Sedahan merupakan salah satu desa di kaki Gunung Palung. Tepatnya, desa berpenduduk 2.008 jiwa dengan 687 kepala keluarga ini, berada di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Palung. Wilayahnya meliputi empat dusun: Sawah, Tanjung Banjar, Begasing, dan Sidorejo.
Dulu, warga desa ini adalah pembalak liar. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung, Dadang Wardhana, mengatakan, sebanyak 60 hektar areal taman nasional habis dijarah era 1998-2004 oleh warga Sedahan dan tiga desa sekitarnya. “Namun kini, kawasan tersebut sudah hijau kembali. Tutupan hutannya sudah ada,” jelasnya.
Apa yang membuat masyarakat Sedahan berhenti menebang hutan? Nazanadira (40), Kepala Desa Sedahan, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, menuturkan bahwa desanya memiliki peran vital sebagai penyangga taman nasional. Karena itu, kelestarian hutan harus dijaga. “Ada tujuh mata air di Sedahan yang merupakan sumber air bersih warga. Jika ingin mata air tetap ada, hutan harus dilindungi.”
Menurut Naza, masyarakat telah merasakan dampak buruk akibat eksploitasi hutan yang mereka lakukan selama enam tahun itu. Desember 2014 misalnya. Sedahan dilanda banjir, yang mengakibatkan 400 hektar sawah puso karena terendam dan ratusan warga mengungsi.
Karena itu, siap saja yang coba merambah hutan akan kami tangkap. Tahun 2007, masyarakat yang mengetahui ada sekelompok orang yang akan merambah hutan segera mereka sita alat beratnya. Para pelaku lantas dibawa ke pihak berwajib untuk diproses hukum. “Para pelaku akhirnya dipenjara. Ini sebagai efek jera bagi perusak hutan,” ujarnya.
Konsep ekowisata
Tahun 2013, lokakarya ekowisata diadakan di Sedahan. Tujuannya mendorong desa tersebut agar membentuk kelompok pengelola jasa wisata (KPJW). Kelompok ini dibawah binaan Kelompok Sadar Wisata yang disahkan oleh Dinas Pariwisata setempat.
Adalah Rahmi Ananta Widya Kristianti, penyuluh kehutanan yang sudah bertugas sejak 2008 dan tekun menggali potensi ekowisata kawasan TNGP. Harapan besarnya adalah agar masyarakat punya penghasilan tambahan dan tentunya tetap menjaga kawasan hutan. “Kami dulu berempat. Tetapi, yang lain sudah pindah tugas,” kisahnya.
Khusus di Sedahan, daerah tujuan wisatanya adalah Lubuk Banji. Masyarakat memperoleh manfaat banyak mulai jadi penunjuk jalan, porter, ojek, hingga membuka usaha makanan. “Kami yang atur, masyarakat yang menjalankan,” kata Rahmi antusias, lantaran konsep ekowisata ini berjalan di Sedahan dan desa lain di kaki TNGP.
Untuk kegiatan ini, menurut Rahmi, Balai Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) hanya sebagai fasilitator, selebihnya masyarakat yang berperan aktif. TNGP hanya mengenali potensi dan membuat peta menuju desa wisata saja.
Hal yang diamini Dadang. Menurutnya, pada 2014, sekitar 100 wisatawan asing datang ke Sedahan, sedangkan untuk wisatawan domestik sekitar 171 orang. Harga tanda masuk pun tak mahal. Untuk turis Rp150 ribu per orang per hari, sedangkan pengunjung lokal hanya Rp5.000 saja. “Terdapat paket wisata yang ditawarkan. Namun, yang paling diminati adalah melihat langsung orangutan di habitatnya, di Lubuk Banji itu.”
Jarak tempuh ke Lubuk Banji memang relatif dekat. Sekitar dua hingga tiga jam perjalanan. Di sana terdapat camp pengawasan, tempat wisatawan melakukan pengamatan. “Saat musim buah tiba, orangutan turun ke tanah. Kita bisa melihatnya meski harus menunggu beberapa saat,” kata Dadang.
Usaha keras
Nazanadira tidak menampik bila kendala bahasa merupakan persoalan serius yang harus dihadapi kala menerima kunjungan turis asing. Namun, menurutnya, hal ini tidak jadi masalah karena terkadang pemandu lokal menggunakan bahasa isyarat dan dibantu staf balai taman yang ikut mendampingi.
Konsep ekowisata yang kami tawarkan adalah menginap di homestay penduduk. Wisatawan diajak menikmati makan siang yang telah disajikan, lalu berkeliling penjuru desa dan menanam padi. “Mereka antusias menikmati suasana desa yang alami. Terlebih, latar pemandangan adalah Gunung Palung. Suara alam, seperti serangga dan burung terdengar jelas,” ujarnya.
Turis yang datang sebagian besar dari Amerika, India, dan Inggris. Mereka juga kami ajak melihat pembuatan gula merah dari nira kelapa. Tak lupa mengunjungi Pantai Pulau Datok yang tersohor. Keunikan pantai ini adalah perpaduan antara ekosistem pantai dan pegunungan. “Pastinya, saya selalu tekankan kepada masyarakat agar menjaga kebersihan lingkungan dan tidak mencemari sungai. Ini sebagai bentuk kesungguhan kami menjaga lingkungan dan hutan,” jelas Naza.