,

Nelayan Filipina Bermarkas di Kepulauan Sangihe. Kok Bisa?

Penertiban aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing memang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, penertiban tersebut lebih difokuskan pada kapal-kapal besar dari luar Indonesia yang melaut di perairan Indonesia.

Sementara, penertiban nelayan-nelayan asing yang melaut di Indonesia hingga saat ini masih belum dilakukan. Contoh nyata hingga saat ini masih terjadi di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Di kepulauan yang berbatasan langsung dengan Filipina itu, hingga saat ini masih sangat banyak nelayan dari Filipina yang melaut di Sangihe.

Pengakuan tersebut diungkapkan sendiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dalam penuturannnya, dia mengaku para nelayan di Tahuna, Kepulauan Sangihe, mengeluhkan kondisi terkini di wilayah perairan daerah tersebut.

“Disana, nelayan mengeluhkan kapal Filipina mulai berlayar di laut di Sangihe. Kondisi itu tidak membuat nyaman para nelayan disana, karena harus bersaing dengan nelayan dari luar negeri,” ungkap Susi.

Menurut Susi, banyaknya kapal Filipina yang melaut di Sangihe, karena saat ini di wilayah perairan tersebut diketahui sedang masuk musim ikan. Jadi, produksi ikan disana dalam beberapa minggu ini sedang melimpah.

“Tidak hanya melaut, nelayan-nelayan dari Filipina juga saat ini banyak yang memilih untuk tinggal sementara waktu di Sangihe. Itu jumlahnya mencapai ratusan orang,” jelas Susi.

Lebih lanjut Susi mengatakan, tidak hanya sebatas tinggal dan melaut di perairan sekitar Sangihe, para nelayan dari Filipina tersebut juga diketahui banyak yang memiliki identitas kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia.

“Bagi saya itu tidak masuk akal. Karena mereka jelas WNA tapi kok bisa dapat KTP. Ini sudah membuat nelayan lokal resah, karena nelayan dari Filipina tersebut dilengkapi dengan kapal yang lebih canggih,” jelas dia.

Kapal Indonesia, ABK Filipina

Tidak saja tinggal di daratan Indonesia, para nelayan Filiipina juga beroperasi di perairan sekitar Kepulauan Sangihe dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia. Semua itu, hanya satu tujuannya, agar bisa mendapat ikan sebanyak mungkin saat musim ikan terjadi di kawasan tersebut.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Asep Burhanudin menjelaskan, di Tahuna saat ini terdapat kapal   di bawah 30 Gross Tonnage (GT) milik pengusaha Indonesia. Namun, kapal-kapal tersebut saat ini dioperasikan dengan menggunakan anak buah kapal (ABK) dari Filipina.

“Ini juga modus baru. Kita harus bisa menghentikan aksi ini karena bisa jadi ini adalah modus lain aktivitas IUU Fishing,” ungkap Asep.

Saat ini, Asep mengatakan, di Tahuna terdapat 82 kapal plam boat  yang dioperasikan oleh 340 ABK. Kapal-kapal tersebut diketahui dimiliki agen-agen perikanan yang ada di Tahuna. Kata dia, diperkirakan jumlah agen yang mengoperasikan kapal plam boat sebanyak 23 dan berasal dari Bitung dan Tahuna.

“Dari 82 plam boat, ada 8 plam boat yang dioperasikan dengan berbendera Indonesia, tapi menggunakan ABK dari Filipina. Dari 8 tersebut. 4 plam boat diantaranya sempat diproses oleh TNI AL, namun dibebaskan karena tidak ada identitas yang lengkap pada masing-masing ABK,” ungkap Asep.

Nelayan Bitung Protes Pajeko Dilarang Beroperasi

Sementara itu keluhan juga datang dari nelayan yang ada di Bitung, Sulawei Utara. Disana, para nelayan mengeluh karena perahu kapal pajeko yang biasa digunakan nelayan lokal dilarang untuk beroperasi di wilayah perairan Bitung dan Sulawesi Utara. Larangan tersebut keluar dari Pemprov Sulut.

Ketua Himpunan Pengusaha Kecil Nelayan Sulawesi Utara Djefri Sagune mengatakan, larangan tersebut membuat resah para nelayan setempat karena itu berarti mematikan sumber pendapatan mereka. Karena itu, para nelayan kemudian berencana untuk melaut ke perairan Maluku Utara yang diketahui tidak melarang armada pajeko untuk melaut.

“Ada laporan dari nelayan mengenai perpanjangan surat yang ditolak oleh Dinas Kelautan Sulut. Ini tidak masuk akal, karena di Maluku Utara, pajeko tidak dilarang. Padahal, di Manado saja ada 20 Pajeko yang beroperasi,” ungkap Djefri kepada Mongabay.

Dari informasi yang beredar di kalangan nelayan Bitung, larangan tersebut diketahui dilatarbelakangi surat edaran dari KKP. Surat edaran tersebut, kata Djefri, menjadi senjata pamungkas untuk menolak perpanjangan izin melaut untuk armada pajeko.

“Ini aneh, karena di Maluku Utara tidak dilarang. Semakin aneh, karena ada dua pajeko yang melaut ke perairan Maluku Utara dan ditangkap oleh Polair. Alasannya, karena melakukan pelanggaran. Tetapi, justru dari Pemprov Maluku Utara kedua kapal tersebut tidak disebut melanggar,” papar dia.

Mengetahui hal tersebut, Susi Pudjiastuti langsung terlihat kebingungan. Bagi dia, info yang beredar tersebut terasa aneh dan janggal. Pasalnya, dia sama sekali tidak pernah mengeluarkan surat edaran pelarangan pajeko di Sulut.

“Yang dilarang itu adalah kapal eks asing yang berbobot 30 GT ke atas. Itu bagian dari moratorium. Kalau kapal lokal dan di bawah 30 GT kapasitasnya, ya silakan saja. Makanya, kita akan telusuri lebih jauh tentang larangan ini,” pungkas dia. 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,