Sekitar sebulan, warga perisir Pantai Kapen-Watu Kodok, resah. Penyebabnya, keinginan investor menguasai lahan pesisir untuk pembangunan hotel dan pariwisata. Sosialisasi rencana pembangunan minim dan tak transparan. Penghubung investor juga semena-mena hingga 95 warga yang membuka lapak dagang terancam terusir dari sana. Lahan itu dikenal dengan hak guna tanah Sultan Ground.
Ngatno, mantan Kepala Desa Kemadang mengatakan, pemerintah desa dan daerah absen terhadap perselisihan HGT Sultan Ground hingga makin menyudutkan warga. Secara administratif, Pantai Kapen-Watu Kodok bagian Dusun Kelor Kidul, Desa Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul. Secara geografis, terletak di antara obyek wisata Pantai Drini dan Pantai Sepanjang.
Pantai ini mulai dibuka warga pada 1949. Seiring perkembangan pariwisata di Pesisir Kidul, pantai di Desa Kemadang mulai berkembang. Setelah Pantai Baron, makin populer, dibangunlah Pantai Sepanjang, diprakarsai kepala desa. Selanjutnya, dibuatlah akses menuju Pantai Kapen supaya pembangunan lebih merata.
“Warga wilayah timur Desa Kemadang, yaitu Dusun Kelor Kidul, Kelor Lor, dan Kanigoro membuat jalan supaya bisa menikmati obyek wisata,” kata Ngatno.
Pantai Kapen sudah jadi lapangan pekerjaan masyarakat tiga pedukuhan, bahkan lebih. Mereka beraktivitas seperti bercocok tanam dan mencari pakan ternak. Pantai juga tempat warga memancing, menyuluh, mencari rumput laut, kerang, bulu babi dan lobster. Bahkan sebagian warga memutuskan bermukim dan sudah turun temurun.
“Yang namanya hak ulayat, sama dengan tanah negara bisa ditempati masyarakat dan ada sejarah sejak awal.”
Kemampuan warga mengembangkan perekonomian mandiri berjalan dinamis. Jaringan listrik masuk akhir 2013, makin mendukung kemandirian warga meningkatkan taraf hidup bersamaan dengan beragam aktivitas warga di pantai. “Warga juga turut menjaga kelestarian lingkungan. Karena menyadari pantai ini lahan masa depan.”
Elanto Wijoyono, pendamping warga bercerita, Mei 2015, rutinitas warga mulai terganggu. Tanpa sosialisasi terlebih dulu, warga yang bermukim dan membuka usaha di Pantai Kapen-Watu Kodok diminta menyingkir oleh investor luar Yogyakarta, bernama Enny Supiani. Pengacara Enny yakni Alex C. Timmerman, memaksa warga mengosongkan lahan di sepanjang pantai, termasuk membongkar warung-warung.
Alex menunjukkan, surat kekancingan dari Keraton Yogyakarta, tertanggal 27 Juli 2013, sebagai legalitas tuntutan kepada warga.
Berbekal surat-surat ini, investor mengaku menyewa tanah Sultan Ground 19.354 meter persegi atau sekitar dua hektar selama 10 tahun. Investor akan membangun penginapan dan tempat makan.
Namun detail pembangunan dan pengelolaannya tidak dijelaskan lebih lanjut oleh perwakilan investor.“Padahal ketika mengajukan izin lingkungan seperti Amdal, seharusnya ada dialog dengan warga.”
Tuntutan dilayangkan kepada warga. Surat teguran terakhir, investor menuntut warga segera membongkar dan memindahkan bangunan di lahan SG. Surat tertanggal 28 Juni 2015, warga diberi batas waktu hingga 5 Juli 2015. Setelah itu, investor akan membongkar paksa dibantu aparat dengan didampingi pihak berwenang terhadap bangunan-bangunan itu.
Sebelumnya, warga mempunyai banyak harapan untuk mempertahankan dan mengembangkan sumber penghidupan mereka di kawasan pantai. Apalagi Gubernur Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana X sudah menetapkan kawasan pesisir sebagai halaman depan provinsi. “Beberapa warga ketakutan bahkan mereka meratapi peristiwa sambil memindahkan warung,” kata Elanto.
Warga Dusun Kelor Kidul akhirnya didampingi beberapa tokoh masyarakat mengadu ke LBH Yogyakarta dan mendatangi Keraton Yogyakarta. Sugiarto dari LBH Yogyakata mengatakan, hak warga menempati tanah yang menjadi sumber kehidupan itu wajib dipertahankan.
Rugiyati, Humas Paguyuban Kawula Pesisir Mataram Wilayah Gunung Kidul mengatakan, sejak awal warga menolak investor dalam pengelolaan Pantai Kapen-Watu Kodok. “Kami akan mempertahankan pantai supaya tetap menjadi hak warga.”
Warga meminta keraton, sebagai pemilik tanah Sultan Ground memberi kesempatan warga mengelola di Pantai Kapen-Watu Kodok,baik secara sosial, budaya maupun ekonomi.
Belum ada izin
Kepala Kantor Pelayanan Terpadu Pemkab Gunungkidul Azis Saleh menjelaskan, perizinan pembangunan hotel di wisata Pantai Watu Kodok Gunungkidul hingga kini belum ada. Masyarakatpun, terutama para pedagang, katanya, agar bersabar dan tetap tenang. Untuk memperoleh izin pembangunan hotel, memerlukan proses panjang.
Ketua Komisi C DPRD Gunungkidul, Purwanto mengatakan, seharusnya pemerintah mengawasi dan seleksi ketat investasi agar tidak merugikan warga.
”Mengembangkan pantai memang perlu dukungan investor. Namun, perlu aturan ketat dan tidak menggusur masyarakat.”
Seperti dikutip dari kabarhandayani.com, kuasa Hukum Enny Supiani, Alex C Timmerhan mengatakan, kliennya memang memiliki bukti kekancingan atas tanah Pantai Watu Kodok yang keluar 2013. “Kekancingan asli, bahkan ada biaya sewa harus dikeluarkan.”