, ,

Demi Keadilan Ekologis, Walhi Tetap Gugat Qanun RTRW Aceh

Setelah Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh akhir 2014 lalu, Walhi menyatakan masih ingin melanjutan gugatannya sampai Pemerintah Aceh bersedia merevisi qanun tersebut. Namun, Walhi masih menunggu surat keputusan resmi MA yang sampai sekarang belum mereka terima.

“Demi keadilan ekologis kami tetap menggugat RTRW Aceh sampai ada upaya perbaikan dari Pemerintah Aceh. Tapi, masih menunggu salinan putusan resmi dari MA,” kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur di Banda Aceh, Kamis (23/7/15).

Walhi telah mengajukan gugatan uji materi atau judicial review terhadap Peraturan Daerah atau Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh pada 9 Oktober 2014. Dua bulan kemudian MA menyatakan menolak gugatan tersebut melalui putusan yang ditetapkan oleh hakim ketua DR. H. Imam Soebechi, SH., MH. Keputusan MA ini bersifat tetap.

Ada 1.300 halaman berkas gugatan yang yang dimasukan Walhi ke MA. Walhi menganggap Qanun RTRW Aceh melanggar sejumlah undang-undang dan berpotensi merusak hutan dan lingkungan Aceh di masa mendatang.

Pada Desember 2013, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun RTRW Aceh. Sejak proses penyusunannya, RTRW Aceh mengundang banyak polemik, terutama tarik ulur penentuan luas kawasan lindung di propivsi yang memiliki luas hutan terbesar ketiga di Indonesia ini. RTRW Aceh yang baru itu telah mengurangi luas hutan Aceh sebesar 145.982 hektar, termasuk menghilangkan hutan lindung dan wilayah konservasi menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 79.179 hektar.

Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan 27 rekomendasi agar Qanun RTRW Aceh diperbaiki oleh Pemerintah Aceh. “Namun rekomendasi itu diabaikan Pemerintah Aceh. Rekomedasi Mendagri itu menjadi salah satu dasar gugatan kami menolak RTRW Aceh,” kata Nur.

Namun, Hakim MA menganggap tak ada pelanggaran Undang-undang dan prosedur dalam penyusunan RTRW Aceh. Penyusunan RTRW Aceh telah melibatkan konsultasi banyak pihak. Sehingga, semua alasan yang diajukan Walhi tidak terbukti.

Menurut Walhi salah satu dampak positif dari gugatan ini, DPRA bersedia membahas kembali Qanun RTRW Aceh sehingga dapat mengakomodir keinginan organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat.

Walhi menganggap akibat gugatannya ini, Pemerintah Aceh belum bisa melaksanakan Qanun RTRW Aceh sebagai arah pembangunan jangka panjang 2015-2033.

“Ketika ada gugatan maka qanun tidak bisa dilaksanakan. Pemerintah Aceh harus menunggu dulu keputusan hukumnya. Kita berharap MA memberikan kepastian hukum terhadap dinamika RTRW Aceh agar ada kepastian pengelolaan sumber daya alam.”

Walhi melihat ada tidaknya Qanun RTRW Aceh, kenyataan di lapangan menunjukkan, pelanggaran ruang terus terjadi. “Ada tidaknya qanun RTRW, eksploitasi sumber daya alam tetap berjalan, karena sesungguhnya qanun ini tidak menjadi acuan. Contoh, Pemerintah Aceh terus mengundang investor untuk mengeksploitasi sumber daya alam.”

Menurut Nur, saat ini pembangunan jalan yang membelah hutan lindung dan konservasi terus dilakukan pemerintah, perluasan perkebunan sawit di Kawasan Ekosistem Leuser dibiarkan. “Pelanggaran ruang sudah terjadi meski RTRW Aceh belum difinalkan oleh MA,” tandasnya.

Rencana pembangunan yang melintasi Kawasan Ekosistem LEuser. Sumber: Walhi

Seperti yang telah diberitakan Mongabay sebelumnya, pengesahan Qanun No 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh mendapat penolakan dari berbagai organisasi masyarakat sipil karena berpotensi mengancam kawasan lindung seperti Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dan prosesnya juga diduga terjadi berbagai pelanggaran aturan hukum. Terkait hal itu, Walhi mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) qanun ini ke Mahkamah Agung pada Kamis (9/10/14).

Munhur Satyahaprabu, Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional, saat itu menuturkan, langkah ini merupakan upaya lanjutan penolakan Walhi dan masyarakat sipil atas pengesahan qanun yang mengancam kelestarian alam dan warga. “Judicial review ini untuk menjaga hutan Aceh. Banyak cara sudah dilakukan masyarakat sipil, dari kampanye, sampai judicial review ini,” tuturnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,