, ,

Mereka Penjaga Hutan Aceh Tamiang

Mat Pulih alias Ucil tidak dapat melupakan banjir bandang 2006 silam. Saat itu, ia beserta warga yang menetap di Desa Pengidam, Kecamatan Bandar Pusaka, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, harus mengungsi karena wilayah mereka terendam. Bukan hanya rumah yang hancur, tanah pertanian mereka juga rusak akibat bencana besar itu bersama dua desa tetangganya: Serkil dan Bengklang.

Banjir luar biasa itu tidak hanya menerjang Aceh Tamiang, tetapi juga menghajar Aceh Timur, Aceh Utara, Gayo Luwes, dan Bener Meriah. Kayu sisa penebangan hak pengusahaan hutan dan pembalakan liar memenuhi Sungai Tamiang. Berdasarkan data World Bank (2007), banjir bandang ini menimbulkan kerugian sebesar Rp1 triliun atau setara dengan 2,5 tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tamiang saat itu.

Tak ingin berpangku tangan, Ucil dan warga Pengidam coba memperbaiki nasib. Mereka memutuskan mencari wilayah pertanian baru yang lokasinya lebih tinggi. Pastinya, diyakini tidak akan terkena banjir lagi. Berdasarkan kesepakatan, warga bergerak menuju kawasan hutan yang ada di atas desa mereka. Dengan sepeda motor, lokasi ini dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan. Asalkan, jalan tanah berbukit dan bergelombang itu tidak lembek akibat hujan.

Doa selamatan digelar, berharap keberkahan menyertai mereka. Terlebih, hutan yang akan mereka garap ini memang wilayah nenek moyang yang belum mereka sentuh. Mufakat memutuskan, setiap warga per keluarga dapat membuka lahan untuk kebun seluas dua hektar.

Namun, Ucil dan warga kaget bukan kepalang. Ternyata, hutan yang akan mereka buka itu telah dikuasai oleh masyarakat luar dan pengusaha asal Sumatera Utara. Bahkan, sebagian telah ditanam sawit. Padahal, warga tidak pernah menjual tanah tersebut. “Kami tidak pernah menjual. Kami sudah laporkan ke semua pihak, mulai Dinas Kehutanan dan Perkebunan, DPRD, hingga Bupati Aceh Tamiang di 2007. Termasuk surat fiktif kepemilikan tanah yang kami dapatkan sumbernya. Namun, tiada yang menanggapi,” ucap lelaki 43 tahun ini.

Hutan Aceh Tamiang harus dilindungi karena begitu penting fungsinya. Foto: FKL
Hutan Aceh Tamiang harus dilindungi karena begitu penting fungsinya. Foto: FKL
Air Terjun Sangka Pane di Kecamatan Bandar Baru, Aceh Tamiang merupakan sumber air bersih bagi kehidupan masyarakat Aceh Tamiang. Foto: Rahmadi Rahmad
Air Terjun Sangka Pane di Kecamatan Bandar Baru, Aceh Tamiang merupakan sumber air bersih bagi kehidupan masyarakat Aceh Tamiang. Foto: Rahmadi Rahmad

Merasa geram, Ucil dan beberapa warga merusak sawit milik pengusaha asal Medan guna mencari perhatian. Taktiknya berhasil. Namun, karena tindakan beraninya ini pula ia ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara selama 2 bulan 22 hari di tahun yang sama. “Kalau ingat peristiwa itu, saya emosi sekali. Hutan kami sudah dikapling dan desa kami kebanjiran karena perbuatan orang lain. Parahnya, sawit yang ditanam itu justru berada di kawasan lindung. Hutan yang harusnya alami,” ujar ayah tujuh anak ini.

Sekarang, siapa saja yang datang, terlebih yang ingin menanam sawit, saya orang pertama yang akan menentang. Saya tidak peduli. “Ini sebagai bentuk keseriusan saya sebagai mantan perambah untuk menjaga hutan Aceh Tamiang, termasuk mengembalikan fungsi hutan lindung sebagai hutan alam. Saya siap menebangi sawit yang masuk areal hutan lindung di wilayah Bandar Pusaka ini, sebagaimana yang telah dilakukan di Tenggulun,” jelas Ucil.

Ancaman

Aceh Tamiang merupakan satu dari 13 kabupaten yang wilayahnya penting bagi kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Arealnya berada di hulu Sungai Tamiang seluas 79.901 hektar meliputi Kecamatan Tenggulun, Tamiang Hulu, Bandar Pusaka, Sekerak, dan Manyak Payed. Berdasarkan SK Menhut No 941 Tahun 2013, luasannya terdiri dari 58.586 hektar sebagai kawasan hutan dan 21.184 hektar sebagai areal penggunaan lain (APL). Namun, wilayah APL ini telah menjadi perkebunan dan permukiman sedangkan hutan yang tersisa terancam perambahan, pembalakan, dan perizinan. 

Rudi Putra, Advisor Forum Konservasi Leuser (FKL), menuturkan bahwa ancaman nyata kelestarian hutan di Aceh Tamiang termasuk di sekitar hutan lindung yang saat ini sedang dikembalikan fungsinya adalah perambahan.

Menurut Rudi, saat ini fokus penebangan sawit yang masuk kawasan lindung masih dilakukan di Kecamatan Tenggulun. Sementara untuk penebasan sawit seluas 800 hektar yang berada di Kecamatan Bandar Pusaka masih terkendala pendanaan.

Seharusnya, eksekusi telah dilakukan. Ini yang menyebabkan perambahan masih terjadi di wilayah hutan lindung dan sekitar Bandar Pusaka. Karena, masyarakat belum melihat aksi nyata sebagaimana yang telah dilakukan di Tenggulun. “Yang dibutuhkan saat ini adalah biaya operasional penebangan guna mempercepat pemusnahan sawit ilegal.”

Rudi Putra bersama tim melakukan patroli rutin guna mengatasi perambahan yang terjadi di wilayah hutan lindung dan sekitarnya. Foto: Rahmadi Rahmad
Rudi Putra bersama tim melakukan patroli rutin guna mengatasi perambahan yang terjadi di wilayah hutan lindung dan sekitarnya. Foto: Rahmadi Rahmad
Patroli tim FKL yang rutin dilakukan di wilayah hutan lindung Aceh Tamiang. Foto: Rahmadi Rahmad
Patroli tim FKL yang rutin dilakukan di wilayah hutan lindung Aceh Tamiang. Foto: Rahmadi Rahmad

Rudi tidak menampik bila ancaman para perambah bukan hanya datang dari masyarakat luar Aceh Tamiang, tetapi juga masyarakat lokal. Karena itu, perjanjian dengan masyarakat Bandar Pusaka agar tidak membuka hutan telah dilakukan. Prioritasnya adalah masyarakat di Desa Pengidam, Serkil, dan Bengklang yang memang tidak memiliki lahan atau orang miskin yang ingin berkebun. “Mereka akan diwajibkan menjaga tanamannya karena mereka sendiri yang akan memanen hasilnya, kelak. Jenis tanaman yang diperbolehkan nantinya adalah tanaman hutan dan buah seperti durian, manggis, jengkol yang dibarengi dengan pohon damar atau keruing.”

Hal penting yang jangan dilupakan menurut Rudi adalah kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang berpotensi merusak hulu DAS Tamiang yang merupakan Kawasan Ekosistem Leuser. “Rencana pembangunan jalan tembus Pinding – Lokop dan Pinding – Lesten – Aceh Tamiang dan rencana pembangunan dam Tampur 1 dan Tampur 2 di hulu DAS Tamiang pastinya akan menambah tekanan hutan Aceh Tamiang.”

Razuardi Ibrahim, Sekretaris Daerah Aceh Tamiang yang juga eks officio Ketua Koordinasi Penataan Ruang Daerah menjelaskan, persoalan perambahan memang harus segera diatasi. Mengingat, hutan lindung dan hutan keseluruhan di Aceh Tamiang harus dijaga. “Tamiang semakin rentan terhadap banjir, dikarenakan hutan di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Tamiang telah rusak. Saat ini, penebangan sawit ilegal yang masuk kawasan lindung telah dilakukan. Lahan seluas 10.71 hektar dari 3.000 hektar akan direstorasi dan dikembalikan fungsinya sebagai hutan alam.”

Terlepas dari ancaman kebun sawit dan perambahan, Tarmizi dari Tim Perburuan Satwa Liar FKL, menuturkan hasil monitoring divisinya selama 15 hari setiap bulan di wilayah Tenggulun, Tamiang Hulu, dan Bandar Pusaka yang menunjukkan aktivitas perburuan satwa masih terjadi. Terutama pada harimau, gajah, rangkong, landak, dan kambing hutan. “Paling sedikit, perbulannya ada 20 jerat yang harus kami lepaskan,” paparnya.

Jerat pemburu yang masih banyak ditemukan. Foto: FKL
Jerat pemburu yang masih banyak ditemukan. Foto: FKL
Tim Perburuan Satwa Liar, FKL, harus bekerja ekstra melepaskan jerat yang perbulannya mencapai 20 buah. Foto: FKL
Tim Perburuan Satwa Liar, FKL, harus bekerja ekstra melepaskan jerat yang perbulannya mencapai 20 buah. Foto: FKL
Babi hutan yang terkena jerat. Para pemburu biasanya masih mengincar harimau, gajah, juga landak. Foto: Rahmadi Rahmad
Babi hutan yang terkena jerat. Para pemburu biasanya mengincar harimau, gajah, juga landak. Foto: Rahmadi Rahmad
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,