,

Prihatin Terhadap Eksploitasi Sumber Daya Alam, Para Pemuka Agama Angkat Bicara

Peran pemuka agama dalam mengatasi pengelolaan sumber daya alam yang tidak lestari sangat diperlukan, terutama dalam hal mengajak umat untuk tidak melakukan perusakan. Ini terungkap dalam Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Pandangan Agama-agama, yang digagas Jaringan Gusdurian, di Auditorium Tugu Pahlawan Surabaya, Selasa (16/6/15).

Koordinator Jaringan Gusdurian Nasional, Alissa Wahid, menuturkan bahwa persoalan pengelolaan sumber daya alam bukan sekadar isu sektoral dan kebijakan publik saja, melainkan berkaitan dengan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Di sini, peran para pemuka agama sangat penting sebagai panutan perilaku umat.

Eksploitasi sumber daya alam, kata Alissa, seringkali memakai dalil kitab suci untuk membenarkan tindakan negatif yang justru merugikan masyarakat. “Dalil itu banyak sekali, terutama pemanfaatan sumber daya alam atau kemaslahatan umat. Tetapi, ada dalil lain yang harus melengkapi, sehingga tidak ditafsirkan terpisah,” terang pemilik nama lengkap Alissa Qotrunnada Munawaroh Rahman ini.

Umat beragama harus lebih peka terhadap lingkungan sehingga bisa mendorong perubahan kebijakan dan praktik pemerintahan yang lebih adil. Kita berharap, cara pandang ini memberikan pencerahan sehingga umat tidak melulu mengejar kesalehan personal, tetapi juga ada tanggung jawab sosial.

Menurut Alissa, konfensi perubahan iklim dunia yang berlangsung Desember nanti, akan membuat berbagai kesepakatan mengenai keberlangsungan hidup bumi serta tanggung jawab manusia. “Alangkah konyolnya ketika dunia bergerak ke arah sustainability, tapi kita masih mengeksploitasi alam tanpa memikirkan keberlanjutannya.”

Senada Alissa Wahid, Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya, Romo Agustinus Tri Budi Utomo menegaskan pentingnya mencintai alam beserta isinya sebagai bentuk konkrit manusia mencintai Tuhan. Wakil Uskup Surabaya ini menegaskan, menjaga dan memelihara lingkungan nilainya sama seperti ibadah.

Menurut Tri Budi, selama ini urusan agama kita hanya menyoroti hubungan manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan manusia. Padahal, manusia disebut manusia karena tinggal di alam. Maka memelihara kesucian dan kesakralan alam merupakan tindakan nyata menjaga tempat beribadah kepada Tuhan.

Gereja Katolik secara universal, memberikan perhatian serius terhadap keberlangsungan alam. Paus Fransiscus pada 18 Juni telah mengeluarkan seruan Laudate Sii, yang menegur praktik serakah mengeruk sumber daya alam sehingga terjadi ketidakadilan ekonomi global.

“Intinya menegur ketidaksetaraan akses ekonomi, eksploitasi alam, dan ketidakadilan global, sebagai lanjutan efek perang dunia yang menciptakan negara pertama dan  negara ketiga. Jadi, harus ada yang bertanggung jawab dan memikirkan keberlangsungan bumi ini,” tandasnya.

Kegiatan menanam mangrove Umat Buddha di Surabaya dalam rangka Hari Raya Waisak sebagai bentuk balas budi ke alam. Foto: Petrus Riski
Kegiatan menanam mangrove Umat Buddha di Surabaya dalam rangka Hari Raya Waisak sebagai bentuk balas budi ke alam. Foto: Petrus Riski

Keseimbangan alam

Pemuka agama Konghucu, Gatot, menyatakan bahwa persoalan pengelolaan sumber daya alam tidak terlepas dari aspek keseimbangan alam. Manusia harus bijak dalam mengatur dan mengelola kekayaan alam agar tidak terjadi kerusakan. “Tumbuhan ada waktunya ditanam dan ditebang. Di Konghucu juga tidak diperbolehkan membunuh burung yang berada di sarang.”

Sementara dalam pandangan Buddha, keserakahan merupakan penyakit manusia yang bila dibiarkan akan menimbulkan kerugian bagi manusia itu sendiri. “Kita diingatkan, dalam konteks Buddhisme, dikenal penyakit keserakahan yang membuat manusia lupa antara kebutuhan dan keinginan. Kerusakan yang terjadi di tempat lain pasti akan berdampak pada kita sendiri,” ujar Romo Winata.

Anggota Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Purnawan D. Nagara mengatakan, kontribusi para pemuka agama dalam menyelamatkan dan menjaga lingkungan sangat diperlukan. Selama ini di Indonesia kehilangan nilai-nilai keteladanan khususnya bidang lingkungan.

Menurut Purnawan, Walhi akan mengoptimalkan kampanye dengan memanfaatkan pendekatan teologi, yang selama ini belum digunakan sebagai bagian dari kampanye penyelamatan lingkungan. “Kita sudah melakukan, tapi baru sebatas mengumpulkan para agamawan dalam seminar,” tegasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,