, , , ,

Soal Menjaga Alam, Inilah Kata Para Tokoh Agama

Agama punya peran sangat strategis dalam mencegah dampak perubahan iklim. Agama-agama mengajarkan keharusan menjaga alam. Namun, saat ini peran agama masih minim hingga perlu hadir mengajak umat masing-masing mendorong perubahan perilaku menjadi ramah lingkungan.

“Polusi luar biasa. Dari transportasi maupun industri. Tokoh agama menjadi pilar kuat. Harus bersatu dan harmoni menjaga lingkungan hidup tetap asri dan lestari. Tokoh agama adalah penyangga. Dalam ayat kitab suci ada perintah jaga alam,” kata Koordinator Bidang (Korbid) Kebijakan Publik Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Nadjamuddin Ramly dalam dialog di Jakarta, Kamis (9/7/15).

Abdul Halim Sani, technical advisor Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) mengatakan, dalam ajaran Islam, ada tiga relasi besar harus sinergis. Pertama, Tuhan, kedua, manusia dan ketiga, alam.

“Dalam Islam, manusia itu adalah khalifah seharusnya mengayomi bukan hanya menguasai alam. Selama ini manusia melihat alam sebagai obyek, bukan subyek. Ketika alam sebagai obyek jadi eksploitasi.”

Dalam Al-Quran,  Allah menyebut, apa yang ada di langit dan bumi itu bertasbih. Artinya,  alam sama-sama makhluk Allah. Jadi, harus ada keseimbangan. “Sikap kami, ada keputusan dalam pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah. Ada pedoman dalam mengelola alam itu agar tidak merusak. Alam itu diciptakan untuk kepentingan manusia, harus menjaga generasi berikutnya.” Muhammadiyah sudah membentuk majelis lingkungan dan ada mata pelajaran di sekolah berwawasan lingkungan.

Fachruddin Mangunjaya dari Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science (IFEES) memaparkan, beberapa hal tetang kontribusi umat Islam dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

Tahun 2010, pernah ada “Moslem 7 Years Action Plan on Climate Change” dan ada gerakan haji ramah lingkungan.

“Buku panduan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Untuk Indonesia, kita punya proyek percontohan dengan mengirim haji ramah lingkungan. Jemaah haji wajib membawa botol minum, gerakan mengurangi sampah dan aksi-aksi lain yang meminimalisir perubahan iklim,” katanya.

Untuk melestarikan habitat, ada Fatwa MUI untuk keseimbangan ekosistem sebagai upaya soft power. Pemerintah sudah punya hard power berupa penegakan hukum.  “Soft power juga penting megubah hati dan pikiran manusia.”

Lalu, ada upaya adaptasi berkaitan dengan air, peresmian jejaring Indonesian women for water, sanitation, and higine merupakan jejaring 33 organisasi perempuan Muslim termasuk Nahdatul Ulama, Aisyiah, dan lain-lain. Mereka bergerak bagaimana mengatasi krisis air dan ada buku panduan juga. Selain itu,  juga ada Islamic Declaration on Climate Change. : Draf sedang disusun. Konsultasi publik sampai 10 .”

Sekretaris umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom juga angkat bicara. Gultom mengatakan, pada sidang raya PGI 2014 di Nias, mendeklarasikan jika penyebab perubahan iklim itu keserakahan manusia.

“Perubahan iklim membuat penderitaan bagi umat manusia. Sebenarnya yang membuat perubahan iklim manusia. Berbagai persoalan di dunia akar keserakahan. Di Indonesia, kerusakan lingkungan karena keserakahan.”

Alkitab, katanya  mencatat hubungan unik antara manusia dengan alam. Ada dua hal, mengagungkan alam dan mengurangi nilai alam.

“Kedua kecenderungan tetap ada dalam diri manusia hingga kini. Kecenderungan mengagungkan alam sangat positif dalam mengembangkan kelestarian. Sedang kecenderungan mengurangi nilai alam menjadi sumber perusakan.”

PGI menyerukan, perlu dikembangkan spriritualitas keugaharian. Spritualitas ini memiliki dimensi pengendalian diri dan berhemat atas sumber-sumber alam. Lalu, semangat berbagi memiliki dan mengelola alam semesta dan kesediaan menentang segala sistem, struktur dan kebijakan yang merusak alam.

Hutan di dataran tinggi terbabat, menyisakan masalah buat perkampungan yang berada di bawahnya. Sewaktu-waktu, banjir atau longsor bisa menghampiri mereka. Foto: Sapariah Saturi

“Di PGI ada program Gereja Sahabat Alam. Ini mengajak seluruh warga gereja memiliki habitus baru untuk hemat dalam memanfaatkan sumber daya alam. Juga menghindari pencemaran dan memperbaiki lingkungan yang rusak,” katanya.

Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip Kristiani, yakni, restraint (tidak rakus), repent (bertobat dan mengaku atas perlakuan buruk terhadap alam), respect (menghargai ciptaan Tuhan) dan responsible (bertanggungjawab).

Siswantoko, dari Konferensi Waligereja Indonesia mengatakan, sikap Gereja secara universal diwakili Paus Fransiskus sangat prihatin dengan perubahan iklim dan bencana yang ditimbulkan. “Ini bencana kehidupan bagi siapapun. Paus dalam ensiklik 18 Juni lalu, menggarisbawahi soal lingkungan hidup.”

Ada beberapa poin pemikiran Paus sehubungan dengan perubahan iklim antara lain, perubahan iklim karena ulah manusia, misal banyak pembangunan berbasis minyak fosil, batubara yang membuat bumi menjadj panas. Lalu, hutan gundul membuat bumi panas. Sinar matahari tertutup karbon dioksida sampai polusi dari transportasi.

“Perubahan iklim membuat krisis air. Dengan suhu makin tinggi, udara menjadi sulit, cuaca tidak jelas, ini akan mengarah ketahanan pangan terganggu. Para petani kesulitan menyirami sawah dan kebun. Ini sungguh persoalan kemanusiaan.”

Paus juga menyebutkan soal permukaan air laut meningkat. “Ketika air naik dan menggenangi sawah dan ladang, penderitaan terjadi. Jelas perubahan iklim bencana bagi semua. Paus mengajak semua melakukan pertobatan ekologis. Siapapun agar mempunyai pandangan lebih positif terhadap lingkungan hidup yang mendorong setiap orang berperilaku ramah lingkungan,” katanya.

Ada dua jalan ditawarkan Paus dalam memperbaiki ekologis. Pertama, dialog untuk komitmen masing-masing stakeholder dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

Kedua, pendidikan yang berkaitan dengan perubahan perilaku. “Pendidikan  bukan hanya untuk anak-anak, untuk semua. Pendidikan sungguh-sungguh berbasiskan lingkungan hidup. Bisa formal maupun informal.”

Gereja Katolik Indonesia (GKI) berusaha membuat beberapa upaya pendidikan seperti pada 2013, membuat buku saku Keterlibatan Gereja Dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan, bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat buku pedoman hidup Katolik dalam melestarikan lingkungan hidup. Ada juga Forum Papua-Kalimantan, wadah bagi Gereja Katolik konsen lingkungan.

Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar mengatakan, perubahan iklim masalah dunia. Sekjen PBB Ban Ki Moon pernah menyebut, perubahan iklim adalah bencana paling besar di dunia.

Perubahan iklim, katanya, bukan hanya masalah ilmiah, politik dan ekonomi tetapi persoalan manusia. “Kalau tidak berhenti merusak lingkungan dan tetap serakah, perubahan iklim tak akan selesai.”

Dia berharap, para pemuka agama bisa bekerjasama menyentuh hati nurani umat agar tak serakah dan lebih mulia menjaga alam.  “Tidak hanya berdebat.”

Victor Rembeth, Thamrin School Reader on Environmental Ethics and Philosophy mengatakan,  agama harus menjadi potensi menghadirkan kebaikan banyak orang. “Semua agama bisa menjadi potensi mengambil kapasitas bagi kebaikan dunia.”

Menurut dia,  setiap agama bisa terus dialog untuk membuat kebaikan bersama. “Dibuat komitmen bersama masuk dalam internal antarumat beragama. Harusnya kita sudah siap dengan draf dimana pemerintah bisa mengakomodasi umat beragama untuk perubahan iklim,” katanya.

Kepala Sekolah Thamrin School Farhan Helmy mengatakan, Indonesia bisa memberikan cita rasa baru dalam melibatkan partisipasi multistakeholder untuk mengatasi isu perubahan iklim. “Yakni melalui pemberian ruang proporsional bagi pelaku agama.”

Pengunungan Kendeng, yang menjadi sasaran empuk para perusahaan tambang. Padahal, karst ini tempat menyimpan sumber air buat kehidupan warga dan tanaman. Foto: Geram
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,