Pagi menghampiri Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Warga tampak lalu lalang. Sekitar 200 meter, terdengar suara pohon-pohon bertumbangan. Bunyi mesin pemotong kayu bersahut-sahutan. Truk besar keluar masuk hutan di Taman Nasional Gunung Leuser. Itu cerita keseharian terjadi berpuluh tahun lalu. Penindakan berjalan namun penebangan di Tangkahan, tak berhenti.
Pada 2000an, kondisi berubah. Balai Besar TNGL membuat terobosan dengan memanfaatkan kawasan hutan menjadi obyek wisata (ekowisata). Masyarakat desa sekitar kawasan dilibatkan. Salah satu tujuan merangkul penebang liar agar menghentikan aksi mereka.
Perlahan, mereka mulai meninggalkan tebang menebang hutan. Mereka malah memoles kawasan hutan yang sempat hancur, dengan menanam kembali pohon cepat besar. Berbagai cara dilakukan untuk “menjual” kawasan TNGL ini, tanpa harus merusak. Berbenah, membangun desa, mendirikan tempat penginapan sederhana dengan konsep alam, membuat Tangkahan menjadi obyek wisata alam paling diminati wisatawan manca negara maupun lokal.
Hutan yang dulu hancur, mulai hijau kembali. Air sungai terlihat jernih. Konsep ekowisata BBTNGL berhasil dan mampu merebut hati masyarakat.
Rudikita Sembiring, pemuda desa eks penebang liar, kini mengelola Tangkahan bahkan dipercaya sebagai Ketua Harian Lembaga Wisata Tangkahan, menceritakan, lembaga ini dibuat 19 Mei 2001, dengan anggota hampir semua illegal logger. Mereka menebang hutan sudah sejak lama.
Dengan mengelola Tangkahan, membuat mereka sadar, betapa hutan penting, bukan saja buat menjaga lingkungan juga menghasilkan uang cukup banyak tanpa harus merusak.
“Kami kelola sendiri, dengan memberdayakan masyarakat lokal. Mulai penginapan sederhana, sampai guide semua masyarakat lokal. Mereka membawa wisatawan mengelilingi hutan TNGL, menikmati hijau daun, dan berbagai keragaman hayati. Ada penyesalan di hati, mengapa tidak dari dulu kami lakukan,” kata Sembiring.
Untuk mendukung konsep ini, BBTNGL memberikan kebebasan masyarakat mengelola kawasan dengan catatan tak merusak atau mengambil apapun. Ada tujuh gajah yang dulu liar, kini jinak dan menjadi tim patrol bersama para eks pembalak liar menjaga hutan.
Para wisatawan asing juga diberikan kesempatan berpatroli ke hutan. Menurut Sembiring, di hutan, jika beruntung, bisa melihat gajah, orangutan, dan jejak harimau serta badak.
“Jadi kami jual keindahan TNGL. Jika dulu kami menebang dan merusak, sekarang, sebagai bentuk jawab, kamilah yang menjaga dan mengawasi setiap saat agar tidak rusak.”
Dari wisata TNGL ini, katanya, mereka mengantongi keuntungan sekitar Rp7-8 miliar pertahun.
Kuswandono, Kepala Bidang Teknis BBTNGL mengatakan, dulu kawasan ini rawan pembalakan liar. Pendidikan konservasi alam, juga diberikan kepada masyarakat agar bisa menjelaskan kepada masyarakat yang datang ke Tangkahan.
Balai juga menempatkan tujuh gajah dari Aceh. Saat itu, terjadi konflik di Aceh, gajah-gajah ini dikirim ke Tangkahan dan jadi tim patroli hutan TNGL.
Ketika disusun dasain tapak untuk zona pemanfaatan hutan TNGL di Tangkahan ini, diputuskan zona wisata alam publik. Hal ini perlu guna mengantisipasi usaha besar masuk ke Tangkahan, yang bisa membuat usaha masyarakat terganggu.“Konsepnya, melibatkan masyarakat lokal mengelola hutan.”