,

Bagaimana Cara Perbankan Menilai Perkebunan Sawit di Sulawesi Tengah?

“Berbicara sektor perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah (Sulteng), memang bukan hanya soal aspek keuntungan ekonomi dan cost. Kita belum memiliki Product Domestik Regional Bruto (PRDB) hijau. Kita juga belum memasukkan biaya untuk faktor-faktor lingkungan.”

Pernyataan itu disampaikan Adi Ramawan Putra, perwakilan dari Bank Indonesia (BI) Sulteng dalam diskusi fokus yang digelar Walhi Sulteng belum lama ini. Tema yang diangkat adalah “Menelaah Kebijakan Perbankan dalam Pemberian Kredit Perkebunan Sawit.” Selain BI, hadir juga dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai pembicara.

Adi mengatakan, jika dilihat memang terjadi alih fungsi lahan di Sulteng dan berpengaruh pada aspek lingkungan. Akan tetapi, kelapa sawit kini menjadi primadona karena permintaan global dengan trend yang meningkat. Dua negara yang menjadi pangsa utama yaitu India dan Tiongkok, dengan total kebutuhan mereka sekitar 10 juta ton per tahun. “Output harga dari komoditas ini lebih tinggi ketimbang komoditas lain.”

Dari sektor tenaga kerja, 50 persen bekerja di perkebunan. Secara garis besar, sektor perkebunan memberikan kesempatan kerja cukup besar bagi penduduk Sulteng dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 1,15 persen.

Namun demikian, terkait kontribusi daerah terhadap total ekspor CPO nasional, bila dibandingkan daerah lain, Sulteng belum ada apa-apanya, karena Sulteng hanyalah hulu. “Pertumbuhan komoditi sawit belum sebanding migas, kontribusinya juga belum memberikan keuntungan cukup besar. Karena, pengolahan hasil perkebunannya belum ada di Sulteng,” ujar Adi.

Satria, bagian pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Sulawesi Tengah mengatakan, secara eksplisit di OJK belum ada aturan detil kredit di sektor perkebunan. Tapi, menurutnya, salah satu program kerja OJK 2015 ini mengenai sustainable finance atau keuangan yang berkelanjutan yang menjadi kiblat industri perkebunan.

Keuangan berkelanjutan di Indonesia didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

“Kami juga telah menyorot soal pelestarian alam, karena masih banyak industri yang berakibat buruk pada lingkungan,” kata Satria.

Menurutnya, contoh penerapan keuangan berkelanjutan pada sektor perkebunan sawit, seperti mensyaratkan nasabah yang memiliki usaha perkebunan sawit untuk menerapkan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Bila terlanjur dibiayai, nasabah diminta untuk membuat action plan untuk menerapkan RSPO/ISPO tersebut.

Bank dapat memberikan insentif bagi nasabah yang menerapkan RSPO/ISPO dengan memberikan suku bunga lebih rendah dengan pertimbangan penerapan RSPO/ISPO telah menurunkan premium risk bank untuk aspek risiko lingkungan dan sosial. “Tindakan sebaliknya dapat dilakukan bagi nasabah yang tidak menerapkan RSPO/ISPO.”

Selain itu, terang Satria, bank harus memperhatikan penilaian program penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper) yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat melakukan penilaian kualitas kredit nasabah maupun dalam proses permohonan. Proper mencakup lima kategori dengan warna tertentu yaitu emas, hijau, biru, merah, hitam. Emas peringkat tertinggi dan hitam terendah.

Tapal batas Suaka Margasatwa Bangkiriang, di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Di dalam SM Bangkiriang ini ada perkebunan sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), gudang permanen, dan bangunan perusahaan. Foto: Ariestal Douw

Sawit di Sulteng

Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng mengatakan, pihaknya sedang melakukan riset pembiayaan perbankan pada perkebunan kelapa sawit, di beberapa perusahaan. Menurutnya, standar yang dikeluarkan perbankan untuk pemberian kredit ke perusahaan perkebunan sawit terlalu longgar.

Salah satunya dalam konteks kepemilikan atau legalitas penguasaan perkebunan skala besar. Alasan yang digunakan adalah hak guna usaha (HGU), tapi pada praktiknya koorporasi bisa mengolah lahan tersebut menggunakan izin lokasi.

“Ini yang jadi masalah. Padahal izin lokasi hanyalah izin untuk mengusahakan lahan, belum menunjukan secara legal bisa beraktivitas di lahan tersebut. Tidak heran, kita melihat luas kredit perbankan bertambah namun bila dihitung sesuai luas HGU, jauh timpangnya.”

Angka yang kami punya, kata Ahmad, total perizinan perkebunan sawit sebesar 700 ribu hektar, kalau kita perikasa HGU sekitar 15 ribu hektar. Idealnya, kalau bicara konteks kepatuhan, hanya 148 ribu kredit perbankan yang boleh.

Menurutnya, ini gambaran umum di perkebunan sawit. Contoh lain ada pada perusahaan berbendera Kencana Agri. Hasil identifikasi, dari total investasi, 20 – 30 persen uang yang digunakan Kencana Agri adalah uang perbankan atau kredit yang berasal dari DBS, Bank Danamon, dan BNI.

“Ini beberapa bank yang kami teliti laporan keuangannya. Dalam pandangan kami, bank berkonstribusi besar dalam pembiayaan perkebunan sawit. Jadi, kami beranggapan bahwa bank juga berkonstribusi terhadap masalah-masalah yang terjadi di sektor perkebunan sawit. Bank tidak menetapkan standar yang baik dan juga penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan,” papar Ahmad.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,