,

Beginilah Cara Kelompok Tani Jasema Kelola Hutan

Pohon jati dan mahoni setinggi belasan meter tumbuh subur. Daun lebat. Masing-masing bertinta merah. Bagian bawah pohon, tampak singkong, melinjo, kunyit dan palawija lain. Inilah pemandangan di  hutan tanaman rakyat di Pedukuhan Pancuran, Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Bantul, Yogyakarta.

Tampak, Sugiran mengenakan batik lengan panjang putih. Kulit sawo matang dan berkumis tebal. Topi rimba warna hitam lupa dia kenakan. Sugiran,  anggota kelompok tani hutan Jasema. Kala itu, dia sedang menjelaskan, cara menghitung karbon dari pepohonan hutan Desa Terong.

Hari itu,  Jumat, (12/6 15), Sugiran bersama para tamu dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Lembaga Arupa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian PPN/Bappenas dan beberapa lembaga lain.

Dengan alat sederhana, meteran dan kayu, thally sheet atau tabel perhitungan potensi cadangan karbon, Sugiran beraksi. Alat ini, mencatat tipe lahan, pola penanaman pohon, identitas pemilik, jenis tanaman, diameter pohon, tinggi, diameter tajuk dan tinggi tajuk.

“Semua untuk mempermudahkan pendataan. Semua data masuk ke rumus komputerisasi. Hasilnya kami tahu berapa potensi karbon dari setiap pohon dan setiap lahan pemilik,” katanya.

Ada sekitar 30 warga bisa menghitung potensi karbon, semua anggota Jasema. Jasema ini singkatan dari tanaman jati, sengon dan mahoni, merupakan mayoritas tanaman di hutan rakyat ini.

Perhitungan karbon sudah dimulai 2011. Awalnya, masyarakat Desa Terong, mayoritas petani hutan dan ternak merasakan perubahan besar iklim. Musim kemarau lebih lama dibandingkan musim hujan. Kondisi ini membuat masyarakat sulit menentukan waktu tanam. Tak jarang, berdampak pada gagal panen dan penurunan perekonomian masyarakat.

Gagang kayu pacul dan daun pintu karya petani hutan rakyat di Desa Terong. Foto: Tommy Apriando
Gagang kayu pacul dan daun pintu karya petani hutan rakyat di Desa Terong. Foto: Tommy Apriando

Pranoto mongso (aturan waktu musim) susah diprediksi. Perubahan iklim sangat kami rasakan. Karena itu, kami belajar mengelola hutan yang baik, menekan perubahan iklim dan berusaha meningkatkan perekonomian masyarakat,” katanya.

Dwi Nugroho Direktur Lembaga Arupa Yogyakarta, lembaga pendamping masyarakat mengatakan, pilot project di sini karena secara geografis berada di ketinggian, dan respon positif aparatur desa. Daerah ini mempunyai peran strategis dalam perlindungan hutan dan resapan air. Sebagian desa ini hutan lindung dan hutan rakyat. Dari hasil interpretasi citra satelit, sekitar 778.843 hektar lahan desa ini ditanami kayu.

Berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI Jawa-Madura, menaksir hutan rakyat di Jawa mengandung cadangan karbon 40,7 juta ton. Namun, hutan rakyat menghadapi masalah seperti, penebangan tidak terencana karena berdasarkan kebutuhan (tebang butuh) dan luas berkurang karena menjadi penggunaan lain seperti pemukiman.

Dari penghitungan warga pada 2014, data karbon masing-masing dusun, cadangan pekarangan paling besar Dusun Pancitrejo sebesar 114 ton per hentar, paling kecil Dusun Terong II 50,11 ton per hektar. Sedangkan cadangan karbon tegalan paling besar Dusun Sendangsari (82,56 ton per hektar) dan paling kecil Dusun Terong II (30,67 ton per hektar). Tampak, cadangan karbon pekarangan lebih besar di tegalan. Pohon di pekarangan lebih banyak daripada tegalan karena Desa Terong banyak menggunakan tegalan untuk tanaman semusim seperti kacang, jagung maupun singkong. Hingga pola tanam pohon di tegalan lebih banyak di sekeliling lahan, hanya sebagian mengelompok.

Menurut Nugroho, pembelajaran kepada masyarakat selama ini menekankan pemahaman isu perubahan iklim, pengukuran cadangan karbon di hutan mereka dengan metode sendiri. Juga mendorong masyarakat menjadi fasilitator dalam pengukuran cadangan karbon.

Menurut dia, ada beberapa hal yang mengancam terjadi penurunan kabon, antara lain, gangguan hama penyakit terutama sonokeling mati karena jamur upas, tebang butuh kadang menebang pohon belum cukup umur. Ada juga plot tebang habis untuk pembuatan rumah hingga memicu bencana alam. Posisi desa berbukit-bukit hingga rawan longsor. Bahkan, ada satu plot pohon habis karena longsor.

“Masyarakat menyadari manfaat pohon dalam perubahan iklim bahkan mengembangkan lembaga keuangan mikro untuk meminimalisir penebangan pohon. Warga dan perangkat desa mengembangkan kebijakan pengelolaan serta memasukkan hutan rakyat bagian tata ruang desa agar terjaga,” kata Nugroho.

Arupa, katanya,  mendorong masyarakat membuat suatu peraturan desa tentang tata ruang desa. Di dalam aturan itu, akan mengatur segala aspek penataan ruang di Desa Terong. Drat peraturan final dan sudah dibahas bersama masyarakat maupun aparatur desa. Harapannya, 2015,  kepala Desa Terong bisa mengesahkan perdes dan jadi pijakan menjaga kelestarian hutan rakyat. 

Kayu mahoni yang dijadikan jaminan untuk meminjam uang di Koperasi Tunda Tebang Jasema. Foto: Tommy Apriando
Kayu mahoni yang dijadikan jaminan untuk meminjam uang di Koperasi Tunda Tebang Jasema. Foto: Tommy Apriando

Tunda tebang

Selain bertani di hutan, warga Desa Terong punya cara tersendiri meningkatkan perekonomian. Mereka menebang menggunakan sistem tunda tebang dan mengolah kayu hutan menjadi mebel berbentuk daun pintu, meja, kursi, gagang pacul dan lain-lain.

Kelompok Tani Hutan (KTH) Jasema didampingi Arupa bekerja sama dengan ICCTF membentuk LKM Tunda Tebang karena pengelolaan hutan rakyat belum ada rencana kelola baku termasuk dalam penebangan.

Penebangan serentak berdasarkan kebutuhan mengancam kelestarian dan menyebabkan over cutting. LKM diharapkan mampu menjawab berbagai masalah pengelolaan hutan, termasuk menjamin kelestarian hutan secara sosial, ekologi dan produksi.

“Pengurus akan memberikan pinjaman kepada petani dengan ketentuan dan syarat,” kata Nugroho. Salah satu, jaminan, berupa pohon. Pohon yang dijaminkan itu diberi tanda kertas kuning.

Siti Badriyah, petani hutan rakyat mengatakan, sistem tebang butuh sebenarnya merugikan petani. Praktik ini berpotensi merugikan petani karena harga pohon ketika masuk masa panen jauh lebih tinggi. Untuk jati berdiameter 25-30 cm bisa Rp1 juta per M3. Namun, karena kebutuhan, petani menjual saat diameter kurang 25-30 cm, hargapun jauh lebih rendah.

Pembentukan LKM Tunda Tebang diinisiasi di Desa Terong dalam bentuk Koperasi Tunda Tebang (KTT) Jasema. Koperasi ini dibentuk KTH Jasema untuk mengelola dana “tunda tebang.” Dana ini dari patungan 554 anggota KTH, setiap anggota menyetorkan Rp140.000, sebagai modal koperasi terkumpul Rp77.540.000.

Welasiman, Kepala Desa Terong mengatakan, dengan KTT Jasema diharapkan penebangan pohon dapat ditekan sebanyak mungkin. Artinya, hutan rakyat bisa menyimpan karbon lebih banyak. Setidaknya, kata Welasiman,  ada dua manfaat nyata dari KTT Jasema, yakni manfaat ekonomi dan ekologi.

Secara ekonomi, masyarakat mendapatkan dana tanpa harus menebang kayu. Secara ekologis,  KTT akan mengoptimalkan fungsi tegakan pohon, untuk konservasi air dan tanah serta siklus penyimpanan karbon.

KTT Jasema, katanya, berkomitmen mendidik anggota menjadi berjiwa sosial, peduli lingkungan dan berkarakter wirausaha. “Kolaborasi sosial, cinta lingkungan dan semangat wirausaha, menjadikan petani hutan rakyat unggul dan lestari.”

Erwin Widodo, Direktur Eksekutif ICCTF mengatakan, tunda tebang atau cicilan pohon di Desa Terong sangat baik. Masyarakat mengelola hutan, menerapkan sistem tunda tebang dan menekan perubahan iklim. “Ini luar biasa. Inisiasi masyarakat merupakan komitmen awal menjaga hutan, menekan perubahan iklim.” 

Rubikem memberikan pengarahan dan penjelasan tentang metode pembibitan dan penanaman Jati. Foto: Tommy Apriando
Rubikem memberikan pengarahan dan penjelasan tentang metode pembibitan dan penanaman Jati. Foto: Tommy Apriando

Pelibatan perempuan

Rubikem berjilbab merah, bertopi rimba hitam. Batik motif bunga coklat. Dia dengan lancar menjelaskan peran perempuan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pengelola hutan dalam KTH Jasema. Dia aktif sebagai penyuluh kehutanan swadaya masyarakat.

Pendapatan petani Desa Terong, katanya,  dari pertanian, dan beberapa pendapatan lain, misal jual kayu. Dengan para perempuan membuat produk dari hutan seperti gadung dan pegagan menjadi kripik (camilan), dan obat tradisional berbentuk kapsul menambah pendapatan warga. “Membuat camilan ini inisiatif warga. Sejauh ini pemasaran masih terkendala.”

Warga, katanya, juga pembibitan jati unggul dengan membuat kebun pangkas. Selama ini bibit jati dari biji, kali ini masyarakat mencoba menanam dari tunas batang. Setiap dua minggu sekali pengecekan dan perawatan.

Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup juga Sekretaris Majelis Wali Amanat ICCTF mengatakan, desa ini contoh dan laboratorium uji coba pengelolaan dan perawatan hutan rakyat yang mampu menyerap emisi karbon.

Selama ini, masyarakat hanya menanam dan mengelola hutan, di Desa Terong, mereka bisa mengetahui potensi cadangan karbon setiap tahun.

Pertanian masyarakat di lembah perbukitan Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Foto: Tommy Apriando
Pertanian masyarakat di lembah perbukitan Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Foto: Tommy Apriando
Peta Hutan Rakyat Dusun Terong II, Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul
Peta Hutan Rakyat Dusun Terong II, Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul
Lebatnya hutan rakyat di Desa Terong, Kabupaten Bantul. Foto: Tommy Apriando
Lebatnya hutan rakyat di Desa Terong, Kabupaten Bantul. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,