, ,

Peristiwa Musi Rawas: Apakah Pertanda Lemahnya Komunikasi dalam Pemerintahan Jokowi?

Peristiwa kekerasan yang dialami tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Walhi Sumsel saat menengahi konflik lahan antara PT Musi Hutan Persada (PT. MHP) dengan masyarakat di Dusun Cawang Gumilir, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, dinilai sebagai pertanda lemahnya “komunikasi” antarpelaksana pemerintahan Jokowi-JK.

“Upaya dialog yang ditawarkan KLHK dan Walhi Sumsel dalam mengatasi konflik sama sekali ditolak, bahkan mereka dilecehkan. Ini jelas menunjukkan karakter arogan yang masih ditunjukkan pelaksana pemerintahan di tingkat lokal atau daerah,” kata Dr. Tarech Rasyid dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang, Kamis (09/07/2015) malam.

Seharusnya, kata Tarech, Pemerintahan Kabupaten Musi Rawas dan sejumlah aparat keamanan justru menunjukkan langkah-langkah taat hukum saat kehadiran tim tersebut. “Taat hukum merupakan ciri demokrasi. Taat hukum yang pertama dilakukan dalam mengatasi sebuah konflik yakni dialog. Dialog ini dengan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak, baik perusahaan maupun masyarakat. Kehadiran KLHK dan kawan Walhi Sumsel merupakan peluang pemecahan konflik, bukan ditolak. Ini kan aneh. Justru sebaliknya,” ujar Tarech.

Kata Tarech, peristiwa ini merupakan pembelajaran berharga bagi Pemerintahan Jokowi-JK. “Dialog antarpelaksana pemerintahan tampaknya tidak berjalan hingga ke bawah, terutama dalam mewujudkan visi dan misi Pemerintahan Jokowi-JK lebih berpihak pada kepentingan rakyat, terutama kaum tani,” katanya.

Dialog dalam mengatasi konflik ini, tentunya bukan hanya mengutungkan masyarakat, juga para pelaku usaha. “Kita tetap butuh pelaku usaha, tapi jangan terus rakyat yang menderita. Guna mencari solusinya, tetap melalui dialog bukan sikap arogan terhadap rakyat,” ujarnya.

Penggusuran kebun dihentikan Kamis sore

Setelah peristiwa kekerasan tersebut, PT. MHP bersama aparat pemerintah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, terus melakukan penggusuran perkebunan milik masyarakat di Dusun Cawang Gumilir, Desa Bumi Makmur, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

“Hari ini (09/07/2015) penggusuran terus dilakukan. Informasi yang kami dapatkan justru adanya penambahan alat berat. Eskavator yang kemarin empat, hari menjadi 10. Ada juga penambahan aparat pemerintah dan keamanan,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Kamis (09/07/2015).

Tapi didapatkan informasi, jika aksi penggusuran tersebut dihentikan pada Kamis (09/07/2015) sore. “Saya mendapatkan informasi penggusuran dihentikan, setelah adanya surat dari Ibu Siti Nurbaya, dan perintah dari pemerintah Sumsel,” kata Waisun, anggota Komisi 1 DPRD Musi Rawas, Kamis (09/07/2015) malam.

“Saat ini semua alat berat dan aparat sudah ditarik,” ujarnya.

Kebun karet warga yang diratakan PT. MHP dan dibantu aparat. Foto: Walhi Sumsel

Mencari solusi

Waisun menjelaskan, Jumat (10/07/2015) ini akan dilakukan dialog antara DPRD Musirawas dengan Bupati Musi Rawas.

“Di kantor dewan kita berencana melakukan dialog dengan Bupati Ridwan Mukti. Kita akan mempertanyakan apa upaya dari pemerintah dalam mengatasi konflik ini. Kita pun dari dewan akan mengusulkan upaya penyelesaian konflik, mencari solusi yangi tidak menyebabkan rakyat menderita, dan perusahaan juga tidak dirugikan. Kalau cara yang dilakukan selama ini jelas menyengsarakan rakyat,” ujarnya.

Sebagai informasi, pada 1992-1996,  sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yakni PT. Barito Pacific—kini menjadi PT. Musi Hutan Persada (PT. MHP)—mendapatkan izin konsensi lahan seluas 100 ribu hektar di wilayah Kabupaten Musi Rawas. Salah satunya di hutan adat Semangus seluas 70 ribu hektar.

Sekitar 1996, pemerintah kemudian membuat program transmigrasi berupa Desa HTI yang lokasinya di Hutan Adat Semangus. Sampai saat ini tercatat enam desa HTI yakni SP-5 Trianggun jaya, SP-6 Bumi Makmur, SP-7 Pian Raya, SP-9 Harapan Makmur, SP-10 Mukti Karya, dan SP-11 Sindang Raya.

Dalam perkembangannya, warga di keenam desa tersebut bertambah. Sebagian warga lokal kemudian membuka lahan perkebunan yang baru. Warga berdalih lahan yang dibuka merupakan lahan adat Semangus, sementara PT. MHP mengklaim lahan tersebut merupakan lahan konsensinya.

“Sekitar 5.000 hektar lahan yang dikonflikkan,” kata Waisun.

Menurut Waisun, seharusnya Pemerintah Kabupaten Musi Rawas meninjau kembali izin konsensi perusahaan yang membuat hutan rusak dan memiskinkan masyarakat tersebut. “Pemkab Musi Rawas seharusnya merekomendasikan peninjuan ulang. Tapi hal tersebut tampaknya tidak dilakukan,” ujarnya.

Waisun bersama para anggota dewan lainnya meminta Pemkab Musi Rawas menghentikan segala upaya penggusuran. “Kita mendesak penggusuran tersebut dihentikan. Sebab penggusuran tersebut tanpa solusi yang diberikan. Membiarkan penggusuran itu sama saja memiskinkan rakyat. Kalau mereka diberikan lahan baru, mungkin penggusuran itu dapat dilakukan.”

Terkait kekerasn yang menimpa tim dari KKLH dan Walhi Sumsel, Waisun mengutuk keras. “Kami mengutuk keras tindakan tersebut,” tegasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,