, ,

Pemkab Tanah Datar Gamang menetapkan Hutan Adat

Walau telah ada peluang kebijakan dan peraturan untuk menetapkan wilayah adat, namun Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Tanah Datar, Sumatera Barat masih gamang menggunakan kebijakan tersebut, mengingat belum adanya mekanisme penetapannya.

Kegamangan itu terlihat dengan belum adanya kebijakan yang mengatur tata cara pengakuan masyarakat hukum adat dan proses penetapan wilayah adatnya. Jika kebijakan dipaksakan dibuat melalui Surat Keputusan Bupati atau Peraturan Daerah, ditakutkan berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi, sehingga keinginan masyarakat tidak terakomodir. Untuk itu pemerintah semestinya menerbitkan tata cara implementasi penetapan wilayah adat dan pengakuan masyarakat hukum adat di daerah.

M. Riza Fahlefy dari Bagian Hukum Pemkab Tanah Datar, kepada Mongabay pada Kamis (11/06/2015) mengatakan dalam hal penetapan wilayah adat telah dimulai dari Masyarakat Hukum Adat Malalo Tigo Jurai, dimana kelompok ini telah mempersiapkan kebutuhan dilapangan untuk penetapan wilayah adat mereka.

Pemkab Tanah datar sering melakukan diskusi bersama masyarakat guna mendorong percepatan penetapan wilayah adat masyarakat melalui regulasi yang tersedia.

“Masyarakat menginginkan penetapan wilayah adat mereka. Secara administrasi wilayah adat yang sudah dipetakan oleh masyarakat berada di dua kabupaten dan pengelolaannya nanti mencangkup dua nagari/desa, maka peranan pemerintahan propinsi menjadi penentu guna mewujudkan harapan masyarakat ini,” tegasnya.

Pemkab Tanah Datar sendiri telah memiliki Perda No.4/2008 tentang Nagari, yang menegaskan bahwa Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, sehingga masyarakat akan lebih mudah mengurus penetapan wilayah adatnya.

Sedangkan Mora Dingin, Direktur Perkumpulan Qbar, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 merupakan pintu masuk untuk memulihkan kembali hak masyarakat adat atas hutannya, yang berimplikasi pada terjaminnya kesejahteraan sosial dan mengembalikan jaminan kekayaan alam milik mereka.

Hutan adat bagi masyarakat hukum adat menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat warisan bagi generasi berikutnya. Hutan sejak dulu telah menjadi sumber kekayaan alam dan keanekaragaman hayati masyarakat yang mereka rawat dan jaga.

“Negara harus menjamin kepastian hak masyarakat hukum adat atas hutan. Untuk itu keberadaan masyarakat hukum adat masih memerlukan perangkat hukum di daerah, baik melalui Peraturan Daerah maupun melalui Surat Keputusan Kepala Daerah. Pemerintah Daerah perlu menetapkan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum melalui Perda dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah menjadi elemen utama untuk penetapan hutan adat,” ucapnya saat diwawancarai Mongabay di Padang pada Kamis (11/6/2015).

Mora mengingatkan perlu sinergitas antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Masyarakat Hukum Adat untuk menata dan menginventarisasi kembali hutan adat masyarakat agar pemaknaan dari Putusan MK No.35/2012 dapat diterapkan bukan sebatas norma teks yang tertulis.

Di banyak tempat, masyarakat hukum adat telah diakui keberadaan melalui Perda atau SK Kepala Daerah, misalnya Perda Kabupaten Morowali No.13/2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Tau Taa Wana, SK Bupati Luwu Utara No.300/2004 tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko. Bahkan di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci, Jambi, hutan adat telah diakui secara jelas keberadaannya.

Pengakuan tersebut mempermudah proses penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sehingga, daerah lain perlu didorong untuk menetapkan masyarakat hukum adat, untuk memperlancar proses hukum penetapan hutan adat.

Salah seorang warga yang bermukim di kawasan hutan, lokasi ini dahulunya merupakan perkampungan padat penduduk, namun kini banyak penduduknya pindah ke pinggiran Danau Singkarak atau merantau. Foto: Riko Coubut
Salah seorang warga yang bermukim di kawasan hutan, lokasi ini dahulunya merupakan perkampungan padat penduduk, namun kini banyak penduduknya pindah ke pinggiran Danau Singkarak atau merantau. Foto: Desriko

Telah banyak muncul inisiasi untuk mengimplementasikan hutan adat diberbagai tempat, misalnya Kabupaten Aceh Barat dan Pidie di Nanggroe Aceh Darussalam; Kabupaten Merangin di Jambi; Kabupaten Lebong di Bengkulu; Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pasaman Kabupaten Mentawai di Sumatera Barat; Kabupaten Lebak Banten, Kabupaten Sekadau di Kalimantan Barat; Kabupaten Paser di Kalimantan Timur; Kabupaten Bulukumba dan Luwu Utara di Sulawesi Selatan; Kabupaten Sigi dan Morowali di Sulawesi Tengah.

Kabupaten Tanah Datar sebagai Luhak Nan Tuo (negeri asal-muasal) di Minangkabau harus mampu menjadi terdepan dalam membuat pengakuan terhadap masyarakat hukum adat maupun penetapan hutan adanya.

Pemkab Tanah Datar masih ragu-ragu, meski ada Undang-Undang  No.6/2014 tentang Desa untuk mengatur desa adat, Permendagri No.52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang menyebutkan penetapan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati.

Kebijakan lain yang bisa dipakai seperti  Peraturan Bersama Tiga Menteri tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam kawasan hutan, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No.9/2015 tentang Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, dan Permendes No.1/2015 tentang Hak Asal Usul Desa.

Masyarakat Malalo berharap percepatan penetapan hutan adat mereka. Pasalnya segala bentuk persiapan sudah dilakukan oleh masyarakat, mulai dari menyiapkan peta wilayah adatnya, membangun kesepahaman dengan para ninik mama di Malalo dan sebagainya.

Can Amalo, tokoh masyarakat Malalo berharap pemerintah tidak perlu ragu-ragu untuk mengeluarkan peraturan mengenai penetapan hutan adat Malalo. Masyarakat sebagai pemilik ulayat akan siap untuk membantu pemerintah jika di kemudian hari peraturan itu dipermasalahkan, seperti mendatangi Kementerian Dalam Negeri.

Peta Indikatif Wilayah Adat Malalo hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat Malalo. Sumber: Siriah Sumbar
Peta Indikatif Wilayah Adat Malalo hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat Malalo. Sumber: Siriah Sumbar

“Kami telah mengelola hutan sejak dahulunya, sejak negara ini belum merdeka. Untuk sekarang kami tidak bisa memanfaatkan hutan itu kembali sebab kami bisa ditangkap oleh pihak kepolisian jika tetap mengusahakannya,” tegasnya.

Berbagai aturan adat yang berlaku di Malalo, seperti setiap pasangan yang hendak menikah di Malalo, wajib menanam 60 pohon yang kayunya untuk membangun rumah. Juga terdapat sanksi hukuman ringan bagi anak-kemenakan yaitu menanam ratusan pohon di sepanjang aliran sungai. Warga boleh menebang kayu di hutan untuk mendirikan rumah, tetapi menggantinya dan dilarang menebang kayu minimal 100 meter dari bantaran sungai.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,