,

Pelaku Usaha Kayu Belum Maksimal Terapkan SVLK. Apa Kendalanya?

Pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) belum bisa dijalankan secara optimal oleh pelaku usaha perkayuan di Indonesia. Mahalnya biaya pengurusan sertifikasi dan kurangnya sosialisasi membuat pelaku usaha terutama kelas menengah ke bawah merasa belum perlu menerapkan SVLK.

Bambang Mardi Priyono, Foresty Specialis Hadfield Indonesia, lembaga konsultan yang ditunjuk menyusun Desain Monitoring Dampak Implementasi SVLK, menuturkan pemantauan dampak implementasi SVLK dilakukan untuk mengetahui dampak negatif dan positif pelaksanaan SVLK sejak 2009 lalu.

Monitoring ini terkait kesiapan pelaku usaha perkayuan di Indonesia yang hendak mengekspor hasil kayunya demi memenuhi permintaan pasar dunia. Masih banyaknya industri kecil menengah yang belum memenuhi persyaratan SVLK menjadi alasan pemantauan ini dilakukan. “Ada beberapa pihak yang menyatakan implementasi SVLK justru menambah biaya dan persoalan. Kalau ini benar harus dicarikan solusinya,” ujar Bambang di Surabaya, Selasa (4/8/15).

Selama ini, pelaku usaha perkayuan, menganggap SVLK belum menjadi syarat ekspor kayu ke Eropa. “Padahal, masyarakat Eropa memberi tekanan tinggi pada pemerintahnya agar hanya menerima kayu yang legal saja. Ini harus diperhatikan pengusaha kita,” lanjut Bambang.

Kepala Bidang Bina Produksi Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Maryono menegaskan, kebutuhan pengusaha kayu akan SVLK merupakan tuntutan pasar yang ditunjang peraturan pemerintah.

Maryono mengakui, selama ini baru industri besar yang memiliki akses untuk memperoleh sertifikasi SVLK bagi usahanya secara mudah. Sementara industri kecil menengah maupun kelompok dan perorangan masih terbatas. “Pemerintah provinsi mendukung dengan dana pancingan untuk mengurus sertifikasi dan kami juga melakukan sosialisasi.”

Ekspor kayu dari Jawa Timur ke Eropa dan Amerika, menurut Maryono, tergolong besar karena potensi kayu dan desain produknya disukai pasar luar negeri. “Kedepannya kami berharap tidak ada lagi kayu ilegal yang dipakai untuk usaha,” paparnya.

Kayu jati gelondongan yang berada di tempat pemotongan kayu di Bantul, Yogyakarta. Foto: Petrus Riski
Kayu jati gelondongan yang berada di tempat pemotongan kayu di Bantul, Yogyakarta. Foto: Petrus Riski

Minimnya implementasi SVLK di Jawa Timur diakui Muhammad Ichwan, aktivis lingkungan dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan. Hasil monitoring yang dilakukannya dalam sebulan terakhir, menunjukkan adanya kayu log asal luar Jawa yang tidak memiliki V-Legal seperti yang disyaratkan dalam SVLK.

“Peredaran kayu log antar pulau harusnya ada pembukuan, di-barcode, atau harus ada dokumen V-Legal yang menyertai. Pantau selama 10 yang kami lakukan di pelabuhan Gresik, Surabaya, tidak ada satu pun kayu log yang dibubuhkan V-Legal atau barcode V-Legal. Artinya belum tentu kayu-kayu yang masuk ke Surabaya itu legal,” kata Ichwan.

Selain belum adanya tanda V-Legal, menurut Ichwan, banyak industri kehutanan baik primer, lanjutan, maupun industri kecil dan besar terindikasi melakukan pelanggaran dengan titip bendera ekspor. “Ini tidak boleh dilakukan. Kami beberapa kali menemukan pelanggaran berkaitan dengan persyaratan SVLK,” imbuhnya.

Ichwan menilai SVLK merupakan sistem yang sangat membantu dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dengan mencegah perusahaan menebang jayu hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan SVLK. “Sistemnya sudah bagus, hanya pelaksanaannya yang mesti dikawal.”

Pentingnya memiliki SVLK sebagai garansi produk kayu diterima di pasar Eropa diakui Rumekso Setyadi, Pemilik Usaha Mebel Kayu Jati Enclave Craft, Bantul, Yogyakarta. Menurutnya, keberadaan SVLK sudah menjadi syarat mutlak pasar mebel dunia, demi memastikan kayu yang dipakai itu legal.

“Kalau ada purchasing order dari buyer Eropa, mereka selalu mencantumkan wood declaration. Berdasarkan regulasi, setiap barang yang ada kayunya harus menggunakan SVLK, ini alasan mengapa kami mengurus SVLK,” tuturnya.

Menurut Rumekso, keuntungannya yang diperoleh dari sistem ini diantaranya adalah manajemen bahan baku lebih tertib dan sistematis, serta barang yang dijual mempunya nilai lebih karena kayu yang digunakan legal dan bersertifikat. “Ini merupakan salah satu pertimbangan buyer, karena SVLK biasanya selalu ditanyakan,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,