Selama ini banyak pemegang izin usaha pertambangan berdalih bahwa kendala teknologi menjadi persoalan utama dalam melakukan kegiatan paska tambang. Terlebih mengembalikan kondisi lahan seperti semula. Benarkah?
Secara umum, permasalahan tambang di Indonesia disebabkan oleh sistem tambang terbuka atau open pit. Aktivitas tambang terbuka ini selalu melahirkan bahan galian, merubah lansekap dan topografi lahan, meninggalkan kolong atau lubang-lubang yang sebagian menjadi kolam air, pH ekstrim, polusi partikel debu, serta memiskinkan bahan organik, unsur hara dan mikroorgnisme.
“Mutu tanah akan menurun drastis akibat kehilangan tanah permukaan, humus dan terjadi pemadatan akibat aktivitas alat berat,” terang Retno Prayutyaningsih dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar di Balikpapan, Kalimantan Timur, pekan lalu.
Retno menyatakan bahwa alam bisa menyembuhkan dirinya sendiri, namun suksesi primer atau alami akan butuh waktu yang lama. “Oleh sebab itu perlu intervensi dalam bentuk rehabilitasi guna mempercepat suksesi primer tersebut.”
Tantangan untuk merestorasi lahan paska tambang semakin berat karena banyak pemegang izin tidak mengikuti prosedur operasional yang ditentukan dalam memperlakukan top soil dan overburden (lapisan tanah penutup) secara terpisah. “Sehingga, semua tercampur dengan material buangan lain seperti tailing kuarsa,” tambah Pratiwi dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi yang melakukan penelitian dan restorasi di lahan bekas tambang timah.
Perilaku dan kondisi seperti itu akhirnya menjadi tantangan tersendiri dalam melakukan restorasi lahan paska tambang. Sebagaimana tujuan utama dari restorasi yaitu memulihkan kembali kualitas tanah sehingga memungkinkan keragaman hayati yang hilang bisa dikembali dalam kondisi yang mendekati keadaan sebelum ditambang.
Strategi umum untuk melakukan pemulihan lahan adalah dengan cara melakukan perbaikan kualitas tanah, memilih bibit yang tepat, melakukan penyemaian, penanaman dan pemeliharaan. “Rehabilitasi adalah sebuah proses yang terintegrasi dan butuh waktu. Tanaman yang sehat sewaktu disemai dan ditanam belum tentu akan tumbuh normal setelah waktu tertentu,” terang Pratiwi.
Pratiwi menuturkan, pemeliharaan tanaman mutlak dilakukan untuk rehabilitasi lahan bekas tambang sehingga bisa ditentukan langkah yang diperlukan untuk masing-masing tanaman yang dipilih. “Kondisi dan pertumbuhan tanaman pada lahan overburden dan tailing kuarsa berbeda meski jenisnya sama.”
Selain itu penyiapan iklim mikro juga amat penting untuk lahan yang hendak direhabilitasi. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan biomasa. Penanaman cover crop adalah langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengawali usaha rehabilitasi. “Pengalaman kami, penanaman cover crop dengan pola jalur lebih baik dibanding dengan pola spot.”
Selain yang sudah diungkapkan oleh Pratiwi, Retno memaparkan pentingnya perbaikan biologi tanah untuk mendukung keberlanjutan restorasi lahan. Dia memperkenalkan teknologi isomik (isolate mikroba) untuk merehabilitasi lahan bekas tambang.
Teknologi isomik adalah aplikasi mikroba tanah yang potensial hasil isolasi mikroba lokal yaitu mikoriza. “Mikoriza adalah jamur atau fungi yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Jamur memperoleh makanan dari inang, inang memperoleh manfaat dari adanya jamur yang memproduksi benang-benang untuk memperluas serapan hara,” terang Retno.
Menurutnya manfaat mikoriza adalah meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan tanaman. Meningkatkan ketahanan dari defisiensi hara, kekeringan, pH ekstrim, logam berat dan perbaikan struktur dan biologi tanah. “Dampaknya perkembangan komunitas alami baik flora, fauna maupun mikroba akan membuat pemulihan keanekaragaman hayati tercapai.”
Menurut Retno, kelebihan dari teknologi isomik adalah aplikasinya hanya sekali yaitu pada saat pembuatan bibit.
Bersinergi dengan alam
Ishak Yasir dari Balai Penelitian Teknologi Konservasi SDA Samboja menyatakan pemanfaatan genetic resources atau sumber daya lokal untuk melakukan perbaikan lingkungan atau lahan terdegradasi penting dilakukan. Konsepnya adalah bersinergi dengan alam untuk merehabilitasi lahan bekas tambang.
Menurut Ishak, konsep bersinergi dengan alam ini didasarkan atas kenyataan bahwa lahan pertambangan di Kalimantan Timur kerap berada di wilayah hutan dalam bentuk pinjam pakai area. “Area di sekitar tambang biasanya masih berupa hutan yang cukup bagus, sehingga rehabilitasi paska tambang adalah kombinasi antara upaya manusia dengan kekuatan alam.”
“Intinya di sekitar lahan terdegradasi banyak material yang bisa dipakai untuk perbaikan lingkungan,” lanjut Ishak.
Dia mencontohkan kayu-kayu hasil land clearing yang tidak dimanfaatkan bisa dipakai untuk memperbaiki kualitas tanah dengan diolah.
Konsep bersinergi dengan alam ini awalnya diuji coba dan dikembangkan di lahan alang-alang yang akan dipakai untuk reintroduksi dan rehabilitasi orangutan dengan ditanami buah-buahan. “Penanaman buah dimaksudkan untuk mengundang kehadiran burung dan kelelawar yang akan membawa benih dari hutan yang tersisa di sekitar kawasan tambang.”
Konsep ini sudah diimplementasikan dan akan terus dikembangkan ke lahan dengan tingkat kerumitan yang berbeda di Kaltim saat ini. “Merestorasi lahan terdegradasi bukan hal yang mustahil. Pertanyaannya adalah perusahaan punya komitmen atau tidak untuk melaksanakan reklamasi paska tambang,” ujar Ishak.