*Ari Mochamad, Penilik Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Tulisan ini merupakan opini penulis. Tulisan pertama dapat dilihat pada tautan ini |
Tulisan pada bagian ke 2 ini memfokuskan pada peran corporates dalam pemilihan umum di Nigeria dan Meksiko (diambil dari buku Marketing and Militarizing Elections? Social Protest, Extractive Security, and the De/Legitimation of Civilian Trabsition in Negeria and Mexico by Anna Zalik), yang memperlihatkan mereka sebagai pemenang, ditengah pergulatan ideologi para pihak yang bersaing dalam pemilihan umum tersebut
Kekuatan perusahaan multinasional dalam mempengaruhi kebijakan suatu negara ditentukan oleh faktor kekuatan modal yang luar biasa. Bahkan seringkali mereka menjadi faktor utama dan penentu dari kemenangan suatu pemilihan pemimpin sebuah negara. Dengan jaringan yang dimilikinya mereka berada pada semua lini kekuatan untuk dapat mempengaruhi dan memobilisasi dukungan. Lihat saja bagaimana mereka memasuki bisnis pangan, energi/minyak, media pertelevisian dan elektronik lainnya yang dapat dengan mudah menentukan kehidupan ekonomi sebuah bangsa.
Munculnya istilah kleptokrasi. Suatu kekuasaan (kratos) yang dijalankan oleh para “maling”(klepto)) bermula dari adanya persekutuan antara pengusaha dan penguasa dalam menjarah kekayaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya sebagai bentuk hubungan yang saling menguntungkan bagi keduanya. Bahkan seringkali persekutuan ini pada akhirnya melibatkan angkatan bersenjata untuk mendukung keberlanjutan posisi pengusaha dan penguasa ini.
Oleh sebab itu seringkali dengan kekuatan yang dimilikinya, mereka dengan kepentingan pendanaan globalnya merupakan aktor yang bermain dalam setiap penggantian suatu rejim. Ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah mengenal ‘ideologi’ tertentu sebagai kawan atau lawan, artinya mereka tidak peduli atau lepas dari ‘nilai’ rejim yang berkuasa.
Kecenderungan masuknya pengaruh kuat pengusaha dalam mengintervensi politik suatu negara terjadi pada negara yang secara demokratis belum mapan dan sistem ekonomi yang cenderung tidak sehat. Yoshihara Kunio (1988) mengatakan bahwa kapitalisme semu (ersatz capitalism) seringkali melahirkan rent seeker (pencari rente), yang selalu berupaya untuk membangun persekutuan dengan penguasa untuk meminta segala fasilitas atau perlakukan khusus lainnya yang meringankan dan terlindungi dari kompetisi.
Dalam contoh kasus yang terjadi di dua negara berkembang, yaitu Meksiko dan negara yang dikategorikan sebagai dunia ketiga, Nigeria misalnya menunjukkan bagaimana pengaruh kuat perusahaan minyak multi-corporation dalam menentukan jalannya pemerintahan suatu rejim karena rejim yang disukai dapat membuka ruang bisnis yang menguntungkan baginya. Kesamaan dari kedua negara tersebut adalah bahwa Meksiko dan Nigeria merupakan dua negara yang cukup penting dalam menyuplai minyak. Jika Meksiko sangat berarti bagi Amerika Serikat, Nigeria sangat penting posisinya dalam menjamin kesediaan minyak negara-negara sub Sahara.
Rejim atau suatu pemerintahan yang korup menyadari betul arti hubungan dengan pengusaha, apalagi jika mereka merupakan perusahaan yang mampu mematikan atau memperpanjang masa kepemimpinan para penguasa tadi. Modal yang dimiliki yang tersebar dalam pasar uang dan saham yang menjadi rujukan dunia dapat dengan mudah dipermainkannya. Oleh karenanya hubungan suatu refim dengan transnational oil industry menjadi sangat penting dalam konteks pengakuan kekuasaan suatu rejim di dunia.
Di Meksiko, rejim yang berkuasa dan mendapatkan dukungan pengusaha minyak asing pada akhirnya membayar kompensasi yang telah diberikan padanya dengan memprivatisasi industri minyak nasional mereka, sekaligus sebagai jawaban terhadap adanya kepentingan internasional dibalik keputusan tersebut.
Sementara di Nigeria, penguasa memberikan ‘pintu masuk’ bagi industri minyak transnasional untuk dapat turut berperan mengambil tindakan keras terhadap kegiatan perdagangan penyelundupan minyak. Tentu kegiatan penyelundupan yang umumnya dilakukan oleh para musuh politik rejim penguasa tersebut merugikan industri minyak yang dimiliki perusahaan transnasional tadi. Dengan kekuatan modal, baginya sangat mudah untuk menyewa tentara bayaran dan melengkapinya dengan persenjataan yang modern.
Dengan demikian maka arah kedua kepentingan negara tersebut sangat berpihak pada kepentingan industri minyak transnasional, walau seakan para penguasa tadi membiarkan terjadinya kompetisi dengan para pelaku dalam negeri (kompetisi semu). Jika demikian, lalu apa esensi dari sebuah pemilihan umum dan dimana peran rakyat untuk merubahnya.
Pemilihan umum dilakukan sebagai langkah untuk memulai dan mengakhiri sebuah kekuasaan. Demikian ungkapan untuk menggambarkan kekuatan perusahaan dalam menentukan pemilihan. Jika regim berkuasa mencoba untuk ‘mengkhianati’ kepentingan dan keinginannya, maka dengan mudah merekapun dapat mengakhirinya.
Demokrasi nampak hanya sebagai kegiatan ritual dan dianggap menjadi sesuatu yang ‘tidak penting’. Artinya kekuatan riil suara rakyat dapat dengan mudah dikesampingkan dengan tindakan kekerasan dan peredaman suara mereka lainnya oleh penguasa yang didukung oleh suatu perusahaan.
Apa yang terjadi di Nigeria pada tahun 2003 dan 2007 menjadi bukti untuk memperkuat fakta itu. Pemilihan yang penuh kritik karena dipenuhi kecurangan, kekerasan dan pembunuhan terhadap lawan politik regim yang berkuasa pada akhirnya tetap diakui walau secara formal mereka memenuhi tuntutan dunia internasional untuk menciptakan pemilihan yang bebas dan adil. Pada akhirnya hasil pemilihan disetujui oleh lembaga bilateral/multilateral yang melakukan tugas pengawasan pemilihan umum. Kecurangan dan kekerasan hak asasi manusia yang terjadi selama pemilihan umum ‘dibungkam’ dengan keputusan yang ‘seakan’ demokratis.
Sementara di Meksiko (2006), perlawanan yang dilakukan oleh kelompok Zapatista dengan mengkampayekan sesuatu yang sangat populer di mata penduduk miskin Meksiko dengan janjinya terhadap kepemilikan dan reformasi di bidang tanah seakan tak mempengaruhi rejim penguasa untuk melakukan kecurangan dan kegiatan intimidasi lainnya. Ironisnya hasil pemilihan yang memenangkan penguasa (yang memiliki kedekatan dengan industri minyak transnasional) disetujui oleh lembaga bilateral/multilateral yang melakukan tugas pengawasan pemilihan umum.
Dari hasil pemilihan umum di kedua negara tersebut dapat dikatakan bahwa demokrasi yang mereka lakukan sebatas prosedural, belum mencapai demokrasi yang substansial. Namun demikian terdapat pendapat (mengenai demokrasi prosedural-demokrasi substantif) dari pakar politik bahwa apa yang dihasilkan sangat terkait dengan prosesnya (pendapatnya ditujukan terhadap apa yang terjadi pada pemilihan umum di Indonesia).
Melihat apa yang terjadi pada kedua negara tersebut maka faktor penilai terhadap ideologi dari para calon (candidate) atau pesaing secara langsung dipersepsikan apakah yang bersangkutan pro atau anti terhadap daya saing ekonomi. Mereka (kalangan industri minyak transnasional) secara ekstrem mengkategorikan politik para kandidat hanya dengan mengaitkan kepada pilihan kebijakan ekonominya, apakah yang berkecenderungan ‘kanan’ atau ‘kiri’. Sebaliknya mereka tidak peduli dengan jargon politik yang dibawa para calon penguasa.
Terdapat catatan kritis dari apa yang terjadi pada kedua negara tersebut namun memiliki persamaan yang cukup fundamental, yaitu bahwa kedua negara itu takluk pada industri minyak transnasional. Dengan contoh kedua negara yang memiliki sejarah demokrasi yang berbeda namun memiliki kesamaan dalam konteks penerapan demokrasi yang rapuh (yang tidak diikuti dengan demokrasi substantif).
Lihat saja contoh kasus di Nigeria, dimana perkembangan dari institusi negara tidak mencerminkan pondasi sosial, bahkan mereka tunduk pada pasar bebas (partially subject to a free market), artinya negara sebagai ekspresi kepentingan elit tidak menyatu secara dalam dengan akar kepentingan nasional.
Sementara contoh kasus di Meksiko menunjukkan bahwa walaupun pelaku-pelaku korporasi sudah relatif mapan namun perkembangan dari kegiatan demokrasi formal maupun informal tetap dibawah pengaruh institusi dan kelompok kepentingan neo liberal.
Catatan Penutup
Pengaruh besar dan kuat dari neo liberalisme ditandai dengan masuknya mereka dalam seluruh elemen kegiatan pemerintahan dan bisnis. Kehadiran militer dimanfaatkan sebagai upaya untuk melanggengkan pengaruh dan kekuasaannya. Terwujudnya persekutuan dari ketiga kekuatan besar dan saling mempengaruhi dan tentu saling menguntungkan juga) hanya dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan adanya demokrasi yang secara prosedural dan subtansial dapat dijalankan melalui peran masyarakat sipil, perguruan tinggi, lembaga keagamaan, partai politik dan pemerintah yang menjalankan amanat rakyat sesuai dengan apa yang menjadi pesan dari konstitusinya.
Belajar dari apa yang terjadi di negara-negara lain, khususnya di Meksiko dan Nigeria dapat membuka mata bahwa pelaku bisnis besar yang diperankan oleh perusahaan transnasional, industri minyak transnasional pada hakekatnya sedikit memberikan peran terhadap terwujudnya suatu negara demokratis atau tidak, bahkan ada atau tidaknya kompetisi dalam menjalankan bisnis mereka. Dalam benaknya mempengaruhi elit politik untuk melanggengkan roda perputaran keuntungan dari bisnis yang dijalankannya merupakan prioritas dan target mereka.
Tentu tidak setiap pelaku bisnis berperilaku seperti itu, namun pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa kehendak bebas sepatutnya diatur dan dijalankan dengan instrumen pemaksa agar pelaku tetap pada jalur yang mengarah pada kesejahteraan nyata masyarakat negara tersebut. Mereka harus belajar bahwa cara-cara demikian hanya menyuburkan kekerasan politik yang bersifat laten (terus-menerus) pada akhirnya mengeluarkan biaya dan korban jiwa yang sangat besar yang tak akan membawa mereka (negara tersebut) pada level sebuah negara yang sejahtera secara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.