Tata kelola hutan dan lahan di Indonesia merupakan persoalan serius yang harus dituntaskan. Kebijakan yang transparan, partisipatif, dan akuntabilitas mutlak diperlukan demi perbaikan sumber daya alam Indonesia ke depan. Apalagi tahun 2015 ini Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan dilakukan di Indonesia. Seperti diketahui pengurasan sumberdaya alam akan meningkat sejalan dengan proses politik yang ada di Indonesia, termasuk lewat praktek bagi-bagi konsesi untuk dana politik.
Pemerintahan Jokowi-JK memiliki semangat dan visi untuk menyelesaikan sejumlah persoalan hutan dan lahan terutama penataan kawasan dan penegakan hukum, termasuk lewat Inpres No 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang ditetapkan pada 13 Mei 2015. Namun hingga saat ini pengelolaan sumberdaya alam masih menghadapi banyak tantangan. Birokrasi dengan watak korup dan sistem yang tidak transparansi menjadi halangan terbesar.
Johan Budi, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyebutkan penyelamatan sumberdaya alam akan terfokus pada sektor-sektor dimana sumberdaya alam mudah dieksploitasi untuk korupsi, termasuk kehutanan, perkebunan, pertambangan serta perikanan dan kelautan. Untuk melaksanakan upaya monitoring dan supervisi langkah tersebut, KPK telah membentuk Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-SDA) yang melibatkan 34 provinsi, 20 kementerian, dan 7 lembaga negara yang ditandatangani di Jakarta, 19 Maret 2015.
“Ada enam poin yang disasar dalam perlindungan dan pemulihan kekayaan negara, yaitu penguatan hak masyarakat, pembenahan regulasi, penguatan kelembagaan aparatur negara, peningkatan kepatuhan terhadap regulasi, dan pembangunan sistem pengendalian anti-korupsi,” jelasnya di Jakarta (10/06) dalam Seminar “Hutan dan Lahan Kita: Bersama Mencari Harapan”.
Menurutnya, pelaku usaha harus melakukan pelaporan pelaksanaan kewajiban kepada pemberi izin, lalu CSO (civil society organisation) dan masyarakat diminta untuk melaporkan jika menemukan kejadian dan bukti pelanggaran hukum. Selanjutnya, aparat penegak hukum akan melakukan upaya hukum untuk setiap bentuk pelanggaran pengelolaan sumber daya alam.
Dalam sektor pengelolaan kehutanan, Arief Yuwono, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa kementeriannya saat ini sedang melakukan perbaikan dalam tata kelola hutan dan lahan, termasuk guna menindaklanjuti Inpres Moratorium yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. Sehubungan pelaksanaan Pilkada, menurutnya pihaknya akan melakukan penguatan yang sejalan dengan muatan Inpres, yaitu sisi penegakan hukum dan review perizinan, juga monitoring evaluasi.
“Berdasarkan laporan yang kami dalami, pelaksanaan pilkada sangat rentan terhadap keamanan sumber daya alam (perizinan), sehingga harus diantisipasi,” tutur Arief.
Selain melakukan monitoring terhadap perizinan, komitmen lain yang akan dilakukan oleh KLHK menurut Arief adalah melanjutkan pengelolaan hutan berbasis masayarakat. Rencananya adalah kawasan hutan dengan alokasi hingga 12,7 juta hektar untuk dijadikan hutan desa dan hutan kemasyarakatan. “Presiden minta aksi nyata di lapangan, sehingga pertemuan atau rapat harus dikurangi.”
Pemberantasan Korupsi dan Pencabutan Izin
Aktivis anti korupsi Emerson Yuntho dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menuturkan deforestasi yang tinggi sejalan dengan tingkat praktek korupsi yang tinggi di Indonesia. Menurutnya sumberdaya alam merupakan sasaran empuk bagi praktik korupsi.
“Dari kajian yang dilakukan di beberapa daerah, kami temukan peran daerah yang melegalkan izin-izin baru dalam bentuk peraturan daerah. Kecenderungan dalam lima tahun terakhir adalah pemberian izin usaha pertambangan demi terkumpulnya dana politik,” jelas Emerson. “Kondisi ini terjadi karena adanya dampak otonomi daerah. Ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) berlangsung, pemberian izin pembukaan lahan, hutan, dan tambang cenderung meningkat.”
Lebih jauh Emerson menagih janji dan komitmen Jokowi bagi perlindungan hutan tidak berhenti saat kampanye pemilihan presiden saja. Harus dibuktikan dan diimplementasikan.
“Untuk itu, pemberantasan korupsi jangan hanya dibebankan di KLHK, tetapi juga pada seluruh pemerintah daerah.”
Ketidakjelasan proses perizinan dan ketertutupan informasi oleh rezim menjadi persoalan yang harus dibongkar karena menjadi dasar bagi praktik korupsi. Hadi Prayitno dari FITRA menyoroti perihal persoalan akses, transparansi anggaran dalam sektor kebun sawit, hutan, dan tambang yang masih tertutup di kabupaten, provinsi, atau nasional.
“Ruang gelap inilah yang dimanfaatkan sebagai celah korupsi,” papar Hadi.
Menyoroti tentang rencana gerakan penyelamatan sumberdaya alam, menurut Hadi hal itu tidak akan terjadi jika hanya dilakukan oleh kementerian dan lembaga negara saja. Perlu kolaborasi dalam tataran teknis dan lapangan. Menurutnya, telah banyak inisiatif yang digulirkan tapi tidak tuntas dalam pelaksanaannya sehingga tidak tepat sasaran tidak efektif dalam penganggarannya. Sebagai contoh, dari hasil penelitian FITRA dari 118 rencana aksi nasional, hanya 13 poin yang bersinggungan dengan perbaikan tata kelola. Padahal jumlah keseluruhan anggaran negara yang dikucurkan cukup besar hingga 420 triliun rupiah.
Di sisi lain, seperti yang dilaporkan oleh Muryati, peneliti dari lembaga Publish What you Pay – Indonesia (PWYP) yang menyoroti kebijakan pemerintah dari segi industri ekstraktif, menyebutkan terdapat kemajuan yang sedikit menggembirakan terkait pencabutan izin konsesi tambang ilegal di kawasan hutan. Hingga akhir Mei 2015, dari 10.900 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada, turun menjadi 10.429 IUP. Dengan kata lain, izin yang dicabut sebanyak 479 IUP. Meski begitu, Maryati wanti-wanti karena tidak semua pemegang IUP tersebut mematuhi persyaratan untuk jaminan dana reklamasi pasca-tambang.
“Dari 10.429 IUP tadi hanya 1.138 IUP saja yang memiliki dana jaminan tersebut. Namun, belum ada sanksi bagi perusahaan yang melanggar.”
Sayangnya, masih banyak dari izin tambang tersebut berada di wilayah yang ilegal, terutama di lahan konservasi maupun izin pinjam pakai yang berada di kawasan lindung. Di tahun 2015, jika tidak diawasi maka jumlahnya dapat bertambah berbarengan dengan tahun Politik Pilkada.
“Kami berharap permasalahan ini akan diselesaikan sebagaimana yang telah dituangkan visi pemerintah sekarang dalam Nawa Cita, terutama soal penegakan hukum,” pungkas Maryati.