,

Lelaki ini Membuat Istana Gurita guna Melindungi Gurita Karang

Gurita karang (Octovus cyaneus) merupakan fauna yang belum dilindungi dan belum ada aturan penangkapannya. Namun, aktivitas penangkapan gurita karang secara ekspoitatif yang dilakukan nelayan telah menimbulkan kekhawatiran Sapto Mugiyanto, lelaki yang bekerja di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kaur, Bengkulu.

Didukung istrinya, Desyi Hadriani, yang juga bekerja di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kaur, Sapto berinisiatif membuat rumpon yang diberi nama Istana Gurita D’SI (Dasar Samudera Indonesia). Secara swadaya, ia pun membangun kesepakatan bersama para nelayan.

“Inisiatif membuat Istana Gurita D’SI muncul karena aktivitas penangkapan gurita semakin meningkat,” kata Sapto kepada Mongabay Indonesia belum lama ini. Hasil survei yang dilakukan Sapto menunjukkan, sedikitnya tiga ton gurita karang ditangkap setiap bulannya. Sebelumnya, hanya berkisar 500 kg.

Peningkatan ini dipicu karena bertambahnya pengunjung yang melintasi Kaur untuk membeli Ka’ite Ke’ing (gurita kering), makanan khas Kabupaten Kaur sebagai oleh-oleh. Apalagi, hampir semua rumah makan di Kaur telah menjadikan sate gurita sebagai kuliner unggulan, ditambah sejumlah masyarakat yang mulai membuat keripik gurita karang.

Keprihatian Sapto muncul karena penangkapan gurita karang yang dilakukan nelayan selama ini, tergolong merusak lingkungan hidup. Menggunakan tombak, penangkapan dilakukan dengan cara membongkar dan merusak terumbu karang yang menjadi tempat bersembunyi dan berkembangbiak gurita karang.

Akibatnya, hampir sebagian besar terumbu karang di wilayah pesisir Kabupaten Kaur mengalami kerusakan. “Tidak bisa dibiarkan, harus ada perubahan cara berpikir nelayan. Kalau begini terus, akan semakin banyak terumbu karang yang dirusak,” tambah Sapto.

Menurut Sapto, gurita karang merupakan hewan yang sangat sensitif, mudah stres dan merasa terancam dengan sinar. Sehingga, memerlukan tempat yang gelap, yakni lubang atau semacam goa pada terumbu karang sebagai tempat persembunyiannya maupun untuk berketurunan.

Istana Gurita D’SI berbahan baku semen, pasir, dan kawat, yang menyerupai kubah itu diberi lubang di bagian atas. Tahap awal, sembilan buah Istana Gurita D’SI berdiameter 60 – 80 cm dengan lubang berdiameter 5 – 10 cm telah dibuat. “Doakan saja berhasil. Bila sukses, tentu pembuatannya akan diperbanyak,” ujar Sapto.

Varian mata pancing gurita hasil kreasi nelayan Kaur. Foto: Dok Sapto Mugiyanto
Varian mata pancing gurita hasil kreasi nelayan Kaur. Foto: Dok. Sapto Mugiyanto

Bangun kearifan lokal

Inisiatif pembuatan Istana Gurita D’SI, sambung Sapto, bernilai keberlanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, dan budaya. Dari aspek ekologi bertujuan mengurangi dan memperbaiki kerusakan terumbu karang. Aspek ekonomi guna menopang usaha perekonomian rakyat yang menjual kuliner berbahan baku gurita karang. Sementara dari aspek budaya untuk menjaga keberlanjutan pembuatan kuliner Kai’te Ke’ing sebagai bagian budaya masyarakat Kabupaten Kaur. “Selain membuat istana gurita, saya juga mendorong nelayan agar tidak lagi menggunakan tombak, tetapi pancing,” kata Sapto.

Sejalan dengan inisiatif pembuatan Istana Gurita D’SI, Sapto juga membangun kesepakatan bersama masyarakat nelayan. Kesepakatan tersebut ditandatandangi bersama Kelompok Usaha Bersama (KUB) Camar Laut Pasar Lama, KUB Tapak Tuan Pasar Lama, KUB Camar Laut Benteng Hararapan, Koperasi Nelayan Sumber Rezeki Benteng Harapan, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Kaur, Pemerintah Desa Linau dan sejumlah nelayan.

Tujuh poin kesepakatan:

1. Usaha penangkapan ikan harus menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

2. Nelayan atau pemancing (bukan nelayan) yang mendapat ikan berukuran kurang dari 100 gram wajib untuk melepas kembali ke perairan.

3. Pemasangan rumpon dasar ataupun rumpon lainnya sebagai alat bantu pengumpul ikan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.

4. Nelayan wajib menyisihkan sebagian keuntungan untuk pengembangan rumpon dasar atau rumpon lainnya  melalui kelompok nelayan atau KUB.

5. Nelayan atau pemancing yang merusak rumpon terpasang wajib menggantinya.

6. Nelayan atau pemancing yang menemukan sesuatu yang berkaitan dengan rumpon agar mengembalikannya kepada kelompok pengelola rumpon tersebut.

7. Apabila ada nelayan atau pemancing melanggar kesepakatan, akan dikenakan denda yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan, dan denda tersebut akan dipergunakan untuk pengembangan rumpon.

Menurut Sapto, membuat kesepahaman memang perlu dilakukan. “Bagi saya, membangun kesepakatan bersama nelayan merupakan upaya membangun kearifan lokal.” 

Yusnaini (46), warga Desa, Linau Kecamatan Maje, Kaur yang merupakan perajin sekaligus penjual gurita kering sejak tahun 2000 tidak menampik penjualan gurita kering mengalami peningkatan. Khususnya, pada musim libur seperti lebaran. Bila hari biasa rata-rata penjualan 2-5 ekor, saat libur mencapai 50 ekor per hari. “Saya berharap pemasangan Istana Gurita D’SI berhasil, sehingga keberadaan gurita dan terumbu karang tetap terjaga,” paparnya.

Gurita kering yang penjualannya mengalami peningkatan. Aturan penangkapan dan perlindungan harus dilakukan agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Foto: Dedek Hendry
Gurita kering penjualannya mengalami peningkatan. Aturan penangkapan dan perlindungan harus dilakukan agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Foto: Dedek Hendry
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,