, ,

Penegakan Hukum: Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Itu Terus Terjadi

Perdagangan satwa liar dilindungi masih marak terjadi. Hukuman yang ringan disertai denda yang sedikit membuat para pelaku belum merasakan efek jera sebagi bentuk pertaubatan. Alasan ekonomi dan faktor usia pelaku yang telah lanjut merupakan dalil yang membuat “hati” hakim terenyuh tanpa melihat dampak kerusakan ekologis yang ditimbulkan. Meski  para pelaku, umumnya bukanlah pemain baru. Akibatnya, vonis hakim yang jauh dari harapan itu terlihat dari beberapa kasus yang ditandai dengan hukuman ringan untuk pelaku. Apakah argumen ini bisa diamini? Atau memang ada yang salah dengan proses penegakan hukum kita?   

UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta, dianggap sudah tidak efektif. Aturan hukum yang telah berusia 25 tahun itu, belum memberikan vonis minimal sehingga pelaku acapkali hanya dihukum dalam hitungan bulan.

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit/Wildlife Conservation Society (WCU/WCS) menyatakan, lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan satwa ilegal terlihat dari vonis ringan pada Ahmad Fahrial. Pelaku yang merupakan pedagang gading gajah ilegal dengan barang bukti satu gading dan satu caling gajah, serta 650 kilogram tulang gajah, hanya divonis 10 bulan penjara, denda Rp 1,5 juta, dan subsider 8 bulan kurungan oleh Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat, Kamis (4/6/2015).

Padahal, hakim ketua yang memimpin persidangan, Rahma Novatiana, merupakan hakim bersertifikasi lingkungan. Diharapkan, hakim akan memberikan hukuman lebih berat ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum yaitu 12 bulan. “Mungkin, hakim tidak melihat latar belakang pelaku yang telah bertahun melakukan jual beli satwa dilindungi, tapi pada pertimbangan kemanusiaan, yaitu umur pelaku yang sudah lanjut,” jelasnya.

Mengapa putusan hakim tidak maksimal? Menurut Irma ada beberapa hal yang harus dikritisi. Pertama, bisa jadi hakim hanya melihat barang bukti yang didapat saat penangkapan, misal satu atau dua satwa saja, sehingga melunturkan latar belakang pelaku yang telah tahunan melakukan kegiatan haram tersebut.

Kedua, saat di peradilan, hakim menerima pengakuan pelaku yang beralasan melakukan perbuatan tersebut karena faktor ekonomi tanpa melihat sisi ekologis dari hilangnya satwa tersebut. Bila pelaku berusia lanjut, misal di atas 60 tahun, maka makin lengkap alasan itu untuk tidak ditolak.

Ketiga, bisa jadi isu perdagangan satwa belum menjadi prioritas hakim. Untuk itu, UU Nomor 5 Tahun 1990 harus direvisi. Sanksi hukum harus dibuat minimal dan maksimal agar benar-benar ada efek jera. Misal, minimal setahun dan maksimal 10 tahun dan denda Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Sehingga, hakim ada patokan.

“Saat ini denda hanya satu atau dua juta rupiah, sedangkan keuntungan yang didapat lebih besar dari risiko yang diterima. Artinya, para pelaku telah mengetahui bahwa tindakan mereka melanggar hukum. Hanya, karena vonisnya yang rendah mereka berani melanggar dan terus berburu harimau, gajah, orangutan, juga elang.”

Terkait hakim bersertifikasi lingkungan, Irma mendukung kegiatan yang saat ini sudah ada programnya di Mahkamah Agung. Yang terpenting, menurutnya adalah bagaimana hakim bersertifikasi ini berani melakukan terobosan hukum dengan memberikan vonis lebih berat ketimbang tuntutan jaksa.

Awetan harimau, bukti kepemilikan satwa liar ini justru dimiliki oleh oknum TNI AD di Aceh Tengah. Foto: Yusriadi

Osmantri, Wildlife Crime WWF – Indonesia Central Sumatera, menuturkan tingginya perdagangan satwa ilegal dikarenakan tingginya juga permintaan pasar. Menurut Abeng, biasa disapa, sepanjang pemantauannya di Sumatera sejak 2000, satwa liar yang selalu diburu adalah harimau, gajah, orangutan, badak, dan trenggiling.

Menurut Abeng, di Sumatera, para pemburu harimau yang terkenal berasal dari Sumatera Barat. Tetapi, saat ini telah merata mulai dari Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Riau, dan Sumatera Utara. “Selama satwa masih ada, perburuan akan terus dilakukan. Akibat perburuan tersebut, negara mengalami kerugian Rp 9 triliun per tahun sebagaimana yang disebutkan Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, 2013 lalu.”

Abeng menjelaskan, upaya hukum untuk memberantas perdagangan satwa liar ini harus dilakukan melalui preventif dan represif. Artinya, faktor pencegahan dengan melindungi satwa di kawasan prioritas harus benar-benar dilakukan. Sedangkan penegakan hukumnya harus tegas sebagaimana memberantas peredaran narkoba dan senjata api. “Perdagangan ini dilakukan secara sistematis, terorganisir, dan skala nasional. Peringkatnya juga setelah narkoba. Karena ini kejahatan besar maka harus ada upaya besar pula untuk menanganinya.”

Hal yang pasti menurutnya, para pelaku sudah mengetahui ancaman hukum dari perbuatan yang dilakukannya itu. Ini selalu kami tanyakan pada para pemburu yang berhasil kami temui saat menebar jerat, terutama di Bukit Rimbang Baling, Riau. Karena itu, penegakan hukum memang harus dilakukan. “Motif para pemburu adalah uang. Semiskin para pemburu, mereka bisa bekerja. Bahkan, sebelum masuk hutan mereka harus punya modal untuk beli alat, bahan makanan, dan biaya transportasi.”

Yang dikejar, harusnya bukan hanya pemburu karena mereka itu orang suruhan. “Harusnya cukong, penadah, pemodal, dan eksportir yang dapat keuntungan besar tapi bermain aman di balik layar dengan risiko kecil. Ini yang harus digarap,” papar Abeng.

Tengkorak badak, barang bukti yang tertangkap di Bukit Barisan Selatan dan Way Kambas, Sumatera. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI & TFCA-Sumatra.

Pemberantasan

Sejauh mana pemberantasan perdagangan satwa liar dilakukan? AKBP Sugeng Irianto, Sub Direktorat 1 Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Bareskrim Mabes Polri, menuturkan periode 2014-2015, Bareskris Mabes Polri telah membongkar 15 kasus perdagangan dan kepemilikan satwa liar dilindungi. Khusus 2015 ini, sudah 4 kasus yang dibongkar.

“Jenis satwa yang diburu pun beragam. Ada spesialis burung, primata, atau khusus untuk suvenir. Satwa yang dicari biasanya endemik, eksotis, dan simpel. Namun begitu, semua bergantung pada permintaan pasar,” jelasnya, Rabu (24/6/15).

Menurut Sugeng, pada 2015, perdagangan satwa yang marak terjadi di Sumatera Utara. Ini dikarenakan, para pelaku memiliki akses yang tidak termonitor sehingga pengiriman ke luar negeri bisa lebih cepat dilakukan. Prinsipnya, wilayah ini sebagai penampungan, sedangkan sumbernya bisa dari Aceh, Bengkulu, atau Sumatera Selatan.

Sugeng menjelaskan, meski telah dilakukan operasi penangkapan, para pelaku tetap menjalankan kegiatan terlarang itu. “Faktor keserakahan yang membuat perburuan marak dilakukan. Karena, semakin langka nilai satwa semakin banyak pula rupiah yang didapat.”

Untuk itu, upaya pencegahan maksimal harus dilakukan mengingat jaringan perdagangan ini terkoordinir rapi. “Harus ekstra keras membongkar jaringannya karena mereka akan coba menembus segala lini. Sejauh ini baru pelaku lapangan saja yang tertangkap.”

Terkait putusan pengadilan yang hanya memvonis rendah pelaku perdagangan, Sugeng mengatakan, pastinya putusan tersebut belum bisa memuaskan semua pihak terlebih memberikan efek jera pelau. Namun begitu, upaya penegakan hukum telah dilakukan.

“Sistem aturan pidana di Indonesia ini terpisah. Dari penyidikan, dilimpahkan ke penuntutan, lalu peradilan. Nah, dari penyidikan ke peradilan ini sudah tidak connect lagi.  Namun, dalam penyusunan berkas penyidikan, kami tetap mengupayakan unsur yang dapat memberatkan pelaku. Dengan begitu, vonis maksimal dapat dijatuhkan.”

Trenggiling yang sudah dikuliti ini rencananya akan diselundupkan ke Tiongkok melalui jalur laut Sumatera Utara pada penghujung April 2015 lalu. Foto: Ayat S Karokaro

Terkait perdagangan satwa dilindungi, Bambang Dahono Aji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menuturkan kerugian negara akibat perdagangan satwa merupakan kerugian konservasi yang nilainya tidak terhingga. “Bicara konservasi, hitungan ekonominya sangat tinggi. Konservasi ini harus dibangun melalui kepedulian bersama, tidak bisa ditangani sendiri oleh KLHK, semua harus dilibatkan.”

Menurut Bambang, perdagangan satwa terjadi karena permintaan pasar yang tinggi sebagaimana teori marketing. Satwa berkurang permintaan bertambah. “Pelaku jual beli ini pasti orang kaya yang tidak sadar konservasi. Siapa sih yang mampu beli dengan harga mahal?” ujarnya.

Untuk itu, pengendalian perdagangan satwa ilegal harus dipantau pada titik tertentu agar tidak lolos. Kita harus pasang strategi kontrol bersama. Penegak hukum dari KLHK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Bea Cukai harus kompak. Semua harus komitmen. Peran intelijen harus tinggi. “Hukum juga tidak boleh pandang bulu, meski ada oknum sekalipun sebagai pelaku,” tegas Bambang.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,