,

Perubahan Iklim dan HKSR. Apa Kaitannya?

Adakah benang merah antara perubahan iklim dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan atau HKSR?  

Merujuk IUCN 2009 mengenai Training Manual on Gender and Climate Change, disebutkan bahwa dampak langsung yang ditimbulkan akibat perubahan iklim adalah meningkatnya suhu permukaan air laut, kemarau panjang, kekeringan, hingga peristiwa iklim ekstrim seperti banjir, hawa panas, dan kebakaran hutan.

Adapun dampak tidak langsungnya meliputi peningkatan epidemik penyakit dan penyusutan keanekaragaman hayati. Bagi manusia sendiri, dampak perubahan iklim ini mengakibatkan kematian, gangguan kesehatan, dan bahkan bila ditinjau dari jenis kelamin maka perempuan lebih rentan terkena dampaknya ketimbang laki-laki.

Hal ini dikarenakan pembagian peran, tanggung jawab, relasi, dan identitas yang dibentuk secara sosial. “Pengarusutamaan gender dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat penting. Di satu sisi, perempuan merupakan pihak yang paling rentan akibat ketidakadilan gender dan di sisi lain, perempuan berpotensi sebagai aktor dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ujar Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan, Tety Sumeri, kepada Mongabay Indonesia, di Bengkulu, baru-baru ini.

Hasil penelitian Neumayer and Pluemper (2009) terhadap kejadian iklim ekstrim dan bencana di 141 negara periode 1981 – 2002 menunjukkan, perempuan lebih banyak mengalami kematian dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian tersebut menyebutkan potensi perempuan mengalami kematian adalah 14 kali lebih besar dibanding laki-laki.

Bahkan, terlepas dari peristiwa iklim ekstrim atau bencana, hasil penelitian yang dilansir Gulf Times, 11 Agustus 2013, menyimpulkan bahwa kenaikan suhu bumi akan meningkatkan kekerasan personal. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga, yang mencapai 16 persen pada 2050 nanti.

Berdasarkan catatan WHO (2014), beberapa penyakit yang paling mengancam perempuan antara lain malaria, pre-eclamsia, tekanan darah tinggi dan diare. Khusus malaria, serangan bagi perempuan hamil bisa mengakibatkan keguguran, kelahiran prematur, dan kelahiran bayi dengan berat badan rendah.

“Kesulitan memperoleh sumber air bersih juga berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi perempuan. Air bersih sangat dibutuhkan saat menstruasi, proses persalinan dan pasca- persalinan,” tambah Tety.

Penyusutan keanekaragaman hayati yang mengakibatkan pilihan makanan untuk perempuan berkurang akan menurunkan kadar gizi sehingga perempuan lebih rentan diserang penyakit. “Kondisi ini akan membuat perempuan lamban mengatasi penyakit yang dialami, sehingga bisa menurunkan produktivitas, bahkan mengakibatkan kematian,” ujarnya.

Dampak perubahan iklim menyebabkan meningkatnya permukaan air laut, kenaikan suhu bumi, dan pancaroba alam. Foto: Rhett Butler

Penduduk

Sejauh ini, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan pemerintah dan lembaga non-pemerintah di dunia ini lebih fokus pada penggunaan energi dan pengelolaan sumber daya alam. Kondisi ini dikritisi oleh Karen Hardee, aktivis dari Center for Policy and Advocacy, Futures Group, USA. Dia berpendapat, isu kependudukan dan kesehatan reproduksi harus mendapatkan perhatian serius dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Menurut Karen, isu kependudukan terkait perubahan iklim harus dijawab dengan penyadaran hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Khususnya, hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan mempunyai anak. Dengan memberdayakan hak tersebut, perempuan dapat memutuskan untuk mengontrol kesuburannya dan memutuskan untuk mempunyai anak dengan jumlah sedikit.

Mendukung pendapat Karen, Tety Sumeri menambahkan, tidak hanya hak untuk memutuskan kapan mempunyai anak atau tidak, tapi juga jarak kelahiran. Hak untuk menikah atau tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga juga perlu disadarkan secara utuh guna menurunkan jumlah pernikahan dini untuk menekan laju pertambahan penduduk.

“Indonesia termasuk negara paling tinggi jumlah pernikahan dininya. Di dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-37, sedangkan di ASEAN diperingkat ke-2. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan, angka fertilitas remaja kelompok usia 15 – 19 tahun naik menjadi 48 kelahiran per 1.000 perempuan, dari 35 kelahiran per 1.000 perempuan pada SDKI 2007,” ujar Tety.

Untuk lingkup desa/kelurahan, Tety optimis bila upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim diintegrasikan dengan pendidikan dan penyadaran HKSR, akan membuka pandangan masyarakat dalam perencanaan tata kelola hutan dan lahan. “Paling tidak, masyarakat bisa mengantisipasi laju pertambahan penduduk bila dikaitkan dengan keterbatasan hutan atau lahan. Terutama, untuk permukiman, pertanian, juga sumber air bersih,” jelasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,