,

Jelang Pilkada Serentak, Pemerintah Didesak Moratorium Izin Pertambangan dan Perkebunan

Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak Desember ini, pemerintah didesak segera mengeluarkan kebijakan moratorium perizinan tambang dan perkebunan. Jika merujuk kegiatan pengalaman lalu, pesta demokrasi ini berpotensi menimbulkan praktik obral perizinan hingga mengancam kelestarian hutan dan sumber daya alam.

“Melihat fenomena kasus-kasus sebelum pilkada serentak, perizinan erat kaitan dengan pilkada. Seringkali izin-izin pertambangan dan perkebunan diobral sebelum pilkada dengan tujuan kepala daerah memperoleh timbal balik swasta,” kata peneliti ICW Donal Fariz di Jakarta, Senin (22/6/15).

Dengan biaya pilkada tinggi, katanya,  para calon kepala daerah mencari sumber pendanaan instan dan jumlah besar, salah satu, obral perizinan. Itu yang mendasari kaitan benang merah antara pilkada dengan perizinan.

“Potensi sama besar dengan pilkada sebelumnya. Apalagi saat ini KPK berada di titik terendah. KPK sedang tidak prima membuat calon kepala daerah melihat ini sebagai kesempatan.”

Menurut dia, tak semua daerah punya SDA untuk dijual. Bagi yang tidak punya, mereka akan main di pengadaan barang dan jasa.

“Karena itu moratorium perizinan menjadi sangat penting. Paling tidak satu tahun enam bulan sebelum, dan enam bulan setelah pilkada. Saya mendesa kepada Presiden segera menerbitkan moratorium perizinan.”

Fadli Ramadhanil dari Perludem berpendapat sama. Selain moratorium juga harus ada pengawasasan lebih intens.”Sekarang energi itu terbagi karena serentak. Jadi kurang. Butuh tenaga ekstra dari kita semua bersama-sama mengawasi izin tambang dan perkebunan. Pengawasan lemah bisa dimanfaatkan mereka. Ini harus dibatasi dan diawasi pengawas pemilu, inspektorat daerah dan masyarakat agar tak ada obral perizinan.”

Fadli mengatakan, moratorium izin tambang dan perkebunan mesti segera karena waktu mepet. Kebijakan bisa dalam Inpres, Kepres atau atau aturan menteri.

“Agar tak ada obral perizinan berujung politik transaksional. Potensi masih besar. Bisa saja kepala daerah ingin mengumpulkan sumbangan dari para pengusaha tambang dan perkebunan mengobral izin. Setelah terpilih justru memberikan kelonggaran-kelonggaran terkait izin kelola tambang dan perkebunan.”

Almas sjafrina, peneliti korupsi politik ICW mengatakan, moratorium perizinan solusi bagus. Semua bentuk alokasi kebijakan dan anggaran, katanya,  harus diminimalisir agar tidak berpotensi disalahgunakan untuk pemenangan pilkada. “Juga harus ada moratorium bansos,” katanya.

Fenomena tiap daerah berbeda. Di daerah banyak SDA, sumber uang perizinan tambang dan perkebunan. Daeeah lain biasa bantuan sosial (bansos).

Hendrik Rosdinar,  Manajer Advokasi Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif Kemitraan Masyarakat Indonesia mengatakan, obral perizinan menjadi salah satu modus calon kepala daerah.

“Ketika motivasi mengumpulkan dana politik, akan mengabaikan prosedur perizinan dan persyaratan. Izin pertambangan dan perkebunan yang berpotensi merusak lingkungan dibiarkan begitu saja.”

Dia mengatakan, dengan reformasi penataan perizinan dan penyederhanaan melalui satu pintu merupakan satu langkah patut diapresiasi. Meskipun praktik di lapangan, tangan-tangan tak terlihat masih mempengaruhi proses perizinan,  masih ada tekanan politik dari kepala daerah dan lain-lain.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,