, ,

Ketika Mantan Perambah Kembangkan Wisata Hutan di Bukit Cogong

Awalnya, tahun 1962, tercatat 90 kepala keluarga transmigran di Tugumulyo, Musi Rawas, Sumatera Selatan, yang tidak memiliki lahan untuk bertani dan berkebun. Mereka mengusulkan kepada pesirah Tugumulyo untuk mengelola lahan adat Padu Raksa di Bukit Cogong. Pada 1963, permohonan tersebut dipenuhi. Mereka pun mengeola lahan seluas 105 hektar. Setahun kemudian menyusul keluarga transmigran lainnya yang diberikan lahan seluas 50 hektar.

Pada saat itu, keluarga transmigran ini membentuk desa di wilayah penyangga Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Namanya Desa Sukakarya. Perkembangan selanjutnya, generasi baru transmigran yang tidak memiliki lahan turut membuka lahan di Bukit Cogong.

Bahkan, tahun 1970-an, saat tingginya permintaan kayu dari Indonesia, sejumlah warga transmigran tersebut melakukan perambahan hutan di Bukit Cogong.

Perambahan dengan tujuan berkebun atau perambahan ini akhirnya menyebabkan Bukit Cogong gundul.

“Tahun 2002 pemerintah melakukan penghijauan. Saya yang dulunya merupakan perambah hutan, akhirnya sadar. Saya bayar utang. Saya menjadi ketua tim kelompok penghijauan Bukit Cogong dengan nama Wana Bhakti yang artinya hutan bakti. Sekitar 50 ribu pohon dengan jenis meranti, tembesu, dan jati kami tanam,” kata Kasto (77), warga Desa Sukakarya, yang kini menjadi anggota Hutan Kemasyarakatan (HKm) Bukit Cogong, Sabtu (27/06/2015).

“Sekitar 50 persen dari pohon yang ditanam tumbuh dan membesar hingga saat ini,” kata bapak tiga anak ini.

Ternyata penghijauan tersebut tidak seimbang dengan aksi perambahan hutan di Bukit Cogong yang ditetapkan sebagai hutan lindung oleh pemerintah. “Sebelumnya, saya pelaku perambah, saya kemudian menjadi orang terdepan mencegah perambahan,” kata Kasto.

Pada 25 Desember 2009, pemerintah Kabupaten Musi Rawas membuka Hutan Wisata Bukit Cogong. Tepatnya di perkebunan karet yang ditanam masyarakat. Hutan wisata ini tujuannya agar masyarakat mendapatkan pemasukan, termasuk pula pemerintah desa, sehingga mereka berhenti merambah Hutan Lindung Bukit Cogong.

Selain dihadirkan sejumlah permainan alam, juga dibangun sejumlah fasilitas pengunjung untuk beristirahat.

“Selama empat tahun, dari tahun 2009 hingga 2013, pengunjung ke Hutan Wisata Bukit Cogong cukup ramai. Sekitar 2.500 pengunjung per bulan,” kata Nibuansyah, Koordinator Hkm Bukit Cogong.

“Namun, selama dua tahun terakhir, pengunjung mulai berkurang. Rata-rata per bulan kini sekitar 800-an orang,” lanjutnya.

Hutan Wisata Bukit Cogong yang dipenuhi pohon karet kini sepi pengunjungnya. Foto: Taufik Wijaya
Hutan Wisata Bukit Cogong yang dipenuhi pohon karet kini sepi pengunjungnya. Foto: Taufik Wijaya

Wisata Hutan

Menurunnya pengunjung Hutan Wisata Bukit Cogong, membuat masyarakat Desa Sukakarya mencari gagasan untuk kembali meramaikan hutan wisata tersebut.

“Kami pun mengusulkan mengelola Hkm di Bukit Cogong seluas 380 hektar, yang sebelumnya bekas dirambah masyarakat dan sudah dilakukan penghijauan,” kata Nibuansyah. Hkm Bukit Cogong ditetapkan berdasarkan keputusan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dengan Nomor  389/Kpts/Kehut/2015. Organisasi pegiat lingkungan hidup Akar menjadi pendampingnya.

“Lokasi tersebut akan dijadikan objek wisata. Pengunjung dapat masuk ke hutan tersebut hingga ketinggian 500 meter dari permukaan laut,” katanya.

Adapun daya tarik Hkm Bukit Cogong tersebut, selain keberagaman tanaman hutan yang mulai langka di Musi Rawas seperti pohon meranti, merawan bungo, bayur, bambu, durian, dan tanaman hutan lainnya, juga masih terdapat beragam jenis burung seperti perling, merbah hijau, elang, punai, dan rangkong, “Dan jika nasib baik bisa ketemu dengan merak yang orang sini menyebutnya kuwau,” kata Nibuansyah.

Bahkan, sambungnya, sering juga ditemukan kijang beserta beragam jenis kera, dan siamang.

Bagaimana harimau sumatera? “Kami masih yakin harimau masih sering melintas ke Bukit Cogong. Jejaknya seperti telapak kaki atau kotoran sering ditemukan masyarakat. Alhamdulillah, dia tidak pernah mengganggu kami, sebab kami tidak pernah berburu kijang sebagai sumber makanannya,” jawab Budiman (50), anggota Hkm Bukit Cogong, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, karena tidak memiliki lahan.

“Saya senang sekali adanya Hkm Bukit Cogong ini. Pengunjung akan mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai hutan khas di wilayah ini. Saya jelas dengan senang hati mendampingi masyarakat,” kata Budiman.

Pohon durian di Hutan Lindung Bukit Cogong yang tingginya mencapai 40 meter. Foto: Taufik Wijaya
Pohon durian di Hutan Lindung Bukit Cogong yang tingginya mencapai 40 meter. Foto: Taufik Wijaya

Sungai dan gua

Objek wisata lainnya di Hkm Bukit Cogong yakni Sungai Deras, yang saat ini menjadi sumber air bersih bagi masyarakat Desa Sukakarya. Sungai Deras salah satu hulu Sungai Lakitan yang bermuara ke Sungai Musi, memiliki daya tarik berupa batuan andesit yang memenuhi badan sungai.

Di hulunya berupa air terjun setinggi dua meter. Sayang, saya mengunjunginya saat kemarau. “Kalau musim penghujan air terjun ini selebar empat meter,” kata Nibuansyah.

Selain itu, di atas Bukit Cogong atau dengan perjalanan sekitar satu jam dari Hutan Wisata Bukit Cogong terdapat sebuah gua. Namanya Gua Seriti. Lantaran bulan puasa, karena keterbatasan tenaga, Nibuansyah belum dapat mengajak saya ke gua tersebut.

“Saat ini jalurnya masih sulit. Jadi dibutuhkan tenaga yang lebih. Nanti kalau sudah ditata jalannya, perjalanan ke sana akan lebih mudah dilalui,” ujarnya.

Bukit Cogong di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya
Bukit Cogong di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya

Perambah berkurang, muncul penambang batu

Nibuansyah mengakui jika masih ada warga yang merambah Hutan Lindung Bukit Cogong. “Tapi sejak adanya hutan wisata ini jumlahnya berkurang. Kalau dikatakan tidak ada, tidak mungkin. Tapi mereka yang merambah ini benar-benar untuk makan, karena hidup mereka miskin. Jika Hkm Bukit Cogong ini berjalan, dan kembali ramai pengunjung di sini, mungkin mereka dapat membuka usaha seperti kuliner sehingga tidak lagi merambah,” ujarnya.

Yang menjadi persoalan, kata Nibuansyah, saat ini ada sejumlah warga yang melakukan penambangan batu untuk membuat lumpang.

“Mereka melakukannya diam-diam. Kalau kita melihat mereka mengambil batu di Bukit Cogong jelas kita cegah,” katanya.

“Makanya Hkm Bukit Cogong ini merupakan upaya kami untuk melestarikan hutan dengan meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga mereka turut menjaga hutan,” katanya.

Nibuansyah pun yakin anggota Hkm Bukit Cogong yang saat ini  99 kepala keluarga dari 700-an kepala keluarga di Desa Sukakarya, ke depannya akan bertambah. “Mereka pasti akan bergabung jika manfaatnya bagus,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,