Penolakan kasasi 185 petambak eks Dipasena, Lampung oleh Mahkamah Agung (MA) langsung direspon cepat oleh para petambak. Selama dua hari, Senin dan Selasa (15-16/06/2015), para petambak menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta, sebagai bentuk keprihatinan sekaligus protes apa yang terjadi.
Dalam aksinya yang digelar di sejumlah tempat, para petambak yang berjumlah puluhan orang melakukan aksi simpatik dengan membentangkan spanduk berisi keprihatinan mereka atas kasus Dipasena yang terjadi hingga sekarang. Menurut para petambak, aksi dilakukan karena perjuangan mereka belum berhasil.
Putusan penolakan kasasi, menjadi bukti kuat bahwa kasus Dipasena hanya menguap begitu saja. Hal itu dirasakan sendiri oleh Apriyanto, petambak sekaligus kepala kampung Dipasena, yang memilih ikut bersama rombongan ke Jakarta.
“Pemerintah seharusnya dapat membuat aturan terhadap perusahaan-perusahaan, seperti PT Central Proteinaprima agar tidak diperbolehkan menjual udangnya di pasaran lokal. Sehingga harga dan pasokan di pasaran lokal dapat lebih stabil,” ungkapnya.
Padahal dengan tetap membiarkan perusahaan tersebut menjual udangnya di pasaran lokal, harga jual udang terus mengalami penurunan. Akibatnya, para petambak terus menderita kerugian besar dan itu diperparah dengan mewabahnya penyakit (white faeces disease/WFD) yang melanda tambak udang di Dipasena.
“Sekarang tempat penyimpanan berpendingin (cold storage) lokal dipenuhi oleh udang PT Central Proteinaprima, seharusnya perusahaan licik seperti mereka ditutup saja kalau tidak mampu menjual udangnya keluar negeri secara langsung,” jelas Apriyanto.
Karena kondisi tersebut, dia mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera mengeluarkan sikap atas kejadian yang terus berlangsung di Dipasena. Terutama, bagaimana agar penyakit WFD bisa segera diatasi dan harga jual udang bisa kembali pulih.
Mereka menunggu perhatian pemerintah karena komoditas udang adalah komoditas ekspor unggulan untuk sektor perikanan, dengan rasio untuk ekspor yang lebih tinggi dibanding untuk konsumsi lokal.
Dugaan Kerugian Negara Rp19,5 triliun
Selain menggelar aksi unjuk rasa, para petambak merespon putusan MA yang menolak kasasi 185 petambak Dipasena dengan melaporkan temuan dugaan praktek korupsi hingga merugikan keuangan negara sebesar Rp19,5 triliun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dugaan penyelewangan itu terjadi pada aksi penjualan PT Dipasena Grup kepada PT Charoen Popkhand Tbk, perusahaan dari Thailand.
Penjualan aset perusahaan tersebut, dilakukan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada 2007 melalui konsorsium Neptune sebagai pemenang tender “jual putus” aset milik negara tersebut. Selain laporan tersebut, para petambak juga pada saat yang sama melaporkan dugaan penggelapan pengelolaan dana APBN subsidi Kredit Usaha Rakyat (KUR) terhadap 3000 petambak Dipasena periode 2009-2010 yang disalurkan melalui dua bank, BRI dan BNI.
Arie Suharso, dari Perhimpunan Petambak Pengusaha Udang Wilayah (P3UW) mengatakan, dugaan penyelewengan dana yang terjadi dalam pengelolaan Dipanena, menjadi catatan penting yang harus diketahui oleh publik. Menurutnya, kasus tersebut harus segera diungkap hingga diketahui siapa orang yang bersalah di balik kasus tersebut.
Sebagai aset negara yang bernilai besar, Bumi Dipasena menjadi proyek penting dalam sektor perikanan budidaya nasional. Hal itu, karena areal pertambakan tersebut menjadi yang terluas di Asia Tenggara.
Intervensi Pemerintah
Sementara menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, pihaknya saat ini tidak bisa ikut campur tangan terlalu jauh, karena kasus Bumi Dipasena merupakan kasus hukum.
“Kita waktu itu (sempat) fasilitasi. Hanya ini masalah hukum jadi kita tidak bisa banyak intervensi,” ucap Slamet menyebut kunjungan yang pernah dilakukan Menteri KP Susi Pudjiastuti ke Dipasena pada tiga bulan lalu.
Slamet melanjutkan, bentuk keterlibatan KKP di areal tambak Bumi Dipasena adalah murni untuk pengembangan produksi udang. Untuk tahun ini, pihaknya sudah mengalokasikan anggaran untuk produksi udang dan dikerjasamakan dengan kelompok kerja di Dipasena.
“Kita inginnya udang windu bisa masuk kesana. Budidaya disana tidak bisa dilakukan secara intensif dengan kondisi sekarang. Kita akan menebar 80 ekor udang per meter. Itu yang kita sebut dengan budidaya udang berkelanjutan,” paparnya.
Pemilihan udang windu untuk dibudidayakan di Dipasena, dilakukan karena KKP melihat potensi udang windu saat ini ada. Selain itu, kata Slamet, pihaknya juga ingin memperkenalkan budidaya udang windu kepada para petambak yang ada di Dipasena.
“Pokoknya untuk kasus hukumnya kita tidak ikut campur. Kita hanya berusaha mengembalikan sentra produksinya saja. Makanya, kita juga mengusahakan untuk difungsikan kembali sarana dan prasarana yang ada saat ini,” jelasnya.
“Untuk pakan, nantinya akan dikelola langsung oleh PT CP Prima dengan menggunakan campuran probiotik, grigarin. Pakan tersebut ada penawarnya juga. Saya kira itu merupakan inovasi. Jadi perlu kita dukung,” tandasnya.
Untuk kekurangan fasilitas lain seperti aliran listrik, Slamet mengaku sudah mengusulkan pada 28 Mei lalu kepada Kementerian ESDM untuk segera dipasang.