, , , ,

Kisah Wak Yun, Si Penjaga Hutan Tangkahan

Kicau burung bersahut-sahutan. Gemuruh air sungai mengalir mengitari pinggiran rumah pria ini. Dia tersenyum menyaksikan canda tawa anak-anak desa yang mandi dan bermain di sungai nan jernih. Sesekali dia berteriak meminta anak-anak mengutip sampah di sekitar aliran sungai yang di kelilingi hutan lebat itu.  Usianya beranjak 60 tahun. Keseharian dia jalani dengan penuh semangat, menikmati keindahan alam, sambil menjaga lingkungan di Tangkahan, agar tak rusak.

Dialah Raniun, atau lebih dikenal dengan Wak Yun. Pria ini termasuk pelopor penyulap hutan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang sempat hancur kembali subur. Dia tinggal di Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Wak Yun, yang membuat nama Tangkahan. Pada 1997, saat dia pertama kali datang ke tempat eksotis ini, Tangkahan merupakan lokasi pengumpulan balok-balok kayu yang diambil dari TNGL oleh perambah. Berjumlah ratusan bahkan ribuan batang kayu ukuran besar, setiap saat dihanyutkan melalui aliran sungai.

Hari itu, pertengahan Juli 2015, saya berkunjung ke Tangkahan dan bertemu Wak Yun. Jam tangan menunjukkan pukul 6.30. Udara dingin. Tangkahan, seolah memanggil untuk bangkit dari tidur. Setelah menyeruput kopi panas, Wak Yun mengajak saya berkeliling sekitar hutan Tangkahan.

Tak sampai 60 meter dari tempat Wak Yun, terdengar gemericik air deras. Ternyata air terjun dari dalam hutan. Sesekali, beberapa berang-berang terlihat muncul, bergurau dan kembali masuk ke hutan.

Wak Yun diam sejenak kemudian mulai bercerita bagaimana lingkungan Tangkahan ini. Dulu, katanya, sungai jernih banyak ikan diracun, burung diburu, monyet hidup di hutan ditembak. Yang lebih mengerikan, katanya, suara mesin sinso saling bersahutan dibarengi pohon kayu tumbang. “Setiap hari, ribuan batang kayu menumpuk di Tangkahan. Ribuan hektar hutan hancur,” katanya mengenang.

Dia mengelus dada, menyaksikan hutan hancur dan lingkungan rusak. Timbul tekad di hati, menghentikan perusakan hutan dan mengembalikan seperti semula. Ada beberapa pemuda bersimpatik.

“Saya bersama beberapa anak muda yang punya niat baik memperbaiki Tangkahan ini, sering menghitung sendiri jangka waktu hutan habis. Ada Syaiful, dia bilang kalau begini terus, gak sampai 25 tahun habislah hutan Tangkahan ini Wak. Saya bilang, kita usahakan harus 50 tahun, ” kata Wak Yun.

Hutan Tangkahan nan lebat, dengan aliran sungai jernih. DUlu, sungai sempat rusak dengan penangkapan ikan menggunakan bom. Kini, tak lagi. Foto: Ayat S Karokaro
Hutan Tangkahan nan lebat, dengan aliran sungai jernih. Dulu, sungai sempat rusak dengan penangkapan ikan menggunakan racun. Kini, tak lagi. Foto: Ayat S Karokaro

Dia bercerita, dahulu kehidupan masyarakat di sekitar Tangkahan cukup keras. Hukum alam masih berlaku. Setiap orang yang menganggu atau melarang menebang kayu akan dibunuh, dilukai atau disiksa.

Namun dia memiliki cara sendiri menyadarkan para pembalak hutan. Caranya, bukan menggunakan penegak hukum atau  menghadang mereka menebang kayu. Itu sama saja dengan bunuh diri.

Cara cukup unik. Dia mendekatkan diri dan berbaur dengan warga sekitar hutan. Berbicara dan berdiskusi soal apa saja, tanpa menyinggung pekerjaan menebang hutan.

Menurut dia, kepedulian terhadap warga, ramah dan saling peduli, menjadi kunci membaurkan diri. Ketika ada musibah atau warga meninggal dunia, dia datang membantu. Baginya, ketika berbaur dan bisa duduk di warung kopi tanpa ditinggal pergi masyarakat penebang hutan, itu sudah menjadi nilai tambah.

“Kalau saya datang ke warung kopi dan duduk dengan mereka tetapi tidak ditinggal pergi, itu sudah hebat. Artinya, mereka menerima kita. Saat anaknya menangis dan minta jajan, kita belikan. Kalau ada yang berduka atau kemalangan kita duluan datang. Itu cara yang bagus.”

Melalui pendekatan-pendekatan emosional bersama sejumlah pemuda ini, perlahan mulai merangkul mereka. Jika sebelumnya cerita dan berdiskusi sama sekali tidak menyinggung hutan, perlahan doktrin menjaga kawasan diselipkan. Kemudian memberikan pandangan soal lingkungan. “Ini mujarab, tetapi dengan catatan harus diterima dahulu di lingkungan mereka. Cara-cara ini dianggap berhasil, tanpa konflik sama sekali. Setiap mereka kembali ke hutan dan melihat dia bersama beberapa pemuda desa, ada rasa malu. Dulu banyak meracun ikan di sungai kini sudah tidak lagi, juga tak lagi memburu burung.”

Wak Yun menawarkan kepada warga menjaga kawasan. Perlahan mereka sadar, dan menggantungkan sinso, serta beralih menjadi petani, ada juga berkebun. “Saya berniat merangkul mereka dan serius ingin menjadi saudara. Itu diterima. Mereka malu sendiri. Gak ada pakai melarang menebang, dan gak ada menghadang mereka. Setiap melihat saya, mereka malu sendiri.”

Wak Yun bersama warga desa di Tangkahan bertekad menjaga  kawasan hutan tetap ada dan tak menebang atau merusak karena itu  merugikan mereka sendiri. Foto:  Ayat S  Karokaro
Wak Yun bersama warga desa di Tangkahan bertekad menjaga kawasan hutan tetap ada dan tak menebang atau merusak karena itu merugikan mereka sendiri. Foto: Ayat S Karokaro

Menyadarkan warga berhasil, dan berhenti menebang tetapi masalah lebih besar datang. Kala hutan Tangkahan mulai subuh kembali, datanglah pejabat atau petinggi ke Tangkahan. Dengan harapan memberikan masukan lebih baik,  malah jadi neraka. Sebab, jika dulu hanya ada tiga hingga tujuh sinso saat pemegang kebijakan berkunjung ke Tangkahan, jumlah alat tebang kayu bertambah menjadi 30 unit. Mengerikan!

Namun, bermodal dukungan masyarakat yang sadar dan berhenti menebang hutan, dia terus berjuang. Kampanye menolak perusakan hutan terus dilakukan, hingga sejumlah negara memberikan dukungan menjaga pelestarian hutan di Tangkahan. Konsep wisata alam dibuat dan banyak diminati wisatawan asing. Ekonomi masyarakat tumbuh. Sinso yang sempat bertambah tidak lagi terdengar. Hutan Tangkahan kini kembali lebat.

Wak Yun, menjadi idola, dan seorang perempuan Inggris jatuh cinta. Mereka pun menikah, sambil terus kampanye menjaga pelestarian alam.

Wak Yun berharap, pemerintah menempatkan posisi jabatan seseorang sesuai bidang yang dikuasai. Jika itu, akan salah mengambil kebijakan, dan merugikan banyak orang termasuk bumi Indonesia.

“Saya berharap yang ngurusi hutan harus pendidikan di kehutanan jadi paham betul, dan tidak salah membuat kebijakan. Begitu juga yang lain.”

Wak Yun mengambil sampah. Dia  terus berupaya menjaga hutan  hingga saat ini. Itu menjadi contoh bagi masyarakat untuk melakukan  hal serupa agar kawasan Tangkahan tetap terjaga. Foto: Ayat S Karokaro
Wak Yun mengambil sampah. Dia terus berupaya menjaga hutan hingga saat ini. Itu menjadi contoh bagi masyarakat untuk melakukan hal serupa agar kawasan Tangkahan tetap terjaga. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,