,

KKP Izinkan Transshipment untuk Kapal Lokal

Pelarangan transshipment yang diberlakukan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.57/2014 memang ditujukan kepada kapal-kapal eks asing yang kapasitasnya diatas 30 gross tonnage (GT). Akan tetapi, pelarangan tersebut berimbas pada aktivitas kapal-kapal tangkap milik para pengusaha nasional.

Untuk mengatasinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memperbolehkan aktivitas bongkar muat atau pengangkutan dari kapal tangkap ke kapal angkut di tengah lautan. Keputusan itu dikeluarkan, karena KKP melihat ada aktivitas yang terganggu setelah aturan transshipment diberlakukan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Kamis (18/06/2015) menjelaskan, diberlakukannya izin untuk aktivitas transshipment karena saat ini ada dampak negatif yang tidak diharapkan. Salah satunya, yang dirasakan oleh para pengusaha dan nelayan.

“Kita tidak mau seperti itu. Makanya kita beri izin untuk mengangkut tangkapan dari kapal tangkap ke kapal angkut. Namun, ini mekanismenya masih terus digodok dan saat ini akan disempurnakan lagi,” ucap Susi.

Pengangkutan tersebut akan diberikan perizinannya dari pusat tangkapan (fishing ground) ke pelabuhan (port) di masing-masing daerah. Untuk melakukan pengangkutan tersebut, KKP akan bekerja sama dengan pengusaha yang mengelola kapal angkut.

“Kita tidak mau rencana ini digulirkan begitu saja. Kita juga tidak mau pengusaha terus terkena getah dari permen transshipment. Makanya, kita ingin rencana ini sangat matang, biar tidak ada masalah di kemudian hari setelah dilaksanakan,” tandasnya.

Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar
Kapal penangkap ikan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Luar, Lombok Timr, Nusa Tenggara Barat. Foto : Jay Fajar

Sebelum bisa menerapkan aturan baru tersebut, Susi memastikan pihaknya akan meminta pengusaha yang mengoperasikan kapal-kapal pengakut untuk bisa melengkapi kapal-kapalnya dengan teknologi canggih. Hal itu, karena dia ingin setiap kapal yang beroperasi bisa dipantau secara langsung dari manapun.

“Jika mengandalkan VMS (vessel monitoring system) yang saat ini ada di kapal-kapal tertentu, itu sudah tidak mungkin. Teknologi VMS yang digunakan di Indonesia sudah ketinggalan zaman. Kapal-kapal pengangkut nanti harus bisa memperbarui teknologinya. Tidak ada alasan,” tandas dia.

Dimulai dari 3 Pelabuhan

Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, pelaksanaan pengangkutan dari kapal tangkap ke kapal angkut akan dimulai dari tiga pelabuhan, yaitu Bitung (Sulawesi Utara), Benoa (Bali) dan Muara Baru (Jakarta).

“Ketiga pelabuhan itu yang paling siap untuk melaksanakan pengangkutan tersebut. Karena disana fasilitasnya sudah memadai. Namun demikian, kita secara bertahap akan menambah jumlahnya di pelabuhan lain jika memang kondisinya sudah memungkinkan,” tutur Slamet.

Menurut Slamet, untuk memulai pelaksanaan di tiga pelabuhan tersebut, pihaknya saat ini masih terus melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait. Terutama, dengan stakeholder yang akan melaksanakan aktivitas pengangkutan tersebut.

“Tapi minggu depan saya berencana meminta approval dari Ibu (Susi). Karenanya, semua hal harus sudah bisa diselesaikan sebelum pengajuan tersebut. Selain itu, saya juga berharap nantinya segala urusan yang berkaitan dengan masalah operasional sudah bisa diselesaikan,” ungkap dia.

Terkait dengan keinginan Susi Pudjiastuti yang meminta semua kapal pengangkut harus memperbarui teknologi pemantauannya, menurut Slamet itu juga sudah menjadi ketentuan yang harus ditaati. Keinginan tersebut, kata dia, karena Menteri ingin aktivitas pengangkutan tidak disalahgunakan.

“Yang jelas, saat kapal beroperasi, nantinya aktivitas bongkar muat ataupun aktivitas pelayaran bisa dipantau dari daratan. Maunya sih, nanti aktivitas tersebut bisa dipantau dengan live streaming monitoring,” tegasnya.

Akan tetapi, walau sudah direncanakan, Slamet mengaku masih belum tahu kapan pengangkutan tersebut bisa dilaksanakan.”Pokoknya dalam waktu dekat saja. Sekarang sedang kita usahakan secepatnya,” cetusnya.

Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando
Kapal bersandar di pelabuhan di Labuan Bajo, Flores, NTT. Foto Tommy Apriando

Sementara itu Ady Surya dari Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (APKPII) mengaku tidak mempermasalahkan jika KKP ingin memberikan izin kepada kapal-kapal tangkap untuk memindahkan hasil tangkapannya ke kapal angkut. Menurutnya, langkah tersebut justru bagus karena bisa menyelamatkan tangkapan ikan yang usianya sangat pendek jika tidak dibantu dengan alat-alat.

“Yang dimaksud ala-alat itu cold storage. Di kapal tangkap nasional, sangat jarang dilengkapi dengan fasilitas seperti cold storage, karena memang harganya sangat mahal. Selain itu, jika ingin melengkapinya, maka kapal harus me-upgrade-nya,” tutur Ady.

Mengenai penerapan live streaming monitoring yang dilakukan di atas kapal, Ady juga merasa itu tidak jadi persoalan, karena memang peralatannya sudah memadai saat ini. Namun, kata dia, jika ingin lebih akurat dan cepat, maka harus ada pembaruan teknologi dan itu butuh biaya besar.

“Kami akan mencari cara bagaimana keinginan dari Pemerintah Indonesia ini bisa dijalankan. Kapal-kapal pengangkut yang akan beroperasi nantinya juga akan dilengkapi dengan teknologi canggih sehingga memungkinkaan dilaksanakan live streaming monitoring,” pungkas dia.

Hal senada juga diungkapkan Dwi Agus Siswa Putra, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI). Dia  menilai, apa yang dilakukan KKP tersebut sebagai jawaban atas keresahan pengusaha dan nelayan karena terkena dampak dari pemberlakuan transshipment.

“Kami akan melaksanakan ketentuan ini. Soal kapal angkutnya dari mana itu masih akan dibicarakan lagi. Kita justru senang karena dengan adanya kapal angkut, maka usia tangkapan ikan menjadi semakin lama lagi,” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , ,