, , , ,

Kelola Hutan Rakyat ala Ngudi Utomo

Ada bibit cabai, selobor, kol, selada hingga terong. Bibit-bibit ini tertata rapi beralaskan papan di halaman Sekretariat Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Ngudi Utomo di Desa Sukorejo, Kecamatan Musuk, Boyolali,  Jawa Tengah.

Samping kanan sekretariat ada kandang kambing dan sapi perah. Ada tanki penampung kotoran sapi untuk biogas. “Kami memasak pakai biogas kotoran sapi dan kambing. Lebih murah dan ramah lingkungan,” kata Sarono, akhir Juni 2015.

Sarono berkulit sawo matang. Sehari-hari dia ke ladang menanam cabai, terong, dan jagung. Sesekali mengecek tanaman hutannya dan anggota APHR lain. Dia didampuk menjadi Ketua APHR Ngudi Utomo sejak 8 September 2014.

Anggota APHR ada 754 orang dengan luas hutan rakyat 367,07 hektar di dua desa,  yakni Pagerjurang dan Sukorejo. “Anggota APHR Ngudi Utomo adalah para pengelola hutan rakyat dan petani hutan rakyat,” katanya.

Dia bercerita, APHR terbentuk atas kesadaran bersama. Mereka sadar, pengelolaan hutan rakyat lestari bermanfaat bagi lingkungan, sumber air, fauna, pengurangan erosi dan lain-lain. Hutan lestari dan rakyat bisa sejahtera.

Sebagai organisasi, dalam mengelola hutan,  Ngudi Utomo memiliki unit managemen dan pengusahaan hutan. Untuk unit kelestarian di desa oleh koordinator desa/gapoktan bekerjasama dengan aparat desa dalam pengendalian dan pengaturan kelestarian hutan. Kegiatan ini, katanya, meliputi kelestarian produksi dan hutan.

Unit koordinasi berada pada tingkat kelompok tani hutan (KTHR). Ia wadah koordinasi bagi keluarga-keluarga pemilik hutan yang tergabung dalam kelompok. KTHR bertugas mengkoordinir para petani hutan dalam tindakan teknis pengelolaan hutan tingkat dukuh. Untuk unit keluarga, bertanggungjawab dan berwenang penuh mengelola hutan yang dikuasai mengacu standar opersional prosedur (SOP) pengelolaan APHR Ngudi Utomo.

“Unit keluarga juga berkewajiban memberikan informasi kepada pengurus, terkait kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan yang telah, sedang dan akan dikerjakan.”

Handayani, setiap hari mewadahi tanah bercampur pupuk untuk pembibitan tanaman. Foto: Tommy Apriando
Handayani, setiap hari mewadahi tanah bercampur pupuk untuk pembibitan tanaman. Foto: Tommy Apriando

Mata pencaharian utama penduduk 13 desa di Boyolali yang berbatasan dengan TN Gunung Merbabu sebagai petani, sebanyak 15.283 orang (47,2%) dan 4,0% peternak. Lahan tani 3533,27 hektar (42,9%), penggembalaan ternak 800 hektar (9,7%). Di 13 desa ini terdapat hutan negara 2.000,73 hektar (24,3%). Jika dibandingkan jumlah petani dan ketersediaan lahan, kata Surono. per petani rata-rata hanya 0,2 hektar! Tergolong minim lahan yang berarti pula bisa mengancam kawasan hutan.  Namun, tidak di Kecamatan Musuk.

“Mayoritas anggota APHR Ngudi Utomo sebagai petani dan peternak sapi perah. Hutan selalu mereka jaga, baik dilindungi atau keperluan produksi,” kata Rosikhul Ilmi, Fasilitator Hutan Rakyat dari Lembaga Arupa Yogyakarta.

Sejak Ngudi Utomo terbentuk, Lembaga Arupa terlibat aktif pendampingan, peningkatan kapasitas dan mempromosikan kelompok ini meraih sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML). Ilmi sapaan akrabnya, setahun lebih mendamping Ngudi Utomo.

Dia mengatakan, Ngudi Utomo terpilih berawal rekomendasi penyuluh kehutanan, Dinas Kehutanan, Boyolali. Kondisi tegakan kayu baik dan lahan milik warga, serta tidak ada konflik di masyarakat.

Pengelolaan hutan ini juga memaksimalkan keterlibatan perempuan. Mereka mengelola pembibitan sayur, buah, sampai tanaman obat, lewat bendera “Kelompok Sekar Arum”.

Handayani , anggota Sekar Arum bercerita, setiap hari membibit sayur dan buah. “Pembeli dari berbagai kecamatan. Harga cabai Rp150 dan tanaman lain tergantung tinggi pohon,” katanya.

Sekar Arum juga menunjang pengelolaan hutan rakyat dan pertanian. Mereka ada pertemuan rutin guna membahas berbagai hal terkait pengoptimalan hasil pertanian dan hutan rakyat.

Bibit cabai yang dikelola kelompok perempuan tani Sekar Arum di Desa Sekorejo. Foto: Tommy Apriando
Bibit cabai yang dikelola kelompok perempuan tani Sekar Arum di Desa Sekorejo. Foto: Tommy Apriando

***

Pohon jati, mahoni, mindi, burian, nangka dan lain-lain tumbuh di lahan-lahan warga. Tinggi bervariasi, 10-20 meter. Di bawah pepohonan, tanaman buah dan sayur tampak subur. Ada jagung, pepaya, terong, bunga mawar, singkong dan cabai.

“Hutan rakyat Ngudi Utomo dikelola lestari. Mereka memiliki rancang bangun unit manajemen hutan rakyat lestari dengan pokok kegiatan penataan kawasan, pengaturan potensi dan penguatan kelembagaan,” kata Ilmi.

Secara topografi, katanya, Ngudi Utomo berada di lereng Gunung Merapi. Secara hidrologi, sungai-sungai dialiri air ketika musim penghujan. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan air hujan ketika musim penghujan dan kemarau membeli air bersih. Daerah ini berada dataran tinggi dengan lingkungan kering, cocok pengembangan pertanian pangan lahan kering, misal, cabai, tembakau, jagung dan palawija lain.

Di Musuk, katanya, disepakati ada dua hutan rakyat, yaitu yang berada di lahan peruntukan tegalan dan lahan pekarangan.

Dalam mengelola hutan, mereka menginventarisasi potensi, menyusun rencana pengaturan hasil dan rencana pengembangan usaha.

Menurut Sarono, inventarisasi pohon secara partisipatif dengan melibatkan pemilik. “Dengan pencatatan identitas dan penandaan pohon pakai nomor. Dilakukan metode sampling dengan intensitas 9,36% dari total wilayah.”

APHR, katanya, juga  melakukan tata usaha kayu dengan dokumentasi dari hutan sampai ke pengguna. Dokumentasi kayu, mulai sebelum ditebang sampai siap keluar kabupaten. Tata usaha kayu ini,  dijabarkan dalam SOP tata usaha kayu.

Dalam menanam, mereka menggunakan teknik silvikultur tradisional. Mereka juga memilih bibit yang akan dikembangkan, mempersiapkan lahan, penanaman, pemeliharan sesuai tahap perkembangan dan pemanenan (sesuai kebutuhan).

Sapi perah menjadi tambahan pendapatan masyarakat  sembari bertani dan menjaga hutan. Foto: Tommy Apriando
Sapi perah menjadi tambahan pendapatan masyarakat sembari bertani dan menjaga hutan. Foto: Tommy Apriando

Secara fisik hutan rakyat punya pola tanam beragam. Berbeda di setiap daerah, baik cara memilih jenis yang dikembangkan maupun cara penataan di lapangan. Di Ngudi Utomo,  menggunakan  sistem agroforestry atau wanatani. Pola ini, katanya, kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lain seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu. Ia berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional, baik ekonomis maupun ekologis.

Tak heran, kala di lahan-lahan warga ditemui tanaman beragam.  “Kelebihan pola tanam ini mempunyai daya tahan kuat terhadap serangan hama dan penyakit,” kata Sarono.

Pada 22 Juni 2015, Ngudi Utomo,  lulus tanpa syarat memperoleh sertifikasi PHBML. Masyarakat menyambut gembira.

“Kami makin yakin hutan rakyat akan menyejahterakan kami, masyarakat petani desa. Menjaga hutan terus lestari sama dengan menjaga lingkungan lebih baik,” ucap Sarono.

Sarono, Ketua Asosiasi Petani Hutan rakyat Ngudi Utomo berdiri di depan sekretariat. Foto: Tommy Apriando
Sarono, Ketua Asosiasi Petani Hutan rakyat Ngudi Utomo berdiri di depan sekretariat. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,