.

“Hampir dua bulan. Perusahaan awalnya  diam saja. Setelah itu sewa preman dari Bangkal untuk bubarkan masyarakat. Kami akhirnya mundur. Preman saat itu tiga orang. Kami bukan takut melawan tetapi memikirkan bahwa kami punya anak istri.”

Saat itu, terjadi aksi dorong-dorongan antara warga dan preman. Setelah berhasil mengusir warga, perusahaan memasang portal. Namun dihadang warga.

“Setelah itu, mereka malah mengundang anak-anak muda untuk panen paksa kebun sawit masyarakat yang berdekatan dengan lahan sengketa. Jumlahnya delapan orang. Usia antara 20-25 tahun,” kata Wayan.

Luasan kebun sawit  masyarakat yang sempat dipanen paksa antara lain, milik  Fauzi satu hektar, Sadi empat hektar dan Nyoto enam hektar. Masyarakat yang melihat kejadian langsung melapor ke desa.

“Yang punya lahan tak berani tangani sendiri. Kami langsung laporan ke Pospol Simpang Sebabi. Mereka langsung naik dan lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Delapan orang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Mereka hanya diharuskan membuat perjanjian tak akab melakukan hal itu lagi. Pengakuan mereka, disuruh perusahaan.”

Jalan dan kebun sawit di wilayah perusahaan. Foto: Indra Nugraha
Jalan dan kebun sawit di wilayah perusahaan. Foto: Indra Nugraha

Intimidasi juga dialami keluarga Wayan. Lahan mertuanya seluas dua hektar terpaksa dijual karena ada intimidasi perusahaan melalui kades sebelumnya. Saat itu,  warga Desa Biru Maju belum mendapatkan pendampingan.

“Ini yang membuat kembalikan kepercayaan ke pemerintah desa menjadi sulit. Masyarakat terlanjur kecewa. Kini terpecah. Ini jadi kendala tersendiri di masyarakat,” katanya.

Dia juga tak punya lahan garapan. Keadaan  makin sulit. Namun dia bertahan di Desa Biru Maju karena ada tanggung jawab untuk bersama-sama warga lain menuntut kembali hak mereka.

Masuknya perkebunan sawit juga membuat persediaan air bersih berkurang. “Air bersih susah. Sebelum perusahaan masuk, air bersih gampang. Air di sungai ngalir terus. Sekarang kering. Karena perusahaan bangun Parit Gajah sebagai batas antara perusahaan dan desa. Untuk antisipasi pencurian buah. Ternyata malah menyusahkan warga. Bangun parit membuat aliran air terputus,” kata Saridi, warga yang tinggal dekat Parit Gajah.

Kini Saridi hanya mengandalkan genangan air saat hujan. Jika kemarau, dia mencari air ke rumah kepala desa. Kades juga membuat beberapa sumur bantuan untuk warga.

Kriminalisasi

Konflik di Desa Biru Maju berujung upaya kriminalisasi. Salah satu dialami Kepala Desa, Purnomo. Dia pernah ditahan tujuh bulan karena berupaya mempertahankan lahan miliknya.

“Tahun 2008, lahan milik saya seluas 8,43 hektar ditanami perusaahaan tanpa izin. Upaya saya waktu karena masyarakat belum tahu aturan saya memakai perlawanan di lapangan. Larang perusahaan,  untuk tidak beraktivitas di lahan saya,” kata Purnomo.

Selang beberapa saat, asisten perusahaan bernama Aris meminta membuat tapal batas antara lahan perusahaan dan masyarakat. Jadi, dibuatlah jalan sebagai tapal batas pada 2010. Meski begitu, perusahaan tetap melanjutkan aktivitas.

“Tanaman yang masuk di lahan saya berbuah. Saya izin ke asisten memanen di kebun saya. Saat pemanenan dipantau satpam perusahaan dan TNI. Pemanenan saya lakukan 14 kali. Awalnya itu tak menimbulkan masalah.”

Lahan warga yang ditanami sawit perusahaan kini status quo. Pohon sawit sudah tumbuh dewasa. Kini, proses mediasi difasilitasi RSPO sedang berlangsung antara awarga dan perusahaan. Foto: Indra Nugraha
Lahan warga yang ditanami sawit perusahaan kini status quo. Pohon sawit sudah tumbuh dewasa. Kini, proses mediasi difasilitasi RSPO sedang berlangsung antara awarga dan perusahaan. Foto: Indra Nugraha

Namun, akhir 2010, asisten perusahaan bernama Aris itu  pindah ke cabang lain. Saat Purnomo mengantarkan anak operasi amandel di Ponorogo,  anak lain yang berada di desa panen ke-15.

“Saat berada di Ponorogo, saya dapat kabar kalau anak saya ditangkap perusahaan dan dilaporkan ke Pospol Simpang Sebabi dengan tuduhan pencurian buah sawit,” katanya

Tak lama, sang anak bebas berkat bantuan masyarakat lain. Sepulang dari Ponorogo, dia menghadap kepolisian memberitahukan bahwa tuduhan perusahaan ada kaitan dengan unsur perdata karena lahan milikinya, namun ditanami perusahaan.

“Polsek Kota Besi langsung mempidana saya. Bahwa saya dituduh melakukan dan menyuruh pemanenan. Upaya saya pada waktu itu minta kapolsek untuk cek lahan karena ada unsur perdata. Proses penangkapan saya tidak ada surat panggilan perintah penangkapan.”

Dia dimintai keterangan untuk  berita acara pemeriksaan (BAP). Pemanen dan penjaga dimintai keterangan. Terakhir ketika mengantarkan saksi,  7 April 2011, polisi menetapkan dia sebagai tersangka dan langsung ditahan.

“Saya minta di GPS ulang. Saat GPS ulang, terbukti lahan saya masuk APL untuk transmigrasi,” katanya.

Hal itu sudah sesuai surat Menteri Kehutanan S.486 tahun 2010. Lahan klaiman perusahaan, berdasarkan pengecekan Dinas Transmigrasi, tumpang tindih seluas 657,656 hektar.

“Setelah dapat surat Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengenai penunjukan kawasan, sekdes menanyakan ke Dinas Transmigrasi terkait APL transmigrasi Biru Maju. Tanggapan Dinas Transmigrasi tertulis area APL untuk transmigrasi hanya sepenuhnya untuk pengembangan trasnmigrasi dan tidak untuk kepentingan pihak lain. Surat itu jelas,” kata Purnomo.

Atas dasar surat itulah, Sekdes Mulyani Handoyo bersama warga aksi ke Gedung DPRD Kotawaringin Timur. Saat itu, ada rekomendasi DPRD, salah satu poin penangguhan kepala desa dan meminta  polisi menindak tegas BAS  karena area perizinan masuk kawasan hutan.

“Rekomendasi tak dijalankan. Saya tetap ditahan. Masyarakat bersama sekdes berdasarkan rekomendasi DPRD,  surat  Dinas Trasmigrasi dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan, memblokir akses jalan menuju area sengketa Juni 2011.”

Imbas ini, Sekdes dilaporkan BAS ke polisi. Dia dianggap mengganggu kegiatan perkebunan dengan mengacu UU Perkebunan. Sekdes ditahan. Jadi, kades dan sekdes ditahan bersamaan. Birokrasi di kantor pemerintah desa sempat lumpuh.

Sekdes divonis delapan bulan. Dia mengajukan banding, tetapi ditolak. Saat banding, vonis bertambah menjadi 18 bulan. Dia mengajukan kasasi, putusan 2014,  tak berubah.

Hamparan sawit di kawasan perusahaan. Foto: Indra Nugraha
Hamparan sawit di kawasan perusahaan. Foto: Indra Nugraha

“Sekdes sebelum proses persidangan selesai, masa persidangan habis. Dia didampingi Walhi, Save Our Borneo, Sawit Watch,  Pilnet dan LSM lain. Saat saya belum ada dampingan dari siapapun.  Sekdes ditahan lima bulan. Persidangan belum selesai masa tahanan selesai.”

Saat ini, Sekdes Mulyani Handoyo, bebas. Amar putusan MA tak ada perintah penahanan. Meski vonis jauh lebih berat dibanding sebelumnya.

“Kemarin ada panggilan kejaksaan mengenai perintah eksekusi tetapi dasar eksekusi tak ada. Karena amar putusan tak ada perintah ditahan. Sekarang kegiatan normal tetapi dibayang-bayangi ketakutan.”

Kriminalisasi juga pernah dialami Ibnul Mubarok. Bapak tiga orang anak ini pernah ditahan enam bulan dengan tuduhan mencuri sawit.

“Dulu saya tak dapat kerja. Pak As, teman saya ngajak ambil buah sawit jatuh. Saya tak tahu itu lahan perusahaan. Pak As bilang itu lahan milik temannya. Saya mau saja hitung-hitung buat nambah biaya hidup,” katanya.

Ibnul tak punya lahan garapan. Sehari-hari dia sebagai penambang emas tradisional. Dia tak sempat membuka lahan, hanya menjaga.

“Setelah dapat sembilan karung, kira-kira dua kuintal, saya mau ambil motor karena sudah sore. Teman saya sudah tak ada. Saya waktu itu tak paham, jadi nunggu saja di jalan sambil baringan. Lalu tiba-tiba ada satpam datang. Dia bilang Pak As sudah ditangkap.”

Dia merasa tak mencuri. Dia ditahan Agustus 2013 dan keluar Februari 2014.

Purnomo mengatakan, tak hanya Ibnul mengalami kriminalisasi. Dia mencatat,  setidaknya ada lima orang dipidana dengan tuduhan sama,  mencuri buah sawit.

Proses mediasi

Mediasi dengan perusahaan bukan tak pernah dilakukan. Perundingan sudah berkali-kali tetapi hasil buntu. Kini lahan bersengketa berstatus quo. Masyarakat tak bisa memanen sawit, begitupun perusahaan. Kebun sawit itu kini tak terawat.

“Setelah saya jalani pidana tujuh bulan, saya mengurus bebas bersyarat dan menghadap pimpinan manager BAS Aset Puri. Agar mengambil jalan tengah. Perusahaan aman, dan masyarakat tak dikorbankan,”ucap Purnomo.

Tanggapan perusahaan dingin. Mereka tetap kelola lahan karena merasa mengantongi izin bupati. Izin prinsip dari Bupati Kotawaringin Timur dan izin lokasi oleh Gubernur Kalteng keluar 2004. Namun, perusahaan belum memiliki HGU maupun izin pelepasan kawasan hutan.

“Karena masyarakat sudah mengantongi legalitas yang kuat, masyarakat menutup jalan kembali pada 20 September 2013. Kami pemberitahuan kepada perusahaan, DPRD,  bupati dan gubernur untuk selesaikan kasus ini segera. Tetapi tak ada tindakan.”

Puncaknya,  ada upaya dari kepolisian agar masyarakat membuka pagar di perbatasan sengketa. Awalnya  masyarakat bertahan. Hingga ada pertemuan dengan perusahaan, 22 September 2013.

“Kami rapat memilih perwakilan masyarakat saat mediasi dengan perusahaan dan RSPO. Kita ada empat opsi. Pertama menuntut hibah. Kedua, tanah dikembalikan dan sawit dibongkar. Ketiga bagi hasil. Keempat, plasma,” kata Wayan.

Mediasi bersama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dilakukan di Sampit 8-12 Juni 2015. Pertemuan pertama dengan RSPO terjadi Oktober 2014 di Swissbell Hotel Palangkaraya. Sebelumnya,  warga beberapa kali bertemu orang RSPO. Dia berharap, badan itu mampu menjawab permasalahan.

Arie Rompas, Direktur eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, Sinar Mas sebagai anggota RSPO harus menunjukkan komitmen kuat menyelesaikan konflik.

RSPO, katanya,  harus memastikan anggota menjalankan prinsip dan kriteria agar bebas konflik, merusak lingkungan, menghancurkan hutan dan lahan gambut serta patuh pada hukum Indonesia.

Dia berharap, hak- hak masyarakat atas tanah bisa terwujud. Konflik yang dialami masyarakat sudah berlarut-larut dan berjalan hampir delapan tahun.

Nordin, Direktur Eksekutif SOB mengatakan, makin lama persoalan di Biru Maju tidak mengerucut pada penyelesaian karena proses selalu ditunda hingga muncul pemain baru yang mengambil kesempatan. Tak hanya dari perusahaan juga masyarakat, dan LSM.

“Ini hanya persoalan bagaimana semua pihak mau menyelesaikan. Bukan hanya masing-masing mau menang. Saya lihat masyarakat mau sedikit mengalah. Justru perusahaan makin maju dengan membuat Parit Gajah, pengamanan lebih intensif dan serius dengan melibatkan aparat keamanan. Termasuk kriminalisasi yang membuat orang trauma hingga perundingan macet.”

Beberapa mediasi tak menghasilkan penyelesaian serius. Nordin menganggap, perusahaan sengaja mengulur waktu, pemerintah daerah lepas tangan, ditambah muncul pemain di balik kasus ini.

Tarik ulur waktu ini akhirnya membuat masyarakat terpecah. Beberapa orang mulai kelelahan dan menyerah. Ada juga yang mengambil langkah lain.

Nordin mengatakan, kalau tanah itu memiliki alas hak jelas seharusnya dikembalikan atau bisa jadi hibah dan plasma. Sebab, ada kewajiban perusahaan bisa bekerjasama dengan masyarakat sekitar.

Perusahaan, katanya,  tak punya HGU maupun izin pelepasan kawasan hutan. Kini, mereka mengajukan mekanisme PP 60 (pemutihan), tetapi tak ada respon dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Entah diberi izin atau tidak pelepasan itu. Tak jelas juga.”

Mengenai proses mediasi warga dan perusahaan oleh RSPO, Nordin, tak begitu yakin. Soalnya, banyak kasus dengan masalah lebih sederhana dari Desa Biru Maju, tak sukses ditangani RSPO.

Amalia Falah Alam, bagian pengaduan RSPO yang menangani kasus mengatakan, masalah warga Biru Maju dan BAS masih proses mediasi. RSPO, katanya, akan berkerja bersama mediator profesional dari Pusat Mediasi Nasional. “Kami akan ada pertemuan dengan kedua pihak, perusahaan dan masyarakat di Sampit minggu ini,” katanya, Rabu (10/6/15).

Papan pengumuman berisi larangan-larangan aktivitas di kebun perusahaan. Foto: Indra Nugraha
Papan pengumuman berisi larangan-larangan aktivitas di kebun perusahaan. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,