Daerah-daerah Ini Rawan Kekeringan, Pertanian Terancam. Apa Solusinya?

Sebagian wilayah di Indonesia, rawan kekeringan saat kemarau, termasuk di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Salah satu paling terdampak kekeringan adalah sektor pertanian. Adakah solusinya?

Sudaryatno, dosen prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM mengatakan, dengan memanfaatkan sistem informasi geografi (SIG) bisa menditeksi dini dan pemantauan wilayah kekeringan. Misal, data citra Landsat 8 bisa mendapatkan informasi kondisi drainasi, bentuk lahan, dan penggunaan lahan.

“Informasi bisa untuk menentukan kerentanan dan kekeringan lahan di suatu wilayah,”katanya Jumat (19/6/15).

Dari citra satelit, katanya, bisa diketahui informasi indeks vegetasi (NDVI), sebaran suhu permukaan (LST) maupun peta kemiringan lereng. Dari penelitian di Jateng dan Yogyakarta, diperoleh tingkat ketelitian NDVI 80% dan ketelitian nilai ekstraksi suhu citra terhadap suhu lapangan 84,87%, dan uji ketelitian kekeringan lahan menggunakan data lapangan 91%.

Dari data ini, disusun peta kekeringan untuk menilai kemampuan lahan terhadap dampak kekurangan air. Paremeter paling dominan dalam penentuan kerentanan kekeringan, katanya, adalah bentuk lahan dan tanah.

Sudaryatno mengatakan, penelitian menunjukkan zona utara meliputi Brebes, Tegal, Kota Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kota Pekalongan Batang Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Grobogan, Rembang dan Blora,  mengalami kekeringan lahan tinggi. Ia dijumpai pada sebagian besar wilayah terutama sisi timur zona ini karena ada perbukitan Kendeng yang berbatuan gamping.

Zona tengah juga mengalami kekeringan lahan tinggi. Yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Kota Magelang, Boyolali, Selman, Kota Yogyakarta, Semarang, Salatiga, Klaten, Sukoharjo, Surakarta, Karanganyar, dan Sragen. “Karena lereng terjal di pegunungan.”  Sedang zona selatan, kekeringan lahan tinggi lebih dipengaruhi topografi karst. Ia mencakup Cilacap, Kebumen, Purworejo, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, dan Wonogiri.

Dalam penelitian berjudul “Integrasi Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Penyusunan Model Kerentanan Kekeringan (Kasus di Jawa Tengah dan Yogyakarta),” katanya, model kerentanan kekeringan wilayah dibentuk dari tumpang susun peta kekeringan meteorologi, kekeringan lahan dan kekeringan pertanian. Ia diamati spasial bulan ke bulan.

“Suatu wilayah potensial masuk kekeringan lahan, jika curah hujan tinggi maka tidak terjadi kekeringan. Juga sebaliknya,” kata Sudaryanto.

Penelitian juga memperlihatkan,  di zona utara, awal kekeringan mulai terasa April dan mencapai puncak Juni-September. Pada zona ini, makin ke timur tingkat kekeringan  makin tinggi dengan cakupan wilayah lebih luas dibanding barat.  Zona selatan,  kekeringan mulai April dengan puncak Juni-September. Zona tengah awal kekeringan terlihat Mei dan puncak Agustus-September. 

Lahan sawah di Kayen, pati, Jawa Tengah. Memasuki kemarau, mesti diantisipasi dampak terhadap tanaman pertanian. Foto: Tommy Apriando
Lahan sawah di Kayen, pati, Jawa Tengah. Memasuki kemarau, mesti diantisipasi dampak terhadap tanaman pertanian. Foto: Tommy Apriando

Solusinya?

Untuk meningkatkan produktivitas terlebih saat kemarau, pemerintah perlu mengarahkan petani menerapkan budidaya padi sawah dengan sistem irigasi hemat air dan penggunaan pupuk dam pestisida organik. Demikian diungkapkan Dosen Fakultas Teknik,  Joko Sujono.

Dia mengatakan, rata-rata kenaikan produktivitas gabah selama lima tahun terakhir hanya 2,6%. Ia belum dapat meningkatkan nilai tukar petani, bahkan masih defisit. Kenaikan ini, tak sebanding dengan pengeluaran petani baik untuk sarana produksi maupun kebutuhan hidup meskipun pupuk dan benih subsidi pemerintah.

“Ketergantungan pupuk kimia menjadi tambahan beban bagi petani hingga menambah biaya produksi dan mengakibatkan degradasi kesuburan tanah,” katanya.

Untuk itu, inovasi tanam padi ramah lingkungan dan produktivitas tinggi harus segera diterapkan. Salah satu, mengubah pola budidaya padi boros air dengan yang hemat air. Ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia diganti organik yang bisa dibuat sendiri oleh petani.

Menurut dia, dengan system of rice intensification (SRI) cukup efektif meningkatkan produktivitas gabah. Metode ini,  menghasilkan 7,25 ton per hektar dengan penghematan air 40% dibandingkan sistem konvensional– yang menghasilkan hanya 3,92 ton per hektar. Keuntungan penerapan metode SRI dibandingkan sistem konvensional pada lebih 50 negara, katanya, mampu meningkatkan produksi hingga 20-100%.  “Bisa mengurangi pemakaian benih 90% dan menghemat air hingga 50%,” katanya.

Metode SRI organik bahkan memberikan hasil lebih baik, karena anakan banyak, panjang,  hingga bulir lebih banyak, kuat dan lebih sehat.   Biaya produksi, katanya,  lebih rendah karena penghematan benih sampai 90% dibanding konvensional. “Pupuk jauh lebih murah karena dibuat sendiri.”

Apa kata BNPB?

Sejak Mei-Juni, sebagian wilayah Indonesia masuk kemarau. Puncak diperkirakan September. Kekeringan dan krisis air diperkirakan di beberapa wilayah dengan kondisi alam kering dan ketersediaan air defisit. Beberapa daerah di Jawa, Bali, NTT, NTB, Lampung dan sebagian di Sumatera. Di Jawa, seperti Purwakarta, Wonogiri, Purwodadi, Pacitan, Boyolali, Pantura Jawa, Tuban.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo,  kepada Mongabay mengatakan, telah meminta jajaran BNPB dan BPBD menyiapkan antisipasi. Rencana kontinjensi, katanya, untuk mengatur strategi penanganan darurat kekeringan. Kekeringan bersifat slow on set (berlangsung perlahan) hingga lebih mudah mengatasi.

Untuk kelangkaan air,  dilakukan pengerahan tangki air dan logistik ke daerah rawan kekeringan. Juga imbauan hemat dan pengaturan air untuk irigasi pertanian.

“Gerakan pemanenan hujan, restorasi sungai, pengurangan risiko bencana dan perbaikan lingkungan lebih ditingkatkan. Solusi jangka panjang mengatasi kekeringan perlu mitigasi struktural masif dengan pembangunan embung, bendung dan waduk. Tugas ini kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pertanian.”

Lalu, dampak kemarau lain, potensi kebakaran hutan dan lahan  terutama di Sumatera dan Kalimantan. “Antisipasi dilakukan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pemda.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,