,

Terbukti Melakukan Perdagangan Satwa Antarnegara, Pelaku Ini Hanya Divonis Enam Bulan Penjara

Lemahnya penegakan hukum dianggap sebagai penyebab masih maraknya perdagangan satwa liar yang dilindungi. Vonis penjara yang ringan belum memberikan efek jera bagi para pelaku yang jelas-jelas terbukti bersalah.

Basuki Ongko, aktor perdagangan satwa antar negara yang pengungkapan kasusnya dibantu oleh petugas Metropolitan Police Wildlfe Crime Unit Inggris itu, dihukum cukup ringan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang diketuai oleh Ferdinandus, hanya memvonisnya enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun, Rabu (17/6).

Padahal, kejahatan yang dilakukan warga Simpang Dieng, Malang, Jawa Timur ini tergolong mengancam kelestarian satwa liar di Indonesia. Saat penggerebekan di rumahnya, polisi berhasil menyita satu awetan penyu, kucing hutan, kerangka kancil, dan kepala rusa. Polisi juga berhasil mengamankan 100 kepala burung cekakak paruh merah beserta 85 kerangka tubuhnya; 90 kepala paruh hitam cekakak beserta 30 kerangka tubuh; 63 bulu merak; 9 sigung; dan 5 kerang terompet.

Sebelum diekspor, satwa tersebut diproses menggunakan zat kimia untuk menghilangkan bulu, kulit, dan daging. Hasil kejahatannya itu dipasarkan ke sejumlah negara seperti Amerika, Inggris, Swedia, serta beberapa negara eropa lainnya.

Kepada polisi, Basuki Ongko tidak menyampaikan secara detil dari mana satwa itu diperoleh. “Pelaku hanya menyebut beberapa daerah seperti Banyuwangi, Bali, dan Jawa Tengah. Padahal, beberapa jenis satwa merupakan endemik Kalimantan, tapi dia membantah memperolehnya dari sana,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol Awi Setiyono kepada media di Mapolda Jawa Timur, Januari lalu.

Alwi juga meyakini, dari ratusan kerangka satwa yang berhasil disita itu, sepertinya tidak mungkin bila pelaku melakukan pengambilan atau pembersihan daging dan kulitnya secara manual.

Meski terbukti bersalah dan melanggar UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta, namun Basuki Ongko justru mendapatkan hukuman jauh dari perkiraan. Selain hukuman percobaan, terdakwa hanya diwajibkan membayar denda Rp1 juta dan subsider satu bulan kurungan, vonis yang tidak berbeda dari tuntutan jaksa.

Sangat disesalkan

Ringannya vonis tersebut sangat disesalkan oleh Lembaga Protection of Forest & Fauna (Profauna). Rosek Nursahid, Ketua Profauna Indonesia, menuturkan vonis rendah yang dijatuhkan pengadilan pada pelaku pada 17 Juni 2015 tersebut merupakan bukti tidak adanya keadilan dan  penegakan hukum dalam pemberantasan perdagangan satwa liar ilegal.

Pertama, pelaku terbukti terlibat dalam perdagangan satwa langka. Kedua, dia melakukannya sejak 2006. Ketiga, kasus ini melibatkan beberapa negara. Dengan fakta tersebut, bagaimana mungkin majelis hakim memvonis enam bulan penjara, itu pun percobaan. Ini memalukan,” kata Rosek.

Pada 2015 ini, Profauna mencatat ada tiga kasus perdaganagan satwa yang berhasil diungkap aparat penegak hukum, termasuk yang terakhir penyelundupan 24 individu kakaktua jambul kuning dalam botol plastik di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Sebelumnya, Profauna bersama kepolisian berhasil membongkar kasus perdagangan orangutan internasional di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta pada 2006. Namun, si pelaku hanya dijatuhi hukuman lima bulan penjara.

“Kami melihat, titik lemah penegakan hukum terjadi saat masuk pengadilan. Inilah mengapa, kejadian perdagangan satwa terulang kembali karena vonis tidak maksimal, bahkan percobaan,” ujarnya.

Profauna, kata Rosek, mendesak ketegasan aparat penegak hukum dalam memberangus praktik jual beli satwa liar di Indonesia. Bahkan, pihaknya akan mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk merevisi UU Nomor 5 Tahun 1990 kepada DPR. “UU tersebut direvisi pada pasal yang mengatur tentang sanksi. Pada pasal 21 sanksi maksimal hanya lima tahun. Kita desak dalam revisi itu sanksinya harus minimum.”

Sementara itu, pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Syaiful Aris mengatakan, konsep pemidanaan dengan adanya hukuman sebenarnya ditujukan pada diri pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Selain itu, ditujukan juga kepada pihak lain agar tidak melakukan perbuatan pidana yang sama di lain waktu.

“Memang, hakim dalam undang-undang ada yang menetukan hukuman minimal dan maksimal. Kalau ketentuan yang mengatur maksimal maka hakim diberikan ruang untuk menentukan berapa lama hukuman itu,” paparnya.

Syaiful Aris yang juga mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menambahkan, beratnya hukuman diasumsikan sebagai efek jera, agar pelaku tidak lagi mengulangi perbuatannya. Dengan rendahnya hukuman, maka efek jera juga menjadi berkurang.

“Kalau hukumannya rendah, sudah pasti tidak ada efek jera bagi pelaku. Maka, hakim juga harus mempertimbangkan proses pengadilan, pembuktian selama persidangan, dan terpenting dimensi untuk kepentingan publik,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,