,

Hutan Aceh, Target Utama Perburuan Paruh Rangkong

Belum lama ini Balai Taman Nasional Gunung Leuser (BTNGL) menangkap dua penjual paruh burung rangkong di Langkat, Sumatera Utara yang menampung hasil perburuan dari Aceh. Mengapa mereka bisa leluasa menjalankan aksinya?

Sejak awal 2014, pemburu dari Sumatera Barat, Riau, dan Sumatera Utara dilaporkan menjadikan Aceh sebagai kawasan baru perburuan rangkong di Sumatera. Mereka masuk dengan memakai jasa pemandu orang Aceh yang akan membawa mereka menjelajah hutan selama berbulan-bulan. Dalam waktu tertentu mereka akan turun ke kampung untuk membeli persediaan makanan sekaligus mengantar hasil buruannya pada toke dari Medan yang datang menjemput langsung ke kampung. Di pasar gelap di Medan tanduk kepala rangkong dijual per gram dengan harga yang cukup mahal. Ia akan dibawa ke Tiongkok untuk dijadikan bahan baku obat tradisional.

Seorang tokoh adat  di Mukim Tangse, Pidie, Fakhruddin Umar, telah menangkap dua kelompok pemburu rangkong yang beraksi di hutan kemukimannya di dua bulan berbeda awal 2015 ini. Kemukiman Tangse adalah wilayah adat yang terdiri dari beberapa kampung yang mukimnya diberi kewenangan mengamankan 20 ribu hektar hutan yang merupakan jantung Ekosistem Ulu Masen di Aceh.

Dari dua kali kejadian itu, Fakhruddin dan masyarakat menyita 5 pucuk senjata airsoft kaliber 5,5 milimeter termasuk ada 2 kepala rangkong yang disembunyikan di tas pemburu. Mereka merebus kepala itu agar tidak busuk.

“Senjata dan kepala rangkong saya serahkan ke koramil,”kata Fakhruddin yang dihubungi minggu lalu via telepon.

Kelompok pemburu pertama diketuai oleh Anton Ahmad dari Si Junjung, Sumatera Barat. Beberapa orang Tangse ikut membantu menjadi petunjuk jalan di hutan. Kelompok pemburu kedua adalah orang dari Tangse. Para pemburu tidak ditahan aparat karena mereka mengaku hanya suruhan dan berdalih hanya mencari jernang dan gaharu.

“Mereka saya intai sejak November 2014 karena ke Tangse pura-pura cari jernang dan gaharu.”

Kata Fakhruddin, setelah penangkapan itu, pemburu lebih hati-hati dan mereka memilih menyimpan senjatanya di hutan jika turun ke kampung. “Mereka tidak lagi melalui kampung kami, tapi masuk dari Geumpang agar tidak ketahuan.”

Upaya penyelundupan paruh enggang gading yang berhasil diamankan oleh petugas Bandara Supadio, Pontianak pada tahun 2012. Foto: Aseanty Pahlevi

Ulu Masen

Di kawasan lainnya dari Ulu Masen, perburuan rangkong terjadi di Kabupaten Aceh Jaya. Muktar Purba seorang anggota ranger community atau tenaga pengaman hutan masyarakat di Aceh Jaya mengatakan perburuan rangkong sedang marak di daerah mereka. Mulai di Lamno, Pucuk Ligan, Ie Masen, Pucuk Krueng Sabee, Pucuk Teunom bahkan sampai ke Woyla di Aceh Barat. Para pemburu datang dari Riau dan Sumatera Barat.

Muktar bercerita, saat dia dan timnya sedang berpatroli di hutan dekat hulu sungai Lamno pada Februari 2015, mereka menemukan kawanan pemburu berjumlah 5 orang sedang memanjat sebuah pohon rambung raksasa setinggi 35 meter untuk menembak seekor burung rangkong yang bertengger di pucuk pohon lainnya.

Setelah diinterogasi, para pemburu mengaku berasal dari Pekanbaru dengan pemandu orang Pidie. Mereka masuk ke Aceh karena ada kenalan orang lokal yang  mengabari ke Pekanbaru untuk berburu rangkong. Mereka masuk ke hutan Lamno dari Geumpang dan membawa bekal yang banyak sehingga bisa tinggal lama di hutan.

“Mereka jelajah Ulu Masen, sampai Pucuk Teunom dan Woyla di Aceh Barat.  Dia belanja banyak, ada toke yang beri modal mereka belanja jutaan, beras rokok, snack selama dia di hutan,” cerita Muktar saat dihubungi via telepon.

Pemburu yang ketangkap tangan itu membawa dua pucuk senjata airsoft gun. Mereka mengaku sudah menembak beberapa burung dan sudah dikirim ke penampung di Medan. Muktar hanya bisa memberi nasehat agar tidak berburu binatang yang dilindungi itu.

Di Aceh Jaya perburuan rangkong mulai marak sejak September 2014. Mereka juga memburu landak, menangkap burung murai batu,  mengambil jernang, dan cendana. “Tapi target utama buruannya adalah rangkong,” kata Muktar.

Paruh enggang gading dan sisik trenggiling (dalam karung) yang ditemukan aparat Hong Kong yang diduga berasal dari Indonesia pada 6 Mei 2015 lalu. Foto: Hong Kong Customs and Marine Police

Modus mencari kayu

Dari Ekosistem Leuser, Forum Konservasi Leuser (FKL) melaporkan tim patroli mereka beberapa kali bertemu dengan orang dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara di hutan. Mereka ditemani orang lokal sebagai penunjuk jalan.

“Modusnya mereka mengaku mencari kayu gaharu. Tapi kami curiga, mereka adalah pemburu rangkong karena di hutan tim menemukan bangkai  burung rangkong yang sudah hilang kepalanya, selongsong senapan angin dan teropong rusak. Setelah diikuti, kami menemukan mereka membawa senapan,” kata Koordinator FKL, Dediansyah.

Perburuan rangkong di Leuser telah dimulai awal 2014 saat perburun landak sedang marak. Kawasan perburuan utama di Leuser ada di Subulussalam, Bener Meriah dan Kutacane.

“Setiap selesai berburu mereka akan turun ke kampung untuk mengantar hasil buruan kepada agen yang menjemput langsung dari Medan. Senjata ditinggal di hutan. Setelah belanja makanan mereka akan masuk hutan lagi. Bisa 15 hari di dalam hutan.”

Di 2014, FKL menemukan 15 bangkai rangkong sementara 2015 ditemukan 7 bangkai rangkong di hutan. Sampai sekarang perburuan masih terus berlangsung karena tidak ada pengawasan yang ketat terhadap orang-orang luar yang masuk.

Sejak marak perburuan rangkong di Aceh, saat ini mulai sulit ditemukan rangkong terbang di dekat kampung maupun sekitar hutan. “Dulu, saya sering dengar suaranya meraung memanggil betinanya. Kini jarang terdengar,”kata Fakhruddin Umar.

Sementara Muktar Purba mengatakan dia sudah lima bulan tidak pernah lagi melihat rangkong terbang di hutan. “Terasa semakin sedikit rangkong di hutan,” katanya.

Agus Nurza, pengamat burung di Aceh, yang saat ini sedang melakukan penelitian rangkong di Aceh mengatakan mereka masih meneliti sejauh mana penurunan populasi rangkong akibat perburuan selama dua tahun belakangan.

“Penurunan populasi bisa disebabkan oleh perburuan juga akibat habitat yang rusak,” katanya. Rangkong hidup di kanopi pohon-pohon besar yang tinggi. Di pohon-pohon besar itu rangkong membuat sarang pada batang pohon untuk berteduh, bertelur, dan merawat anak-anak mereka.

Di hutan Aceh hidup enam jenis rangkong.” Para pemburu profesional biasanya sudah tahu jenis rangkong apa saja yang menjadi target buruan mereka. Namun, pemburu lokal yang baru ikut-ikutan sering menyikat semua jenis rangkong yang mereka temui di hutan.”

Paruh rangkong yang berhasil di sita dari tas pemburu di Tangse, Pidie, Aceh. Foto: Fakhruddin
Paruh rangkong yang berhasil di sita dari tas pemburu di Tangse, Pidie, Aceh. Foto: Fakhruddin
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,