Sebanyak 60 dokter hewan di pusat rehabilitasi dan konservasi orangutan dalam dan luar negeri mengikuti pertemuan Orangutan Veterinary Advisory Group (OVAG) di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Selasa, (4/8/15). Pertemuan dari 1-6 Agustus ini diikuti dokter hewan dari berbagai negara seperti Inggris, Republik Ceko, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru dan Malaysia. Pertemuan dokter hewan yang bekerja di konservasi orangutan memang setiap tahun di UGM.
Wisnu Nurcahyo, Dosen Parasitologi FKH UGM sekaligus penggagas acara mengatakan, pertemuan ini diikuti 40 dokter hewan di pusat rehabilitasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan. Sisanya 20 dokter hewan asing. Mereka membahas persoalan dan perkembangan konservasi serta rehabilitasi maupun berbagai penanggulangan medik orangutan.
Pada pertemuan ini mengemuka berbagai persoalan di lapangan salah satu penyakit yang banyak diderita orangutan yang menyebabkan kematian. “Sekitar 60-70% penyakit orangutan dari parasit,” kata Wisnu, juga peneliti penyakit parasit orangutan.
Penyakit parasit seperti malaria, protozoaBalantidium coli, filariasis, scabies, dan strongilodiasis. Dari beberapa penyakit itu, malaria dulu tidak pernah ditemui pada orangutan, sekarang lebih banyak. Adapun Balantidium coli adalah sejenis protozoa mematikan yang bisa menular pada manusia melalui kotoran.
Indonesia, katanya, termasuk negara kaya primata. Dari 195 jenis di dunia, 37 hidup di sini. Sekitar 20 jenis, primata endemik Indonesia, salah satu orangutan yang hanya ada di Sumatera dan Kalimantan.
Orangutan makin terancam alam, perkiraan populasi sekitar 20.000 tahun 2006. “Degradasi dan habitat hilang ancaman paling besar orangutan, walaupun perburuan untuk dimakan dan perdagangan liar juga masalah sangat besar,” katanya.
Banyak sekali ancaman orangutan, terutamakehilangan betina dewasa karena perburuan. Di Taiwan, tercatat 283 orangutan tertangkap, beberapa wakyu lalu 53 orangutan diselundupkan ke Thailand sebagai hiburan.
Penurunan populasi, kata Wisnu, juga disebabkan penyakit. Orangutan mudah terserang penyakit yang sama dengan manusia, hingga beberapa penyakit infeksi manusia dapat diderita orangutan. Penyakit menular yang biasa diderita orangutan tuberkulosis, hepatitis, scabies, typhoid, infeksi saluran usus karena protozoa, bakteri, virus, sampai infeksi saluran pernafasan.
“Penyakit-penyakit ini sering menyerang orangutan, apalagi yang lama dipelihara atau kontak dengan manusia. Apabila dilepas ke areal mereka berinteraksi akan menyebar ke orangutan yang lain.”
Rehabilitasi orangutan, merupakan alat konservasi di Indonesia dan Malaysia. Di sini, satwa yang ditangkap diberi perawatan khusus, dilatih atau diberi pengamanan khusus supaya bertahan hidup saat dilepas lair. Orangutan banyak disita antara lain, bayi-bayi orangutan, dalam keadaan sakit, cacat atau luka-luka. Sitaan ini dibawa ke pusat rehabilitasi.
“Ancaman kelestarian orangutan yang demikian banyak masih diperparah kondisi ekonomi masyarakat memprihatinkan hingga memaksa mereka berburu satwa. Perlu peran serta masyarakat dalam perlindungan dan penyelamatan orangutan.”
Citra Kasih, anggota pusat rehabilitasi orangutan dari Yayasan Jejak Pulang di Kalimantan Timur mengatakan, persoalan pusat rehabilitasi orangutan adalah makin sedikit habitat orangutan. Orangutan yang diselamatkan pusat rehabilitasi mengalami hambatan mencari habitat saat akan dilepas. Pasalnya, lokasi habitat lama mengalami kerusakan karena laju kerusakan hutan untuk perkebunan, pertambangan maupun kebakaran. “Banyak orangutan layak lepas bertahan di pusat rehabilitasi,” katanya.
Menurut dia, laju kerusakan hutan di Sumatera dan Kalimantan seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah guna mempertahankan habitat layak orangutan. “Perlu regulasi kuat mendukung habitat orangutan tidak mengalami penurunan.”