Masuknya investor perkebunan dan pertambangan batubara di Kalimantan Timur cenderung berdampak negatif pada kehidupan masyarakat. Ini terlihat dari beberapa kasus yang berujung konflik.
Gambaran ini disampaikan oleh Koalisi Masyarakat untuk Kedaulatan SDA. Koalisi yang terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang, Aliansi Masyarakat Adat Kaltim, Nurani Perempuan, Gusdurian Kaltim, Wahana Lingkungan Hidup Kaltim, KOPRI PMMI Kaltim, dan Pokja 30 ini meminta agar dugaan kriminalisasi warga dalam konflik antara masyarakat dengan investor segera dihentikan.
Merah Johansyah Ismail, Dinamisator Jatam Kaltim di Samarinda, (29/5/2015), mengatakan masuknya investasi dalam bentuk pertambangan dan perkebunan sawit membawa dampak negatif, salah satunya adalah perampasan lahan milik masyarakat.
“Dalam banyak kasus sengketa lahan, perusahaan kerap mengarahkan konflik secara horizontal, perusahaan mengadu sesama masyarakat. Jika cara itu tidak ampuh maka perusahaan akan melakukan kriminalisasi terhadap warga,” ujar Merah.
Dalam pantauan Koalisi, sampai pertengahan 2015, telah terhimpun empat kasus dugaan kriminalisasi terhadap warga atau kelompok warga di Kalimantan Timur yang berupaya mempertahankan sumber daya alam (SDA) yang mereka miliki.
Atas temuan itu, Koalisi meminta agar aparat hukum dan pemerintah menangani secara terbuka terkait kasus yang dilaporkan perusahaan. “Kami minta dugaan kasus kriminalisasi ini diselesaikan secara hukum dengan jelas dan transparan,” kata Merah.
4 kasus yang dipaparkan oleh Koalisi Masyarakat untuk Kedaulatan SDA:
Pertama, kasus kriminalisasi masyarakat adat Paser. Kasus ini dimulai dari laporan PT. Kideco Jaya Agung (KJA) ke Polda Kaltim atas salah satu warga ahli waris pemilik lahan yang melakukan ritual adat Belian Paser bersama warga Desa Songka yang mayoritas merupakan masyarakat adat Paser. Atas laporan perusahaan, kepolisian menetapkan Nurbayati sebagai tersangka dengan jeratan pasal 162 UU Minerba karena dianggap menghalang aktivitas penambangan yang dilakukan PT. KJA. Kedua, penangkapan dan penetapan tersangka T/ Tekwan Ajat, warga Kampung Long Isun oleh Polres Kutai Barat atas laporan PT. Kemakmuran Berkah Timber (KBT). Kasus bermula dari informasi yang diterima warga bahwa PT. KBT memotong dan mengambil kayu di wilayah Long Isun. Warga yang mendengar berita itu mendatangi lokasi untuk mempertahankan hutan di wilayah kampung mereka. Namun, PT. KBT menuding dan melaporkan Tekwan telah melakukan perampasan terhadap aset perusahaan berupa chainsaw dan kunci traktor. Tekwan dikenakan pasal 335 dan 368 KUHP. Tekwan ditahan 30 Agustus 2014 dan dilepas 15 Desember 2014 dengan status wajib lapor hingga sekarang. Ketiga, perampasan lahan 134 hektar milik 2 kelompok tani, yaitu kelompok tani Rimba Raya dan PPM di Teluk Dalam, Muara Jawa, Kutai Kartanegara (Kukar), yang sudah berlangsung sejak 2005. Hingga kini warga belum mendapat keadilan, perusahaan tambang dan mafia lahan yang terlibat dalam kasus ini telah dilaporkan warga Agustus 2013 dengan dugaan mafia lahan dan perusahaan tambang Binamitra Sumberarta terlibat dan menggunakan surat-surat tanah palsu dalam kegiatannya. Terhadap laporan warga tersebut, warga malah dikriminalisasi oleh kepolisian dan dicurigai salah satu oknum kepolisian terlibat. Hingga saat ini warga tak pernah diberi kabar perkembangan sejak kasus ini dilaporkan ke Polres Kukar. Keempat, penetapan tersangka atas nama Mupit Datu Sahlan, warga Labanan, Berau. Padahal selaku ahli waris, Mupit telah dirugikan dengan tindakan perusahaan batu bara PT. Kaltim Jaya Bara (KJB) yang melakukan penyerobotan lahan miliknya seluas 10 ribu meter persegi. Tanahnya yang sudah digarap puluhan tahun rusak akibat jalan haulling PT. KJB. Masing-masing pihak mempunyai kemauan yang berbeda, dengan kondisi dimana perusahaan bersikeras beroperasi diatas lahan tersebut sedangkan pemilik lahan merasa, akan lebih baik jika lahan miliknya digunakan untuk pertanian. Mupit ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Teluk Bayur dengan pasal 162 UU Minerba. |
Investigasi yang dilakukan Jatam Kaltim menemukan bahwa PT.KJB adalah perusahaan bermasalah karena diduga tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan. Area konsesinya seluas 2391,28 hektar tumpang tindih dengan kawasan hutan produksi sesuai SK Menhut No 79/Kpts-II/2001 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Akibatnya, negara berpotensi merugi 34 miliar pertahun sejak eksplorasi 2006 dan eksploitasi pada 2010 melalui SK IUP Eksploitasi 540/03/DPE.PU/II/2010.
Merah Johansyah menegaskan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan SDA meminta aparat penegak hukum terutama Polda Kalimantan Timur untuk bertindak adil, tidak berpihak ada investor. “Kami minta kasus-kasus ini diselesaikan secara tuntas dengan proses hukum yang transparan dan bebas intervensi berbagai pihak.”
Terkait masyarakat adat, Ketua Badan Pengurus Harian Aman Kaltim, Margaretha Setting menyebutkan bahwa masyarakat adat berhak untuk mengontrol, menjaga, dan mengembangkan warisan budaya, pengetahuan tradisional, ekpresi budaya dan manifestasi lainnya dari pengetahuan dan teknologi mereka serta hak kekayaan intelektual atas aset-aset mereka.
“Investor, perusahaan, dan penegak hukum harus menghormati hak ini, karena dijamin oleh peraturan yang berlaku secara internasional,” kata Setting usai mengutip pasal 31 mengenai hak masyarakat adat yang diisyaratkan dalam UNRIP.
“Perusahaan dan penegak hukum bukan hanya mengabaikan hak masyarakat adat melainkan juga menghina sebagaimana yang dilakukan oleh PT. Kideco Jaya Agung terhadap prosesi Belian Adat Paser di Desa Songka,” ujar Setting.