Raja Ampat di Papua dan Kepulauan Galapagos di Ekuador disebut sebagai kawasan wisata yang berhasil menggalang dan mengelola dana konservasi lingkungan. Bali sebagai pulau wisata kini juga terus menjajaki apakah pelancong mau membayar insentif pelestarian alamnya.
Sedikitnya dua riset tentang ini dibuat oleh sejumlah lembaga konservasi pesisir. Pertama riset kolaborasi Coral Reef Alliance, Whale Stranding Indonesia, dan Reef Check Indonesia pada 2013 pada turis di empat objek wisata perairan terkenal di Bali yakni Amed, Tulamben, Pemuteran, dan Lovina. Hasilnya sebagian turis bersedia membayar inisiatif konservasi (willingness to pay/WTP) sekitar 4-5 USD per orang asalkan dikelola transaparan dan akuntabel oleh konsorsium, tak hanya pemerintah.
Riset paling anyar berjudul “Tingkat Kepuasan, Jumlah Pengeluaran, dan Kesediaan Membayar Wisatawan untuk Inisiatif Konservasi di Wilayah Perairan Padangbai – Candidasa, Karangasem, Bali” yang dilaporkan Juni 2015 ini. Hasil penelitian kerjasama antara Conservation International (CI) Indonesia dengan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana (Unud) Bali, yang dilakukan pada Januari – April di dua kawasan wisata di Bali timur itu.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kepuasan wisatawan dan nilai ekonomi dari aktivitas wisata bahari yang berpotensi menunjang pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Karangasem, khususnya di wilayah Padangbai – Candidasa.
Wilayah pesisir Padangbai – Candidasa merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Pesisir (KKP) Karangasem, yang telah dikembangkan secara intensif sejak 2013, karena memiliki keragaman hayati yang tinggi dan menjadi salah satu prioritas konservasi di Bali. Aktivitas wisata bahari di Padangbai diperkirakan menghasilkan Rp236,4 miliar, sementara dari Candidasa sebesar Rp50,4 miliar.
Padangbai dan Candidasa yang berjarak sekitar 15 kilometer di timur Bali, mempunyai karakteristik berbeda. Padangbai merupakan lokasi penyebarangan ke pulau di timur Bali, dengan beberapa titik penyelaman seperti Baong Turtle Neck, Blue Lagoon, GIli Mimpang dan Shark Point. Ditemukan juga jenis terumbu karang Jepun yang sangat khas di kawasan ini.
Sementara ada abrasi pantai di Candidasa. Pusat akomodasi sudah kehilangan pantai tapi masih menjadi pusat akomodasi untuk wisata alam dan budaya di Karangasem.
Hasil penelitian menunjukkan ada dua faktor kesediaan wisatawan membayar dana insentif konservasi. Pertama faktor produk pariwisata, seperti kualitas kebersihan, kualitas akomodasi, landscape, fasilitas wisata, dan faktor komunitas lokal. Kedua, adanya informasi mengenai pencemaran dan tingkat keintiman wisatawan dengan masyarakat lokal. Terdapat variasi tinggi besarnya nilai ekonomi dan kesediaan membayar di kedua lokasi penelitian.
“Ada dua faktor yakni keintiman dan fasilitas pariwisata. Yang bersedia membayar punya keinginan terlibat pelestarian lingkungan,” kata Adikampana, salah seorang peneliti. Sementara yang tak bersedia kebanyakan karena sudah bayar di destinasi lain entah di Indonesia atau luar Indonesia. Juga ada ada keraguan bagaimana pengelolaan dana konservasi itu. “Ada ketidakpercayaan dalam akuntabilitas pengelolaan,” lanjutnya.
Wisatawan pada umumnya merasa puas terhadap kegiatan wisata bahari khususnya dalam hal pelayanan jasa guide. Sementara untuk aspek lainnya seperti, fasilitas pendukung, kebersihan, dan akomodasi kepuasan wisatawan tergolong masih rendah hingga sedang.
Wisatawan mau membayar dana konservasi di Padangbai sebesar Rp42.500 dan Rp70.400 di Candidasa. Tetapi, wisatawan kurang percaya pengelolaan dana WTP oleh pemerintah, dan dikelola langsung masyarakat lokal dan organisasi non pemerintah.
Bagi wisatawan yang tidak bersedia membayar secara material, mereka bersedia menggantinya dalam bentuk kontribusi tenaga dan pemikiran dalam aktivitas konservasi (volunteer tourist). “Ini menarik, ada peluang mereka menjadi relawan untuk pengembangan kawasan konservasi,” tambah Sukma Arida, koordinator riset ini.
Penelitian merekomendasikan pemerintah untuk mendukung komunitas pesisir guna lebih meningkatkan kualitas lingkungan di pesisir, dan dukungan kebijakan tata kelola ruang laut dan pesisir secara berkelanjutan, serta meningkatkan profesionalitas aparatur birokrasi.
Untuk masyarakat pesisir khususnya masyarakat di sekitar Candidasa dan Padangbai agar meningkatkan upaya konservasi berbasis kemampuan lokal dan meningkatkan kapasitas dalam menangkap peluang ekonomi dari industri pariwisata.
Sejumlah LSM dan akademisi menggagas perlunya dana konservasi lingkungan yang independen dan akuntabel bagi turis ke Bali. Tantangan dan degradasi lingkungan Bali dinilai makin parah sehingga perlu upaya konservasi yang makin massif.
Sedangkan I Ketut Sarjana Putra, Direktur Eksekutif CI Indonesia mengatakan inisiatif memulai mekanisme Bali Conservation Funds (BCF) ini penting karena Bali menghadapi perubahan besar. “Di satu sisi antisipasi belum ada secara nyata. Bagaimana Bali akan tetap bisa menjaga alam dan budaya?” tanyanya.
Banyak pihak bertanya, apakah Bali masih seindah ini di masa depan? Berapa kebutuhan dana untuk mengajegkan Bali. Berapa pemerintah mengalokasikan dana untuk konservasi?
Sarjana mengusulkan empat pilar utama alokasi BCF berkonsep kearifan lokal, yaitu Wana Kertih (forest landscape conservation), Danu Kertih (bagaimana sumber air seperti sungai, danau bisa terjaga), Segara Kertih (coastal and marine concervation) dan Jana – Atma Kertih (untuk peningkatan kapasitas manusianya).
Ia mencontohkan inisiatif entrance fee system saat mendarat di Galapagos sebesar USD 100 dan footprint fee USD 48 saat keluar. “Hanya untuk menikmati kepulauan di Ekuador sebagai kawasan taman nasional,” kata Sarjana yang mengaku terlibat dalam pembuatan sistemnya. Alokasi dana konservasi yang didapat 40% untuk Galapagos National Park dan 25% untuk Galapagos Munincipalities.
Sedangkan di Raja Ampat, Papua, ada dive fee system sebesar USD 50 untuk WNA, 25 untuk domestik. Didistribusikan ke kas pemerintah lokal dan pengelola Raja Ampat.
Mobilisasi dana konservasi ini didasari isu kualitas lingkungan hidup di Bali yang perhatian serius yaitu tingginya alih fungsi lahan, meningkatnya lahan kritis, menurunnya kualitas udara, kritisnya penyediaan air bersih, meningkatnya aktivitas di kawasan pesisir, pantai dan laut; tingginya pertumbuhan penduduk, dan meningkatnya sampah dan limbah (SLHD Bali 2013).
Alokasi dana konservasi ini dinilai sangat kecil dibanding angka dalam dokumen isian pelaksanaan anggaran (DIPA) Bali yang nilainya terus meningkat dari tahun ke tahun. DIPA Bali tahun 2011 sebesar Rp6,37 triliun, tahun 2012 sebesar Rp6,97 triliun dan tahun 2013 sebesar Rp7,47 triliun.