,

HUT Polri, KontraS Soroti Kinerja Polri terkait Konflik Argraria di Sulawesi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi pada peringatan hari jadi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atau hari Bhayangkara menyampaikan ‘kado’ ulang tahun berupa catatan singkat tentang kinerja Polri sepanjang tahun 2015, termasuk penanganan konflik agraria yang dinilai sarat kekerasan dan kriminalisasi.

Catatan terhadap kinerja Polri ini didasarkan pada pemantauan kinerja institusi kepolisian di wilayah Sulawesi selama 6 (enam) bulan, mulai Januari hingga akhir Juni  2015. Disamping itu, catatan ini juga mengulik beberapa penanganan kasus di tahun sebelumnya, yang hingga sekarang masih menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan oleh kepolisian.

Nasrun, Wakil Kordinator KontraS Sulawesi, dalam pernyataannya kepada media di Makassar, Rabu (1/7/2015) menilai perayaan hari Bhayangkara ke – 69 ini bisa menjadi momentum bagi pemajuan agenda akuntabilitas Polri demi tercapainya reformasi yang utuh dalam tubuh Polri.

“Revolusi mental oleh institusi Polri akan berjalan maksimal bilamana diimplementasikan polisi yang tunduk pada supremasi sipil, penegakan hukum dengan menjamin perlindungan hak-hak masyarakat dan pemenuhan rasa keadilan serta terimplementasikannya penegakan nilai dan prinsip HAM dalam pelaksanaan tugas kepolisian.”

Terkait penyelesaian kasus konflik agraria, Nasrun menjelaskan bahwa sejak awal tahun hingga Juni 2015, sejumlah peristiwa kekerasan yang terjadi yang melibatkan institusi kepolisian, antara lain sengketa antara PTPN XIV dan Serikat Tani Polongbangkeng Takalar dan konflik antara perusahaan tambang PT Derawan Berjaya Mining dengan petani Desa Polara, Desa Tondonggito, Desa Waturai dan Desa Kekea di pesisir Pulau Wamonii Kendari, Sulawesi Tenggara.

Nasrun menceritakan bahwa pada bulan April, satuan Brimobda melakukan pengamanan terhadap pengolahan secara paksa yang dilakukan pihak PTPN XIV Takalar yang dilaksanakan dari pagi hingga dini hari. Pengamanan ini pun dilakukan oleh anggota Brimob lengkap dengan persenjataan dengan konvoi mengitari sejumlah desa di sekitar lokasi lahan yang disengketakan.

“Hal ini mengakibatkan para petani mengalami ketakutan. Bahkan, tak jarang para petani yang masuk ke lokasi lahan selalu dihadang oleh anggota Brimob tersebut, ungkap Nasrun.

Kejadian lainnya di bulan Mei 2015, sejumlah anggota Brimob lengkap dengan senjata, mendatangi dan mencari Dg. Toro, salah seorang pimpinan Serikat Tani Polongbangkeng Takalar. Peristiwa tersebut terjadi jelang malam hari dan dinilai tanpa alasan yang jelas. Di akhir bulan Mei, Dg. Puji, nenek berusia 65 tahun dikriminalisasi dengan tuduhan telah melakukan penganiayaan terhadap seorang karyawan PTPN XIV hingga mengalami pendarahan pada tanggal 11 Mei 2015.

Faktanya, pada 11 Mei 2015 tersebut, Dg. Puji tidak sedang berada di lokasi lahan melainkan sedang berobat dikarenakan sedang sakit.

“Pada kasus Dg. Puji ini, pihak Polres Takalar terkesan sangat memaksakan agar kasus tersebut tetap diproses secara hukum, tanpa melihat fakta dan kondisi yang dialami oleh Dg Puji.”

Kasus kekerasan juga terjadi di Sulawesi Tenggara, tepatnya tanggal 3 Mei sekitar pukul 04.00 WITA, dimana anggota Brimob Polda Sulawesi Tenggara berjumlah 3 peleton lengkap dengan persenjataan masuk ke desa Batulu dan Tokenea, Pulau Wamonii Kendari, dan mendatangi rumah Ismail dengan maksud menangkap Muamar dan Hasim Lasao dengan tuduhan sebagai provokator peristiwa pembakaran basecamp PT Derawan Berjaya Mining pada tanggal 8 Maret 2015.

“Pada peristiwa ini, warga yang berusaha menghalangi upaya penangkapanan tersebut direspon aparat kepolisian dengan melakukan penembakan brutal, penganiayaan, intimidasi dan bahkan pelecehan seksual.”

Terdapat 14 warga mengalami kekerasan dalam peristiwa tersebut, 3 orang mengalami luka tembak, 9 mengalami berbagai bentuk penganiayaan, seorang ibu diancam dengan ditodongkan senjata api sementara seorang perempuan mengalami pelecehan seksual.

Terkait upaya penegakan hukum, pada berbagai peristiwa tersebut KontraS Sulawesi mempertanyakan konsistensi penegakan hukum oleh kepolisian demi upaya perlindungan hak-hak hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

“Berbagai respon aparat kepolisian terhadap sejumlah peristiwa dengan masih menggunakan pendekatan bentuk-bentuk kekerasan malah mengakibatkan hilangnya rasa aman bagi masyarakat.”

Kenyataan yang terlihat, aparat kepolisian malah mengedepankan proses penegakan keadilan dan memisahkannya dengan upaya perlindungan hak dan pemenuhan rasa keadilan. Hal ini mengakibatkan sejumlah kasus kekerasan oleh aparat kepolisian yang masih mengalami kemandekan.

Penggunaan senjata api berlebihan

Selain konflik agraria, KontraS mencatat setidaknya 54 peristiwa kekerasan dengan 99 korban yang melibatkan Polri di Sulawesi sepanjang 2015.  “Kami yakin, jumlah peristiwa dan korban berjumlah yang sesungguhnya melebihi dari apa yang dapat kami catat,” jelas Nasrun.

Berbagai tuntutan masyarakat terhadap reformasi institusi kepolisian. Penggunaan senjata api secara berlebihan mendominasi tindak kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian, dimana ditemukan kasus sebanyak 18 peristiwa penembakan yang dilakukan polisi terjadi di medio Januari – Juni 2015. Foto : Wahyu Chandra
Berbagai tuntutan masyarakat terhadap reformasi institusi kepolisian. Penggunaan senjata api secara berlebihan mendominasi tindak kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian, dimana ditemukan kasus sebanyak 18 peristiwa penembakan yang dilakukan polisi terjadi di medio Januari – Juni 2015. Foto : Wahyu Chandra

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat Polri meliputi tindakan penyiksaan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang kepada masyakat sipil. Juga intimidasi dan kriminalisasi, bahkan pelecehan seksual  pada penanganan konflik sengketa lahan.

“Kami juga mencatat bahwa dalam upaya pemberantasan terorisme, aparat kepolisian masih kerap melakukan penggunaan kekuatan berlebihan dan penyalahgunaan kewenangan.” Sebanyak 18 peristiwa penembakan terjadi di medio Januari – Juni 2015, mengakibatkan 4 orang meninggal dan 22 orang menderita luka-luka.

“Dalam penanganan maraknya begal’ di beberapa wilayah di Sulawesi, anggota kepolisian masih kerap menindak para tersangka dengan melepas tembakan yang umumnya terjadi pada saat proses penangkapan.”

Kebebasan Pers Terancam

Nasrun juga menilai adanya arogansi aparat kepolisian masih terlihat ditataran penghormatan dan perlindungan hak berekspresi dan jaminan kebebasan pers. Setidaknya terdapat 7 peristiwa yang direspon oleh aparat kepolisian dengan tindakan penganiayaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang berujung pada tindak kriminalisasi, intimidasi dan pembiaran.

Terkait jaminan kebebasan pers, pada 14 Januari, Marvil Rumerung, seorang wartawan media cetak di Manado mengalami pemukulan hingga bibir berdarah oleh Kanit Lantas saat sedang meliput pencarian korban hanyut di Sungai Mangas.

“Ini menjadi indikasi adanya ancaman bagi kekebasan pers yang berasal dari institusi kepolisian.”

Rekomendasi untuk Polri

KontraS Sulawesi memberi rekomendasi kepada Polri sebagai upaya untuk reformasi diri.

Pertama, agar Polri meningkatkan profesionalisme dan menguatkan akuntabilitas serta transparansi penegakan hukum dengan melakukan pengawasan berkala dari tingkat Polda hingga ke Polres dan Polsek.

“Peningkatan mutu dan akuntabilitas kinerja Propam sebagai salah satu satuan pengawas internal dan harus ditempatkan secara independen sehingga bebas dari berbagai bentuk intervensi.”

Kedua, membuka ruang pemulihan sebagai bentuk pertanggungjawaban institusi kepolisian atas kesalahan penindakan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, sesuai dengan apa yang diatur dalam PerKap HAM no. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian.

Ketiga, menuntut evaluasi menyeluruh kinerja Densus 88 Anti Teror agar penanganan dan pemberantasan terorisme sesuai hak asasi manusia para terduga teroris. Mengedepankan asas praduga tak bersalah dan menghindari pendekatan senjata api serta mendorong upaya deradikalisasi.

Keempat, meminta institusi kepolisian membuka diri terhadap kontrol dan pengawasan eksternal baik oleh lembaga negara lainnya maupun terhadap partisipasi masyarakat sipil. Hal

“Dari kesemuanya itu, KontraS Sulawesi turut mendorong agar adanya upaya melakukan revisi UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang mana mengarah pada tercapainya reformasi institusi kepolisian. Sehingga Kepolisian Republik Indonesia meninggalkan perilaku militerisme dan menjadi polisi sipil.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,