,

Aceh Siapkan Aturan Soal Perubahan Iklim. Seperti Apa Fokusnya?

Pemerintah Aceh telah menyiapkan tiga peraturan gubernur terkait masalah perubahan iklim. Namun, aktivis lingkungan di tanah rencong itu menilai regulasi tersebut belum menyentuh masyarakat seutuhnya.

Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh, Anwar Muhammad mengatakan, tiga aturan baru mengenai perubahan iklim yang sedang dibuat itu mengenai pemantauan dan pengawasan lingkungan, pola kemitraan, serta peraturan tentang kriteria dan tata cara pemberian insentif.

Pemantauan dan pengawasan lingkungan, menjadi fokus utama di Aceh mengingat kondisi lingkungan hidup di Aceh yang makin mengkhawatirkan. Pertambangan yang masih belum ramah lingkungan turut berperan dalam merusak lingkungan. Terlebih, masyarakat Aceh masih mengandalkan ekstraksi sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Pola kemitraan, kata Anwar, menjadi bagian penting dalam pengelolaan lingkungan. Banyak pihak yang berkontribusi dalam melakukan perusakan maupun perbaikan lingkungan. “Kita juga berupaya agar para penyelamat lingkungan mendapat insentif dari pekerjaan yang mereka lakukan. Untuk itu kita harus siapkan tata caranya,” paparnya.

Ketiga rancangan aturan ini menyusul Peraturan Gubernur No 85 Tahun 2012 Tentang Recana Aksi Daerah untuk Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Dalam RAD GRK Aceh, sumber emisi GRK Aceh paling besar disumbangkan dari wilayah areal penggunaan lain (62%), hutan lindung (11%), disusul hutan produksi (10%), dan gambut non-kawasan hutan (9%). Sisanya, berada di kawasan hutan dan lahan lainnya.

Pada 2014, Pemerintah Aceh juga telah mensahkan Peraturan Gubernur Nomor 3 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforstasi dan Degradasi Hutan Aceh. Pergub itu, lanjutnya, memuat strategi pengurangan emisi GRK yang dilakukan melalui lima pilar utama. Pilar tersebut dilakukan melalui penguatan kelembagaan, penguatan kerangka hukum dan peraturan, pengembangan program strategis, perubahan paradigma dan budaya kerja, serta strategi pelibatan publik yang lebih luas.

“Peraturan payung untuk ini sudah disahkan Pemerintah Aceh pada 2011 melalui Qanun Nomor 2 Tentang Lingkungan Hidup. Sesungguhya, ada 10 peraturan gubernur yang sedang dirancang Bapedal.  Tapi tiga ini mendesak untuk segera direalisasikan,” ujar Anwar, di disela pembahasan ketiga rancangan Pergub itu di Banda Aceh, belum lama ini.

Peraturan ini, lanjutnya, akan memasukkan nuansa lokal Aceh sesuai otonomi khusus yang berlaku. Perubahan iklim, jelas Anwar, merupakan tanggung jawab semua pihak.  Pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu perhatian Pemerintah Aceh. “Pemerintah Aceh akan terus terlibat dengan 10 provinsi lain dalam mengantisipasi perubahan iklim,” tandasnya.

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 nanti. Foto: Rhett Butler

Pahami isi

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur mengatakan, sebaiknya Pemerintah Aceh memahami konteks dan teks mengenai perubahan iklim dengan baik.

Menurutnya, perubahan iklim bukanlah pemicu atau tersangka utama kerusakan lingkungan hidup, akan tetapi perilaku manusia yang menjadi penyebabnya. Seperti, aktivitas manusia atau penjabat daerah dan nasional yang memberikan ruang ekploitasi sumber daya alam tidak terbarukan kepada berbagai pihak.

Muhammad Nur juga menyebutkan, yang disampaikan oleh Kepala Bapedal Aceh, Anwar Muhammad merupakan bagian dari perintah Qanun Nomor 2 tahun 2011 Tentang Lingkungan Hidup. “Secara eksplisit ada kolerasi antara perintah Qanun dengan perubahan iklim sebagai upaya perbaikan tata kelola sumber daya alam.”

Peraturan gubernur tersebut juga melibatkan Walhi Aceh, WWF Aceh, GeRAK, Koalisi NGO HAM dan berbagai lembaga lainya dalam memberikan perbaikan. Pada draf awal, banyak memberikan harapan yang tidak terukur, sehingga sulit diaplikasikan di lapangan.

Efendi Isma, Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh, berpendapat uraian dari Bapedal Aceh itu belum menyentuh kehidupan masyarakat bawah. Strategi aksi yang tidak menyentuh akar kehidupan masyarakat diyakini akan menghasilkan konflik baru yang semakin menekan perekonomian lokal. Ujungnya, eksploitasi sumber daya alam bertambah tinggi.

“Pemerintah Aceh harus melakukan analisis perekonomian masyarakat bawah yang disertai penyadaran komprefensif agar perilaku sosial masyarakat ada perubahan. Tentu, hal ini tidak mudah dan murah karena masih ada pengusaha yang ekonominya bergantung pada sumber daya hutan,” ungkapnya.

Faktor bencana juga harus menjadi acuan dalam menyusun tata ruang yang mengakomodir kebutuhan aksi dan rencana strategis perubahan iklim. Pemerintah dalam hal ini tidak dapat bergerak sendiri, pelibatan masyarakat dalam cakupan luas sangat dibutuhkan. “Kelompok masyarakat sipil menantikan aksi penurunan laju deforestasi dan degradasi lahan di Aceh. Kami juga meminta Bapedal Aceh melakukan pengawasan pada kegiatan yang merusak lingkungan,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,