Miniatur Taman Srisetra dan Semangat Laksamana Cheng Ho di Sumatera Selatan

Guna membangkitkan spirit mencintai Bumi, sejumlah pegiat budaya di Palembang dan nasional, menyepakati perlunya dibangun miniatur Taman Srisetra, sebuah taman yang dibangun raja Kerajaan Sriwijaya abad ke-7, seperti tercatat dalam Prasasti Talang Tuo.

Ada lima miniatur Taman Srisetra yang diusulkan dibangun di Sumatera Selatan. Di sebelah selatan berada di wilayah Goa Harimau, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU); sebelah barat Desa Bintuhan, Kabupaten Lahat: sebelah utara Gandus, Palembang, dan sebelah timur Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Sebagai titik tengahnya, Bukit Siguntang.

“Taman ini mewakili wilayah di Sumsel, baik pegunungan hingga lahan basah, yang dulunya wilayah kebudayaan Sriwijaya,” kata Husni Thamrin, budayawan muda Palembang, juga Ketua Yayasan Alam Melayu Sriwijaya (Malaya) dalam Workshop Fasilitasi Wisata Sejarah dan Religi yang digelar Asdep Pengembangan Destinasi Wisata Budaya di Benteng Kuto Besak Cafe Palembang, Kamis (02/07/2015) malam.

Dari lima titik tersebut, tiga di antaranya tinggal tahap pembangunan taman dan fasilitas lainnya, sebab milik masyarakat. “Dua wilayah yang membutuhkan dukungan pemerintah yakni Goa Harimau dan Bukit Siguntang,” kata Husni.

Bahkan, kata Husni, tiga wilayah tersebut sebagian besar sudah ditaman tanaman ciri khas hutan tropis di Sumatera Selatan, yang sebagian disebutkan dalam Prasasti Talang Tuo, seperti sagu, kelapa, pinang, bambu, dan aren.

Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang, menyatakan sangat mendukung keberadaan miniatur Taman Srisetra tersebut. “Sebab selain sebagai tempat studi sejarah dan lingkungan, juga sebagai simbol keharmonisan hubungan manusia dengan alam dan Tuhan dalam menyikapi bumi,” katanya.

“Harimau sumatera yang saat ini kondisinya kritis, pada lima wilayah tersebut di masa lalu merupakan koridornya,” kata Nurhadi.

Di Desa Bintuhan, Kabupaten Lahat, jelas menunjukkan satu wilayah prasejarah atau praSriwijaya yang berada di wilayah Bukit Barisan. Kebudayaan megalitik yang tumbuh di wilayah pegunungan kemungkinan besar memiliki hubungan yang erat dengan Sriwijaya, meskipun bukti arkeolog belum membuktikan garis sejarahnya yang jelas.

“Semua titik tersebut bertemu di Bukit Siguntang yang diyakini sebagai wilayah suci pada masa Kerajaan Sriwijaya,” katanya.

Bambang Cahyo Murdoko, Kepala Bidang Pengembangan Wisata Sejarah dan Religi, sama seperti dikatakan Nurhadi Rangkuti, menuturkan lima titik taman Srisetra tersebut dapat menjadi titik destinasi sejarah di Sumatera Selatan. Mulai dari masa prasejarah hingga Sriwijaya. “Ini juga menunjukkan adanya hubungan yang baik antara manusia dengan alam, kebudayaan yang luhur.”

Taman olah rasa

Budayawan Taufik Rahzen, menilai semangat dari Prasasti Talang Tuo merupakan perwujudan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.

“Hubungan ini yang membuat bumi terjaga dan seimbang,” katanya.

Dapat dikatakan, keberadaan lima taman miniatur Srisetra tersebut akan menjadi pusat studi kebudayaan dan alam. “Generasi mendatang akan benar-benar menjaga Indonesia, berlandaskan kebudayaan luhur yang dititipkan para pendahulu kita dalam mengelola bumi, khususnya nusantara. Sehingga, alam terjaga, manusianya sejahtera, sehat dan berketuhanan.

Jemi Delvian dari Hutan Tropis mengatakan, adanya keinginan membangun lima miniatur Taman Srisetra merupakan jawaban atas apa yang digelisahkan komunitas musik peduli lingkungan hidup .

“Selama ini kami bekerjasama dengan Mongabay Indonesia dan Dinas Kehutanan Sumsel melakukan workshop lingkungan hidup yang melahirkan para Duta Bumi. Selama ini akhir kerja Duta Bumi hanya terfokus pada lingkungan sekitarnya.

Adanya taman ini, bukan tidak mungkin mereka mendapatkan ruang untuk melakukan studi lingkungan, yang berbasiskan sejarah dan religi. “Sehingga, kesadaran unruk menjaga bumi benar-benar mengkristal dalam pikiran dan jiwa mereka,” kata Jemi.

Perangko peringatan 600 tahun perjalanan Laksamana Cheng Ho. Dumber: Wikimedia commons

Jejak Cheng Ho yang tidak merusak alam

Diskusi juga membahas jejak Laksamana Cheng Ho atau Zheng He di Sumatera Selatan, khususnya Palembang. Cheng Ho merupakan panglima muslim dari Tiongkok pada masa Kaisar Yongle (1403-1424). Dia diutus menjadi pemimpin muhibah dengan ratusan kapal ke sejumlah negeri besar di Asia, Amerika, dan Afrika.

Cheng Ho melakukan pelayaran sebanyak tujuh kali. Pelayaran ke Palembang sebanyak dua kali. Yakni pada pelayaran pertama pada 1405-1407. Saat itu selain ke Palembang, Cheng Ho juga ke Champa, Jawa, Malaka, Aru, Sumatera, Lambri, Ceylon, Kollam, Cochin dan Calicut.

Pelayaran kedua ke Palembang pada 1413-1415. Selain ke Palembang, Cheng Ho ke Champa, Jawa, Malaka, Malaka, Sumatra, Lambri, Ceylon, Aru, Cochin, Calicut, Kayal, Pahang, Kelantan, Hormuz, Maladewa, Mogadishu, Brawa, Aden, Malindi, Muscat, dan Dhufar.

“Kita berkeyakinan kedatangan Cheng Ho ke Nusantara, khususnya ke Palembang sebanyak dua kali, merupakan peristiwa kebudayaan. Cheng Ho bukan hanya membawa apa yang tengah berkembang di Tiongkok, baik itu ekonomi, teknologi, agama, dan lainnya, juga membawa apa yang menarik dari wilayah yang dikunjunginya ke Tiongkok,” kata Taufik Rahzen.

Menurut Nurhadi, ada banyak kemungkinan kehadiran Cheng Ho ke Palembang memberikan pengaruh pada ilmu pengetahuan, arsitektur, kuliner, maupun terkait dengan eksplorasi sumber daya alam di Sumatera Selatan.

“Tampaknya, kehadiran Cheng Ho tidak memberikan dampak kerusakan pada lingkungan. Sebab, tidak catatan yang menjelaskan upaya eksplorasi pada jenis tanaman atau mineral tertentu setelah kedatangan Cheng Ho,” katanya.

Justru kehadiran Cheng Ho memberikan pengaruh positif bagi masyarakat yang dikunjunginya, maupun mendapatkan apa yang positif dari wilayah dikunjunginya ke Tiongkok. “Bisa saja soal kuliner atau pengobatan herbal dari Palembang dibawa ke Tiongkok. Sementara arsitektur Tiongkok, khususnya para tukangnya, memengaruhi arsitektur di Palembang,” katanya.

“Jejak Cheng Ho di Palembang dapat dijadikan spirit ekonomi maupun kebudayaan bangsa Indonesia, yang bertujuan mensejahterakan rakyat, menjaga keberagaman dan kedamaian, dan tetap menjaga alam,” kata Taufik Rahzen.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,