Dulu, Desa Tadangpalie, hanyalah salah satu dari puluhan desa tertinggal di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Sebagaimana desa pesisir lainnya, tak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan warganya selain sebagai nelayan subsisten untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, lima tahun silam, desa yang berjarak 30 km sebelah barat ibukota Kabupaten Pinrang ini mulai menggeliat. Dengan garis pantai yang panjang dan landai, menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang menikmati pemandangan laut yang indah di sore hari, dan makanan olahan hasil laut.
Kini setiap hari libur, desa ini ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah di Sulsel. Seperti pada Minggu (19/07/2015) atau dua hari setelah lebaran, jumlah pengunjung mencapai ribuan orang dan sempat terjadi kemacetan yang cukup parah.
Sepanjang hari, mobil dan motor berdatangan silih berganti. Ratusan orang bahkan memilih berjalan kaki sekitar dua kilometer dari tempat parkir ke pantai. Terlihat pula, beberapa mobil truk besar berdatangan membawa puluhan pengunjung, yang sebagian besar adalah anak-anak.
Kondisi desa wisata ini, yang pantainya kemudian dinamakan Pantai Dewata (Desa Wakka Tadangpalie), jauh dari perkiraan saya. Bukan hanya pengunjung yang membludak, ratusan warga berjejer di sepanjang jalan menjajakan berbagai macam jenis ikan yang masih segar. Warung makanan juga bertebaran di setiap sudut, sehingga tempat ini terlihat lebih mirip pasar dibanding tempat wisata bahari.
Adalah Jabir, Kepala Desa Tadangpalie ketika itu, yang mulai pertama kali mengenalkan desanya, tepatnya Dusun Wakka, kepada dunia luar, sekitar tujuh tahun lalu, meski dilakukan tidak sengaja.
Rosna, salah seorang anak Jabir, bercerita, ketika ayahnya masih hidup dan berkuasa di desa itu, ia membangun sebuah gazebo kecil di sekitar pantai, yang digunakan menjamu tamu penting dari kecamatan atau kabupaten.
“Dulu hanya satu tempat saja dibangun sekedar menjamu tamu dari kota. Lalu ternyata mulai banyak yang datang setiap akhir pekan untuk makan ikan bakar. Sekarang malah susah dapat tempat kalau tidak pesan jauh-jauh hari,” ungkap Rosna.
Rosna sendiri kini bertindak sebagai ‘makelar’ tempat, apalagi di waktu-waktu pengunjung sangat ramai. Sebagai anak mantan kepala desa yang berjasa membangun tempat itu, Rosna cukup dikenal dan disegani oleh pedagang-pedagang setempat.
“Mungkin ini semacam balas budi karena mereka melihat bapak saya yang berjasa membangun tempat ini,” katanya.
Peran Rosna cukup vital, karena meski ada seratusan gazebo di tempat itu, di waktu sibuk sangat sulit bagi pengunjung untuk mendapatkan tempat, dan kadang harus menunggu antrian hingga berjam-jam.
Desa Miskin
Kondisi Desa Tadangpalie ini, menurut Rosna, sangat jauh dari kondisi sebelum dikenal sebagai tujuan wisata. Sebagai nelayan tangkap dengan peralatan yang sederhana tak banyak yang bisa diharap untuk mengangkat derajat warga dari kemiskinan.
“Dulu, setiap ada bantuan dari daerah pasti desa kami yang didahulukan karena memang sangat miskin.”
Sebagian warga malah dulunya banyak yang keluar kampung untuk bekerja sebagai buruh kasar. Tak banyak yang memilih menetap secara permanen karena kondisi desa yang sangat miskin.
Ketika industri wisata mulai menggeliat, perlahan warga sekitar mulai kembali melirik desanya. Mereka pun mulai membangun gazebo-gazebo kecil, berjejer dengan gazebo lama. Sekarang ada sekitar seratusan gazebo milik 20 orang warga setempat.
Menurut Rosna, sejak berkembangnya lokasi wisata tersebut, kesejahteraan warga mulai meningkat. Aktivitas nelayan pun mulai meningkat karena permintaan ikan yang meningkat pesat. Perahu-perahu nelayan juga sudah lebih baik dan lebih besar dibanding sebelumnya.
Dulu hasil tangkapan tidak habis dijual di pasar, sekarang justru nelayan tidak sanggup memenuhi permintaan ikan untuk kebutuhan lokasi wisata tersebut.
“Kalau mengandalkan hasil tangkapan nelayan di sini saja sudah tak cukup pak. Kini harus beli dari luar, itupun kurang kalau musim lagi buruk,” jelas Rosna.
Sekarang warga ekonominya membaik dengan usaha warung, pajak retribusi Rp2000 per pengunjung, serta biaya parkir kendaraan, Rp5000 per mobil dan Rp2000 per motor.
“Hasil pendapatan dari pengunjung itu dikelola desa untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas pelayanan di desa.”
Rosna menghitung secara kasar penghasilan kotor yang diperoleh pemilik gazebo per hari, di hari libur, lebih dari Rp12 juta dari menjual sekitar 30 keranjang ikan, dengan harga Rp400.000 per keranjang.
“Untuk tenaga kerja biasanya digaji Rp20 ribu per keranjang, untuk yang mengolah dan membakar ikan, dan mengolah nasi.”
Sekilas, Pantai Dewata ini sebenarnya tidak memiliki daya tarik sama sekali. Selain garis pantai yang panjang, tak banyak keindahan yang ditawarkan. Pantainya pun cenderung berlumpur, sehingga airnya berwarna kecoklatan.
Ramli, pengunjung dari Kabupaten Sidrap, datang bersama belasan anggota keluarganya.“Di sini kan ada fasilitas bakar ikan. Kita bisa kumpul-kumpul dengan keluarga dari jauh. Apalagi ini habis lebaran,” katanya.
gazebo menjadi tempat bersantai menikmati sajian ikan bakar merupakan andalan wisata di Pantai Dewata. Dengan membayar Rp400.000, pengunjung bersantai di gazebo, ditemani sekeranjang ikan bakar, sebakul nasi dan sambel.
Sedangkan Murni, datang dengan suami dan empat anaknya untuk rekreasi keluarga setelah bulan puasa. Apalagi di Pantai Dewata kini dilengkapi fasiltas bermain anak-anak dan wisata keliling pantai dengan perahu, serta banana boat.
“Sudah dua tahun setelah lebaran pasti ke sini, apalagi sekarang mulai ramai dan banyak fasilitas bermain,” tambahnya.
Perahu wisata keliling pantai juga cukup diminati, dengan hanya membayar Rp10.000 per orang, pengunjung akan diajak keliling pantai.
Pengembangan pantai
Staf humas Pemda Pinrang, Herman membenarkan rencana pengembangan Pantai Dewata sejak beberapa tahun lalu dan kini menunggu penganggarannya dari Dinas Pariwisata.
“Lokasi wisata ini sudah dikelola Dinas Parwisata. Sudah ada beberapa fasilitas yang dibangun dan akan dikembangkan secara lebih luas dan profesional,” katanya.
Sayangnya, meski menjadi primadona wisata bahari, namun tak banyak fasilitas pendukung di Pantai Dewata. Tidak ada petugas yang berjaga di sekitar pantai. Padahal sebagian besar pengunjung yang bermain di pantai adalah anak kecil berusia 3-7 tahun. Dan tak ada upaya membersihkan sampah di sekitar pantai.
Akses jalan menuju pantai juga sempit sehingga sudah dilalui mobil yang berpapasan. Hal ini menyebabkan kemacetan ketika terjadi lonjakan pengunjung.
“Seharusnya pemerintah kini lebih memperhatikan pelebaran jalan karena setiap hari libur pasti tempat ini sangat ramai. Kalau seperti ini kondisinya malah tak nyaman dan kita harus berjalan kaki jauh di tengah terik panas matahari,” keluh Rizal, pengunjung lain.
Dengan daya tarik wisata ini, Desa Tadangpalie kini berkembang pesat. Banyak warga kini sudah memiliki kendaraan sendiri dan rumah permanen menggantikan rumah reyot khas desa tertinggal.