,

Menjaga Agar Penyu Tak Punah Di Gili Trawangan

Pagi cerah di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB) Jumat pekan lalu. Turis-turis asing berjemur di pasir putih pulau terbesar dari tiga gugusan pulau di sisi barat Pulau Lombok tersebut. Turis-turis lokal asyik mandi di pantai, berfoto selfie, atau sekadar jalan-jalan maupun bersepeda.

Sebagian turis yang melintas di pantai timur Gili Trawangan singgah di balai penangkaran penyu. Lokasi penangkaran ini berada di pinggir pantai. Karena itu turis pun dengan mudah mengenali tempat tersebut.

Balai penangkaran penyu berupa rumah terbuka beratap jerami. Di bangunan seluas sekitar 20 x 15 meter persegi itu terdapat tiga kolam berdinding kaca. Tiga kolam itu tempat tukik-tukik dipelihara dari baru menetas hingga siap dilepas ke laut terbuka.

Pagi itu, Marjan sibuk memberi makan penyu-penyu tersebut. Bapak berumur lebih dari 50 tahun ini membelah beberapa ikan, mengambil dagingnya, lalu memberi makan tukik-tukik dengan daging ikan tersebut.

Sambil tetap memberi makan tukik, Marjan juga menjawab pertanyaan para turis di balai tersebut.

Balai penangkaran penyu Gili Trawangan berawal dari inisiatif mantan kepala dusun Zainuddin. Melihat makin berkurangnya penyu di kawasan tiga pulau ini, Zainuddin kemudian membuat tempat penangkaran penyu. Dia membeli telur penyu dari nelayan dan kemudian ditetaskan.

Semula tempat penangkaran itu di pantai terbuka. Namun, pihak maskapai penerbangan Garuda Indonesia kemudian membantu membangun balai seperti yang ada sekarang ini.

Pengelolaan balai penangkaran dilakukan secara swadaya. Selain Zainuddin, warga lain yang ikut membantu adalah Marjan dan Abu. Mereka bersama-sama memberi makan, membersihkan kolam, dan menjaga balai penangkaran tersebut.

“Niat saya hanya satu, menjaga agar anak cucu saya masih bisa melihat penyu seperti saya saat ini,” kata Marjan.

Marjan menambahkan, hingga akhir 1990-an, penyu masih banyak bertelur di Gili Trawangan. Namun, akibat masifnya pembangunan pariwisata serta penangkapan oleh nelayan, penyu di Gili Trawangan makin berkurang.

“Kalau dulu kita bisa melihat penyu berenang dan terumbu karang cukup dari sini,” tambah Abu, pengelola lain yang berdiri sekitar 20 meter dari bibir pantai.

Mengajak Nelayan

Sejak 2005, Zainuddin bersama Marjan dan Abu pun mengelola penangkaran penyu di Gili Trawangan. Mereka membeli telur penyu dari nelayan seharga Rp1.500 – Rp2.000 per butir. Tujuannya, menurut Marjan, untuk mengajak nelayan agar peduli pada pelestarian penyu.

Tempat penetasan penyu di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir
Tempat penetasan penyu di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Telur-telur penyu tersebut kemudian diperam di pasir selama sekitar 40 hari. Tempat pengeraman ini berada di bangunan khusus dengan lantai pasir. Abu menunjukkan telur-telur yang sedang diperam. Sebagian sudah mengelupas, tanda si tukik telah menetas.

Dalam sebulan, mereka menetaskan sekitar 350 butir telur penyu. Dua jenis yang paling banyak adalah penyu hijau (Chelonia midas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).

Dari tempat penetasan, tukik-tukik itu dibawa ke kolam perawatan. Selama 6-8 bulan, tukik-tukik itu akan dirawat di sana. Selama itu pula para pengelola seperti Marjan dan Abu akan merawat tukik itu tiap hari.

Menurut Marjan dalam setahun mereka bisa membudidayakan 1.500 ekor tukik. Ketika berumur 6-8 bulan, tukik itu baru dilepas ke laut terbuka. Para turis yang berkunjung bisa menyumbang Rp 200.000 untuk melepas satu ekor tukik.

Wisatawan mancanegara maupun domestik berkunjung di di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir
Wisatawan mancanegara maupun domestik berkunjung di di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Donasi dari turis tersebut, Marjan melanjutkan, amat penting untuk biaya operasional sehari-hari balai penangkaran penyu Gili Trawangan. Menurut dia, hingga saat ini tidak ada satu pun lembaga yang mendukung upaya pelestarian tersebut.

Dulu, pihak Garuda Indonesia membangunkan balai penangkaran pada 2008. Namun, saat ini mereka tidak pernah datang atau mendukung lagi. “Hanya dibangun setelah itu tidak diurusi,” katanya.

“Pemerintah juga tidak peduli sama sekali,” ujarnya. Padahal, kata Marjan, alangkah baiknya jika pihak pemerintah datang dan membantu pengelola balai penangkaran.

Padahal, untuk mengelola balai penangkaran itu, mereka butuh biaya tak sedikit. Tiap hari mereka membutuhkan sekitar Rp200.000 untuk pakan penyu maupun biaya perawatan. Karena itu pula, mereka menyiadakan kotak donasi di balai tersebut. Namun, amat sedikit pengunjung yang menyumbang ke mereka.

Papan infromasi di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir
Papan infromasi di balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

Biaya pengelolaan mereka peroleh juga dari warung kecil di depan balai dan penyewaan sepeda pribadi. “Jika ada pendapatan lebih, kami sisihkan untuk biaya perawatan. Jika tidak ya kami pakai uang pribadi. Yang penting cukup untuk merawat tempat ini,” kata Abu.

Saat ini, salah satu dukungan yang mereka inginkan adalah perbaikan atap jerami balai penangkaran. Atap tersebut terlihat sebagian sudah rusak dan berlubang. Padahal, tidak hanya jadi tempat penangkaran, balai itu pun jadi tempat berteduh para turis.

Marjan, salah satu pengelola balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir
Marjan, salah satu pengelola balai penangkaran penyu Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto : Anton Muhajir

“Kadang-kadang kalau hotel-hotel penuh malah banyak yang menginap di sini. Saya biarkan saja yang penting mereka mau menjaga tempat ini,” kata Marjan.

“Tidak tahulah. Kalau memang tidak ada yang mau membantu ya biarkan saja bangunan ini ambruk,” Marjan pasrah.

Di tengah minimnya dukungan, secara swadaya Zainuddin, Marjan, dan Abu terus melestarikan penyu di Gili Trawangan. Menjaga agar spesies ini tidak punah di masa depan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,