, ,

Pemerintah Hanya Urusi Dana Talangan Lapindo, Persoalan Lingkungan dan HAM Terabaikan

Pemerintah akan mencairkan dana talangan Rp781 miliar untuk korban lumpur Lapindo. Dana yang sedianya cair Jumat (26/6/15) tetapi tertunda ini untuk melunasi ganti rugi lahan terdampak semburan lumpur Lapindo. Jangka waktu pemberian dana selama empat tahun, dengan jaminan aset tanah korban yang sudah ganti rugi oleh Lapindo Rp3,03 triliun.

KontraS menilai, pemberian dana ini tak lebih sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset dan mengabaikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,  sebagaimana diatur UU 32-2009. Seharusnya pelanggaran HAM dan lingkungan diselesaikan terlebih dahulu, baru berbicara dana talangan. 

“Kami mendorong semua pihak bekejasama menyelesaikan permasalahan ini,  tidak dalam skema yang justru menimbulkan masalah baru,” kata Ananto Setiawan, Divisi Advokasi hak ekonomi sosial KontraS di Jakarta, Rabu (24/6/15).

Pemerintah, katanya, seharusnya menyelesaikan dampak lumpur Lapindo secara menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai aspek, baik HAM maupun pemulihan lingkungan hidup. “Terlebih hingga kini tak ada upaya penegakan hukum bagi Lapindo. Ini makin mempersulit posisi korban menuntut pertanggungjawaban.”

Dana talangan Lapindo juga dinilai aneh dan proses janggal. “Ganti rugi lahan dan bangunan seharusnya jadi tanggung jawab Lapindo,” kata Ananto.

Pemberian dana talangan, katanya,  berpotensi melanggar Pasal 33 ayat 4 UUD’45 yang menekankan konsep demokrasi ekonomi. “Rakyat diutamakan. Namun pemberian dana talangan menyebabkan penumpukan aset pada perorangan maupun perusahaan.”

Dalam dana talangan ini, katanya, akan terjadi penumpukan aset kepada PT Minarak Lapindo Jaya. Dia curiga, cara ini hanya menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial.

Pada 29 Mei 2007, BPK mengeluarkan laporan menunjukkan banyak kejanggalan dalam kejadian ini. Ada pelanggaran izin dan pengawasan eksplorasi sumur Banjarpanji-1 juga kala eksplorasi. Pengawasan BP Migas dan Kementerian ESDM juga tak ada.

Ananto menjelaskan, ada ketidakjelasan pemberian dana talangan. Jika merujuk UU 37-2004 dan UU 17-2003, MLJ seharusnya dinyatakan pailit dulu sebelum mendapatkan kucuran dana talangan pemerintah.

Pemberian dana talangan itu, katanya, hanya menyentuh satu kelompok korban, yakni yang menghendaki mekanisme cash and carry. Sedangkan, akibat ketidakmampuan Lapindo membayar ganti rugi, banyak kelompok lain tak tersentuh dana talangan.

Haris Azhar, Koordinator KontraS mengungkapkan hal senada. Pemberian dana talangan merupakan penyelesaian masalah dengan melanggar hukum.

Haris mengatakan, pemerintah berargumentasi dana talangan dengan jaminan kalau Lapindo tak bisa bayar, aset diambil pemerintah. Padahal,  aset Lapindo itu tanah HGU. Notabene memang hak negara.

“Diberikan negara dan akan kembali ke negara? Ini sudah kasih tanah, dikasih uang juga. Lapindo jelas tak akan mau bayar. Ini cukup mengkhawatirkan, dana talangan ini hanya melihat pada kapitalisasi harga tanah. Tidak melihat efek buruk kehancuran desa akibat lumpur.”

Dia mendesak, polri menginstruksikan jajaran menyelidiki kembali atas kasus ini sesuai temuan Komnas HAM dan BPK. Kasus ini sebelumnya dipetieskan Polda Jatim.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,