, ,

Di Lampung, Penangangan Konflik Gajah dengan Manusia Terus Dilakukan. Caranya?

Upaya penanganan gangguan gajah liar yang terjadi di sekitar Taman Nasional Way Kambas (TNWK) terus dilakukan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, Lampung dan Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-IP). Caranya adalah dengan memberikan peralatan pendukung penanggulangan konflik sekaligus penyuluhan kepada masyarakat di sekitar kawasan.

Berdasarkan catatan tim mitigasi konflik WCS-IP yaitu Wildlife Response Unit (WRU) pada triwulan pertama 2015, sekitar 153 kejadian penghalauan gajah telah dilakukan di 18 desa yang berada di sekitar TNWK.

Dari peristiwa tersebut, sebanyak 83 kejadian, gajah telah merusak tanaman masyarakat seperti albasia, karet, singkong, padi, pisang, jagung, rumput gajah, dan sengon. Sementara pada kejadian lainnya, gajah berhasil dihalau kembali ke hutan tanpa menimbulkan kerusakan kebun masyarakat.

Sugiyo, Community Connector WCS-IP, mengatakan gajah yang berhasil dihalau itu ada yang tunggal (satu individu) maupun campuran (30 individu). “Permasalahan umum yang terjadi mengapa gajah masuk ke permukiman adalah karena terganggunya habitat mereka akibat aktivitas manusia. Karena itu, menjaga habitat alami gajah sumatera harus dilakukan agar gajah dapat bergerak sesuai ruang jelajahnya.”

Sugiyo menuturkan, kualitas habitat yang menurun di Sumatera bagian selatan termasuk Lampung Timur menyebabkan konflik yang terjadi antara gajah dengan manusia meningkat. Biasanya, gajah yang menyatroni permukiman akan merusak lahan pertanian dan tidak tertutup kemungkinan menyerang masyarakat juga.

“Menilik hasil kegiatan mitigasi konflik yang telah dilakukan WCS-IP sejak 2009, konflik sering terjadi saat musim tanam tiba yaitu Januari – April dan Mei – Agustus. Jenis tanaman yang paling sering dirusak gajah merupakan tanaman semusim seperti singkong, padi, atau jagung. Pola-pola ini masih bertahan sampai sekarang,” ujarnya.

Menurut Sugiyo, pengadaan peralatan penanggulanagn konflik seperti alat komunikasi HT, mercon, head lamp, aki, sirine dan gubuk jaga yang diberikan kepada masyarakat merupakan langkah positif guna meningkatkan kepedulian bersama. “Kita tidak bisa mengatasi persoalan ini sendiri-sendiri.”

Miswantori, Kepala Seksi Perlindungan Hutan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur menyatakan, dengan adanya bantuan alat mitigasi konflik diharapkan kemampuan masyarakat dalam menangani konflik secara mandiri akan meningkat. “Sehingga, masyarakat dapat melindungi diri mereka dan tanamannya dari serangan gajah liar tanpa melukai gajah tersebut.”

Selain peralatan, masyarakat desa di sekitar kawasan TNWK juga diberikan informasi tambahan cara menghadapi gajah liar yang masuk perkampungan. “Warga kami ajarkan memasang sirine sebagai alat deteksi dini gajah serta teknik mengkoordinir masyarakat sebagai upaya mitigasi konflik gajah dengan manusia,” papar Miswantori.

Konflik antara gajah dengan manusia harus terus dilakukan upaya penanganannya agar potensinya tidak meningkat. Foto: Junaidi Hanafiah

Habitat ideal

Sunarto, Wildlife Specialist WWF-Indonesia, menuturkan Taman Nasional Way Kambas merupakan kawasan ideal sebagai habitat gajah di sumatera. Wilayah ini merupakan habitat gajah yang memang telah diproteksi hampir keseluruhan beserta daerah jelajahnya.

Meski begitu, wilayah jelajah gajah juga sifatnya dinamis, tergantung bentang alamnya. Di sisi lain, gajah juga akan mencari makanan baru dan lebih segar. Misalnya, singkong, jagung, atau padi yang memang sangat disukai. “Bila di habitatnya banyak makanan, misal dari kemarau ke penghujan yang akan banyak muncul tumbuhan muda, maka secara umum, gajah tidak akan menuju perkampungan.”

Faktor lain, di Way Kambas bila dilihat dari sejarahnya, ada juga gajah dari luar yang digiring masuk ke taman nasional itu sekitar 1980-an. Bisa jadi, gajah inilah yang ingin keluar lagi. “Gajah punya memori cukup kuat akan lingkungannya atau “homing” yang akan membuatnya rindu kembali ke tempat asalnya. Ini yang menyebabkan konflik bisa terjadi karena memang ada upaya dari gajah sendiri untuk keluar menuju “rumah” aslinya,” ujarnya, Minggu (21/6/15).

Secara umum, menurut Sunarto, ancaman utama yang dihadapi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) saat ini adalah habitat yang berkurang, konflik dengan manusia, dan perburuan liar. Terkait habitat, yang menyedihkan saat ini adalah justru habitat gajah sumatera sebagian besar berada di luar kawasan konservasi.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) misalnya, lebih dari 50 persen polulasi gajah berada di luar taman nasional. Begitu juga dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang gajah di wilayah ini hampir mendekati nol. Sebagian besar malah berada di wilayah hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), atau wilayah konversi.

Pun dengan Taman Nasional Tesso Nilo yang hanya sebagian kecil saja wilayahnya mencakupi sebaran gajah. Sebagian besar malahan berada di luar taman yang sekarang menjadi HTI. “Ironis memang, kita melindungi gajah namun habitatnya tidak,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,