,

Presiden Jokowi Diharapkan Dukung Peringatan Hari Bumi pada 23 Maret

Gagasan peringatan Hari Bumi pada 23 Maret, berdasarkan Prasasti Talang Tuo yang merupakan situs Kerajaan Sriwijaya, disambut positif sejumlah pegiat lingkungan hidup dan budaya di Palembang. Mereka berharap Presiden Jokowi dapat mempertimbangkan gagasan yang disampaikan budayawan Taufik Rahzen.

“Itu gagasan yang luar biasa. Gagasan tersebut sungguh pembacaan yang cerdas terhadap Kerajaan Sriwijaya,” kata Aziz Kamis, pegiat budaya dan politik di Palembang, Rabu (10/06/2015).

Aziz pun memperkirakan peringatan Hari Bumi tersebut dapat dijadikan konsolidasi masyarakat Indonesia, termasuk bangsa-bangsa di Asia maupun dunia, terhadap kondisi lingkungan hidup yang kian kritis saat ini. “Apalagi ini konsep dari sebuah kerajaan yang pernah berjaya di Asia di masa lampau,” katanya.

“Pada 2018 nanti, Palembang akan menjadi tuan rumah Asian Games. Jika peringatan Hari Bumi tersebut dimulai di Palembang pada 2016 nanti, maka peristwa olahraga tersebut, bukan semata olahraga tapi juga kebangkitan kesadaran akan masa depan lingkungan hidup,” ujarnya.

“Alangkah mulianya jika Presiden Jokowi turut mendukung gagasan ini,” katanya.

Pintu masuk kejayaan Sriwijaya

Husni Thamrin, Ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya (Malaya) yang menyelenggarakan Seminar International “Budaya Melayu Sebagai Akar Tradisi Nusantara” bersama Lembaga Kajian Indonesia (LKI) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Sriwijaya, di Kuto Besak Theater, Palembang, Senin (08/06/2015), mengatakan gagasan peringatan Hari Bumi pada 23 Maret, merupakan pintu masuk untuk membuka kebesaran “Kerajaan Sriwijaya” sebenarnya. “Begitu banyak nilai-nilai keluhuran Sriwijaya yang belum diketahui oleh bangsa Indonesia hari ini. Padahal nilai-nilai tersebut jika dijalankan akan membangun Indonesia menjadi lebih maju, seperti halnya Sriwijaya berjaya selama ratusan tahun di masa lalu, sehingga bangsa dunia pun menghormati Sriwijaya. Kejayaan tersebut diraih karena para pemimpin Sriwijaya sangat peduli Bumi,” katanya.

Dikatakan Husni, yang saat ini tengah studi doktoral kebudayaan di Universitas Indonesia, sebagai produk kebudayaan Melayu, Kerajaan Sriwijaya harus dipahami dari berbagai unsur kebudayaan. “Jangan hanya dilihat dari politik kekuasaan dan agama saja, juga mengenai pengelolaan lingkungan hidup, ekonomi, karakter kepemimpinan, dan seni budayanya,” katanya.

“Nah, naskah Prasasti Talang Tuo mencerminkan peradaban Sriwijaya yang tinggi tersebut,” ujarnya.

“Sungguh luar biasa jika Presiden Jokowi mendukung peringatan Hari Bumi pada 23 Maret, sehingga Indonesia terbukti memiliki sejarah dan budaya yang tinggi di dunia, khususnya di Asia,” katanya.

Sebelumnya Dr. Agus Aris Munandar, Guru Besar Universitas Indonesia, yang juga seorang arkeolog, berpendapat Prasasti Talang Tuo merupakan satu-satunya prasasti tua di Indonesia yang bicara soal lingkungan hidup. Tidak hanya bicara taman dengan beragam tanaman, juga tata ruang taman berupa kanal dan kolam.

Selain bicara lingkungan hidup. Prasasti tersebut juga menunjukkan sikap seorang pemimpin yang luhur. Pemimpin yang mendoakan rakyatnya. Pemimpin yang menginginkan rakyatnya hidup sejahtera, sehat, dan dilindungi Tuhan. Dengan begitu, pemimpin seperti ini juga dicintai dan disayangi rakyat.

Selanjutnya, Prasasti Talang Tuo ditulis menggunakan bahasa Melayu, yang mencerminkan pemerintahan yang demokratis. Padahal pemerintahan Kerajaan Sriwijaya menggunakan bahasa Sansakerta. Menggunakan bahasa Melayu karena bahasa tersebut banyak dipahami masyarakat di Nusantara pada saat itu.

Prasasti Talang Tuo yang tertanggal 606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi, diperkirakan dibuat pada saat matahari tepat berada di atas khatulistiwa atau biasa disebut Ekuinoks Maret.

Jika dikaitkan dengan Hari Bumi yang ditetapkan PBB pada 20 Maret sejak tahun 1969 yang digagas aktivis perdamaian John McConnell, merupakan satu pendukungnya. Sebab penetapan tanggal tersebut berdasarkan pada saat matahari tepat berada di atas khatulistiwa.

Prasasti Talang Tuo ditemukan Residen Palembang Louis Constant Westenenk pada 17 November 1920 di kaki Bukit Siguntang, yang kini menjadi Taman Bukit Siguntang di Palembang. Prasasti merupakan satu prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisik prasasti cukup baik, yang berukuran 50 x 80 centimeter. Prasasti berangka 606 Saka (23 Maret 684 Masehi) dengan tulisan menggunaka aksara Pallawa yang berbahasa Melayu, yang terdiri 14 baris.

Prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.145.p, kali pertama mampu dibaca dan dialihaksarakan oleh van Ronkel dan Bosch yang dimuat di Acta Orientalia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,