,

Desa Tunggul Bute, “Desa di Atas Awan” yang Terus Kehilangan Hutan

Menggambarkan sebuah desa sejuk dengan balutan hutan tropis yang masih perawan, akhirnya buyar setelah mengunjungi Desa Tunggul Bute, yang dulu disebut sebagai “desa di atas awan”. Hutan di desa yang berada di ketinggian 1.400 – 2.000 meter dari permukaan laut, dengan luas 6.514 hektar dan jumlah penduduk sekitar 1911 jiwa ini, sebagian besar mengalami kerusakan.

Mengunjungi desa yang berada di wilayah pegunungan Bukit Barisan yang masuk Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, saya disambut sejumlah hutan tropis yang gundul. Baik karena ditebang, dijadikan perkebunan kopi, maupun dibuka menjadi jalan dan pemukiman.

Di tengah kerusakan hutan tersebut, saya beberapa kali menemukan plang milik Dinas Kehutanan Sumsel berwarna hijau dan PT. Supreme Energi Rantau Dedap (PT SERD) berwarna putih. Bahkan ada plang yang jarak keduanya berkisar 30 meter di depan sebuah lahan yang sudah menjadi kebun dan dibangun rumah.

Plang itu menjelaskan sejumlah wilayah yang rusak sebagai kawasan Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah atau lahan yang dikelola PT. SERD, sebuah perusahaan energi panas bumi.

“Perubahannya luar biasa. Tak lama lagi, Desa Tunggul Bute ini menjadi sebuah kota,” kata Mana, warga Lahat, yang mendampingi saya mengunjungi Desa Tunggul Bute, Minggu (14 /06/2015). Desa ini berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Agung.

Dulu, katanya, tahun 2012 ke bawah, warga Desa Tunggul Bute masih harus menggunakan sepeda motor yang dipasang rantai untuk pergi ke Kota Agung. Waktu tempuhnya berkisar 12 jam. Bahkan sebelum ada sepeda motor, warga Desa Tunggul Bute yang berkebun kopi dan sayuran ini, menggunakan kuda atau gerobak yang ditarik kerbau untuk menjual kopi dan sayuran.

“Jalannya jelek dan berbukit. Kalau hujan, sulit sekali dilalui,” ujarnya.

Dua petani perempuan Desa Tunggul Bute yang baru pulang dari kebun. Mereka menyusuri jalan yang dibangun sebuah perusahaan energi panas bumi. Foto: Taufik Wijaya
Dua petani perempuan Desa Tunggul Bute yang baru pulang dari kebun. Mereka menyusuri jalan yang dibangun sebuah perusahaan energi panas bumi. Foto: Taufik Wijaya
Jalan beraspal yang dibangun PT. SERD, Jalan yang menghubungkan Desa Tunggul Bute ke wilayah operasi PT. SERD di Semende, Muara Enim, Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya
Jalan beraspal yang dibangun PT. SERD, Jalan yang menghubungkan Desa Tunggul Bute ke wilayah operasi PT. SERD di Semende, Muara Enim, Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya

Perubahan desa yang sebagian besar warganya berasal dari Semende, Kabupaten Muara Enim, diperkirakan karena kehadiran PT. SERD. Sejak 2013, perusahaan ini membangun ruas jalan dari lokasi eksplorasi, baik menuju Kabupaten Lahat maupun ke Kabupaten Muara Enim. Meskipun saat ini melakukan eksplorasi di Desa Rantau Dedap, Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim, tapi akivitas perusaaan menggunakan jalan yang melalui desa di Lahat, seperti Desa Tunggul Bute, maupun desa lainnya di Semende, Muara Enim.

“Kabarnya perusahaan juga akan membangun jalan ke Pagaralam, sebab izin operasinya sampai ke sana,” tambahnya.

Sebagai informasi, PT. SERD merupakan anak dari PT. Supreme Energy yang didirikan sejak 11 September 2007. Sebuah perusahaan pengembangan panas bumi (geothermal), untuk menghasilkan listrik yang dipasok ke PT. PLN (Persero). Perusahaan ini didirikan Supramu Santosa.

Pada 2012-2014, PT. SERD memperoleh Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan di Rantau Dedap seluas 91 hektar, kemudian 82 hektar pada 2014-2016. Desa Rantau Dedap memiliki ketinggian antara 1.400-2.300 meter dari permukaan laut.

Hutan terus dirusak

Peringatan dari pemerintah mengenai keberadaan hutan lindung di Desa Tunggul Bute, maupun desa lainnya di sekitar Bukit Jambul, tampaknya tidak memengaruhi aktivitas warga yang melakukan penebangan, pembukaan kebun kopi maupun sayuran di sebagian hutan lindung tersebut. Bahkan, sejumlah warga melakukan pembakaran lahan, meskipun apinya tidak terlalu besar.

“Mereka baru menetapkan sebagai hutan lindung, tapi kami sejak ratusan tahun lalu telah membuka kebun di sini. Oleh leluhur kami,” kata seorang warga Tunggul Bute, yang tidak mau dikutip namanya, seusai berkebun.

“Kalau kami tidak membuka kebun di sini, bagaimana kami mau makan? Kalau buat kebijakan itu, janganlah membunuh rakyat. Kenapa tidak perusahaan itu dilarang di sini. Jelas-jelas mereka masuk ke hutan, dan membuka hutan buat jalan dan perkantoran,” ujarnya.

Plang Hutan Lindung Jambul Gunung Patah. Foto: Taufik Wijaya
Plang Hutan Lindung Jambul Gunung Patah. Foto: Taufik Wijaya
Warga tidak takut dengan larangan menebang hutan, meski telah ada papan peringatan. Foto: Taufik Wijaya
Warga tidak takut dengan larangan menebang hutan, meski telah ada papan peringatan. Foto: Taufik Wijaya

Berharap Hkm menjaga hutan

Terhadap kerusakan hutan yang terus terjadi, pemerintah menjalankan program Hutan Kemasyarakatan (Hkm) di Desa Tunggul Bute.

Sebagian besar masyarakat Desa Tunggul Bute mengetahui program tersebut. “Tapi kami tidak begitu paham soal Hkm itu. Bagi kami yang penting tetap bisa berkebun. Kalau tidak berkebun, jelas kami mati, tidak bisa makan,” kata Adi, warga Semende, yang berkebun kopi di Desa Tunggul Bute.

Sejumlah warga yang tengah berkumpul di rumah Kepala Desa Tunggul Bute, juga mengaku belum begitu paham dengan Hkm tersebut. “Kami setuju bae dengan Hkm, sejauh kami tetap bisa berkebun. Tapi kami belum begitu paham bagaimana aturannya, termasuk pula tanaman apa yang boleh ditanam. Kalau kami sih maunya tetap berkebun kopi, sebab hanya itu yang kami paham,” kata Andi, seorang warga.

“Kami nih menurut saja apa yang nak disuruh pemerintah. Tapi harapan kami, dengan program itu hidup kami tenang berkebun, dan penghasilan kami meningkat,” ujar warga lainnya.

Terlepas soal Hkm, mereka berharap pemerintah membuat sejumlah kebijakan yang membuat produksi pertanian mereka seperti kopi meningkat harga jualnya.

“Kami bersyukur sekali seandainya pemerintah membantu kami dengan membuat pabrik pengelolaan bubuk kopi, termasuk pula mengembangkan pemasarannya.”

“Termasuk kemungkinan pengembangan pertanian lainnya, seperti tanaman obat-obatan dan sayuran. Yang penting kami punya pemasaran yang baik. Kami yakin kalau hidup sudah baik, warga tidak akan lagi merambah hutan untuk memperluas kebunnya,” kata Andi.

Hkm di Desa Tunggul Bute sudah menerima Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHkm) dari pemerintah seluas 800 hektar. Kini mereka tengah menunggu izin pengelolaan dari Gubernur Sumsel.

Kebun kopi di lahan terbuka

Perkebunan kopi di Desa Tunggul Bute atau di wilayah lainnya di sekitar Bukit Jambul, yang ketinggiannya di atas 1.000 meter dari permukaan laut, ternyata sedikit sekali pohon pelindungnya.

“Kebun kopi di sini tidak boleh terlalu banyak pohon pelindung. Harus terbuka. Jika banyak pohon pelindung, buahnya kurang baik. Makanya kami menanam pohon pelindung di tepian atau batas kebun saja,” kata Adi.

Dengan karakter perkebunan kopi ini, Adi dan warga lainnya di Desa Tunggul Bute, merasa kesulitan untuk membangun kebun kopi di wilayah Hkm, yang harus mencirikan fungsi hutan, yang artinya banyak pula ditanam pohon hutan, yang biasanya dijadikan pelindung di sebuah perkebunan.

“Mudahan saja ada ilmu dari ahli pertanian atau dari pemerintah, yang bisa membuat kebun kopi kami bagus hasilnya dengan banyak pohon pelindung. Atau ada tanaman hutan jenis lain, yang hasilnya lebih bagus, yang pemasarannya jelas,” katanya.

Pondok dan kebun kopi milik warga yang masuk wilayah Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah. Foto: Taufik Wijaya
Pondok dan kebun kopi milik warga yang masuk wilayah Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah. Foto: Taufik Wijaya
Kampung yang berada di sekitar Hutan Lindung Bukit Jambul. Foto: Taufik Wijaya
Kampung yang berada di sekitar Hutan Lindung Bukit Jambul. Foto: Taufik Wijaya

Desa lain khawatir

Yasmana, Kepala Desa Bintuhan, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, yang desanya berada di bawah Desa Tunggul Bute, berharap kerusakan hutan di sekitar Bukit Jambul segera teratasi.

“Kalau hutan di atas rusak, yang merasakan kerugian ya desa kami, termasuk desa lainnya yang berada di bawah. Bukan tidak mungkin kalau ada banjir, kami yang paling merasakannya. Apalagi wilayah di sana, merupakan hulu dari Sungai Indikat dan sungai lainnya yang mengalir ke desa kami dan sekitarnya,” kata Yasmana.

“Pada musim kemarau, jika hutan sudah habis, dapat dipastikan banyak desa di bawah akan mengalami krisis air. Sebab tidak ada lagi air yang dapat ditampung. Bahkan warga yang menggunakan air dari Sungai Musi juga akan mengalami krisis air. Semua air dari Bukit Barisan ini semuanya mengalir ke Sungai Musi,” ujarnya.

Yasmana berharap, pemerintah maupun pihak lain yang berkepentingan dengan hutan segera mengatasi persoalan tersebut. “Ya, bagaimana caranya hutan tetap terjaga dan masyarakat di sana hidup makmur. Saya yakin hal tersebut dapat diwujudkan, jika semuanya berpikir dan bekerja secara serius untuk hal tersebut,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,