Konflik tenurial masyarakat dengan korporasi terus meningkat tetapi penyelesaian tak komprehensif. Kondisi ini, memicu pelanggaran HAM terjadi di berbagai daerah. Peran negara sangat lemah.
Data Komnas HAM 2012, korporasi pihak kedua paling banyak dilaporkan. Ada 1.126 berkas aduan. Data Elsan 2014, tercatat ada 57 konflik sektor perkebunan. Dari kondisi ini terlihat, industri ekstraktif aktor paling banyak terlibat dalam pelanggaran HAM, perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Komnas HAM dan Elsam merekomendasikan, pemerintah segera membuat rencana aksi nasional terkait bisnis dan HAM. Ini sesuai prinsip Dewan HAM PBB tentang “Kerangka PBB prinsip-prinsip Panduan Untuk Bisnis dan HAM: Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan.”.
“Perkembangan di global itu lebih fokus standar-standar internasional terhadap bisnis. Belum fokus pada tanggung jawab negara untuk melindungi masyarakat dari korporasi,” kata bagian advokasi hukum Elsam Kania Mezariani di Jakarta, Jumat (19/6/15).
Negara yang merancang rencana aksi bisnis dan HAM ada sekitar tujuh negara, yakni, Inggris, Belanda, Italy, Denmark, Spanyol, Finlandia dan Lithuania. Sekitar 20 negara lain menyatakan akan merancang. Di ASEAN hanya Malaysia, Philipina dan Myanmar. “Indonesia selama ini banyak sekali kasus tapi rencana aksi nasional belum ada.”
Menurut dia, salah satu alasan konflik karena tumpang tindih kebijakan antar kementerian. Melalui rencana aksi nasional ini, katanya, kebijakan antarkementerian bisa dikolaborasi satu sama lain.
Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengatakan, saat ini ada tuntutan makin meluas bahwa pertanggungjawaban HAM tak hanya negara juga korporasi.
“Masih ada kalangan mempertahankan, subjek HAM itu negara. Saat ini makin terkonsolidasi di forum internasional. Sekarang menemukan jalan. Ada prinsip bisnis dan HAM. Ini masih dalam perjuangan. Indonesia harus segera membuat rencana aksi.”
Jika Indonesia tak segera membuat rencana aksi nasional, katanya, akan membuat posisi lemah di PBB. Dukungan negara lain akan berkurang.
Rencana aksi itu, diharapkan menjadi suatu kebijakan menyeluruh hingga dalam bisnis di Indonesia, menjunjung HAM.
Dia mencontohkan konflik sumber daya alam dalam reklamasi Teluk Jakarta. Reklamasi ini, katanya, menunjukkan efektivitas penanganan bermasalah. Pihak menolak tidak diakomodir. Proyek tetap berjalan. “Menang tetap korporasi. Ini meninggalkan masalah-masalah, dimana kekecewaan rakyat terhadap negara terus disimpan, suatu saat akan meledak.”
Tak hanya itu. Dari aspek lingkungan tidak jelas. Tidak ada audit lingkungan. Reklamasi Teluk Jakarta, katanya, tetap berjalan meski ada penolakan berbagai pihak. Kalangan aktivis, masyarakat, DPR, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Namun terus berjalan.
“Negara dimana? Diabaikan. Bu Susi bilang tak ada izin, tetap jalan. Saya pikir negara perlu mengambil alih, meregulasi siapa pun di dalamnya. Tetapi regulasi yang bukan menindas.”
Dia mendorong penguatan negara lewat isu bisnis dan HAM, bukan buat kepentingan negara tetapi dalam konteks perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat.
Konflik tak hanya terjadi dengan korporasi swasta juga milik pemerintah alias BUMN. “BUMN perkebunan baik Perhutani, Inhutani maupun PTPN tak ada yang tidak bermasalah dengan rakyat. Padahal itu perusahaan dulu supaya negara dapat duit untuk kesejahteraan rakyat. Keadaan di lapangan berkata lain,” katanya.
Sebenarnya, dia mendukung gagasan negara menguasai tanah-tanah untuk dikelola demi kepentingan rakyat. “Cuma jika BUMN juga korup, jadi tidak bermanfaat. Harus perombakan besar-besaran. Supaya ini bermanfaat bagi masyarakat. Harus ada kemampuan BUMN mengadaptasi masyarakat lokal.”
Kasus-kasus banyak tidak selesai. Meski Komnas HAM sudah membantu fasilitasi mediasi.
Di Papua, katan ya, ada perusahaan tambang besar. Tiga kualifikasi soal HAM tidak memenuhi, yakni, dampak lingkungan, tenaga kerja, dan konflik dengan masyarakat lokal. “Mungkin di Kalimantan juga ada. Kasus-kasus itu akan kita dalami lewat penyusunan rencana aksi nasional. Akan ada konsultasi per daerah.”
Menurut Kholis, penyusunan rencana aksi nasional bisnis dan HAM sebenarnya jalan tengah. Bahwa, investasi tetap boleh berjalan tetapi harus evaluasi total. “Harus menghormati HAM. Beberapa korporasi besar mulai meyakini itu. Hingga terbukalah peluang menerapkan prinsip ini.”