,

Leluhur Kita Telah Ajarkan Makanan Sehat dan Ramah Lingkungan. Kenapa Kita Melupakannya?

Leluhur kita telah mengajarkan sejumlah tanaman yang dapat dijadikan sumber makanan sehat, tidak merusak lingkungan, dan untuk kebutuhan sandang. Misalnya kelapa, aren, sagu, pinang, dan bambu, sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Talang Tuo.

Nurhadi Rangkuti, arkeolog dan juga Kepala Balai Arkeologi Palembang, Sumatera Selatan, menjelaskan berdasarkan penemuan arkeologi di Sumatera Selatan, baik dari alat makan, memasak, dan sisa makanan, ternyata para leluhur kita lebih banyak mengonsumsi tumbuhan ketimbang daging. “Non-tumbuhan yang paling banyak dikonsumsi adalah hasil laut dan sungai atau rawa, seperti ikan dan kerang,” kata Nurhadi, Sabtu (08/08/2015).

Pindang ikan bersama lalapannya, merupakan contoh kuliner yang memenuhi unsur penting bagi kesehatan manusia. Selain mengandung protein, vitamin, juga menjadi antioksidan yang baik untuk mencegah berbagai penyakit mematikan, seperti kanker.

Tumbuhan atau rempah-rempah yang digunakan untuk memasak pindang ikan juga mengandung antioksidan yang tinggi, seperti kunyit kuning, serai, laos, serta buahan yang mengandung rasa asam seperti cung (tomat kecil), asam pedado (buah pohon bakau), dan asam kandis.

Kunyit, misalnya, merupakan tanaman yang mengandung senyawa berkhasiat obat, seperti kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat bermanfaat lainnya. Tak heran kunyit dinilai mengandung antioksidan dan antiperadangan, serta memperlambat penyebaran dan pertumbuhan tumor.

Sebagian senyawa berkhasiat obat juga terkandung pada serai, laos, serta buahan yang menghasilkan rasa asam.

Bambu, selain rebungnya dapat dijadikanan makanan, dapat pula digunakan sebagai bahan anyaman dan untuk keperluan bangunan rumah. Foto: Rhett Butler

Lalapan saat mengonsumsi pindang ikan itu juga merupakan buahan atau tanaman yang banyak mengandung zat bagi kesehatan, seperti meningkatkan kekebalan tubuh maupun pembasmi berbagai penyakit mematikan seperti kanker. Misalnya jengkol, petai, serta daunan lainnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Institute Of Health Sciences, 819 Sweden Riset Biosains L.L.C Cause Street, jengkol merupakan buah yang dapat membunuh sel kanker dan disinyalir 10.000 lebih kuat dari kemoterapi.

Di Sumatera Selatan, bagi perempuan yang berkeluarga, yang usianya di atas 40-an, disarankan untuk mengonsumsi jengkol. “Kata para wong tuo (orang tua) guna mencegah penuaan, penyakit terkait dengan perempuan, dan awet muda,” kata Halimah, seorang warga di Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Buahan yang dikonsumsi masyarakat Sumatera Selatan sejak dahulu juga berkhasiat sebagai obat, selain rasanya enak, dan mengandung banyak vitamin. Misalnya buah manggis, durian, rambutan, nangka, dan kemang.

Buah kemang yang kini mulai sulit dicari. Sumber: Wikipedia

Kuliner arif lingkungan

Kuliner yang dikembangkan para leluhur tersebut, selain berguna bagi kesehatan manusia, juga sangat arif dengan lingkungan hidup.

“Semua sumber makanan tersebut sama sekali tidak merusak lingkungan hidup. Semua yang diambil merupakan hasil alam, sehinga tidak melakukan perusakan terhadap hutan, sungai, rawa, danau, maupun laut,” kata Saudi Berlian, peneliti sejarah dan budaya di Palembang, Sabtu (08/08/15).

Bahkan, sebelum hadirnya padi, sebenarnya bahan makanan pokok di Sumatera Selatan atau wilayah lain di Nusantara, dapat tumbuh liar tanpa perlu dilakukan kapitalisasi seperti padi, ubi kayu, dan gandum. Umbi-umbian diambil dari yang tumbuh di sekitar hutan, begitupun sagu yang tumbuh di sela tanaman lain.

“Artinya tidak ada kapitalisasi bahan makanan, seperti sapi, domba, yang banyak mengonsumsi banyak tumbuhan dan membutuhkan air, sehingga menciptakan padang rumput dan mengancam keberadaan air,” katanya.

Leluhur kita juga mampu mengolah produksi pangan yang melimpah. Misalnya ikan. Selain dijadikan ikan asin, ikan asap, juga difermentasi sehingga dapat digunakan saat kebutuhan pangan berkurang atau habis. Contohnya pekasem. Yakni ikan yang difermentasi bersama beras.

Durian, jika panen berlebihan, masyarakat Sumatera Selatan membuatnya menjadi tempoyak atau dodol yang disebut lempok. Foto: Taufik Wijaya
Durian, jika panen berlebihan, masyarakat Sumatera Selatan membuatnya menjadi tempoyak atau dodol yang disebut lempok. Foto: Taufik Wijaya

Melampaui barat

Jika dilihat dari bahan makanan yang ditradisikan atau diciptakan, kata Saudi, sebenarnya ilmu pengetahuan kesehatan yang dimiliki para leluhur kita di masa lalu telah melampaui apa yang tengah dikembangkan ilmuwan di Barat saat ini.

“Kita terkejut, setelah kita disesatkan selama puluhan tahun oleh berbagai jenis kuliner yang tidak sehat. Saat kita lupa, mereka menemukan kehebatan tanaman atau buahan yang diajarkan para leluhur untuk dikonsumsi, dan kita pun menjadi terkejut,” kata Saudi.

Selain kehadiran kuliner luar atau jenis makanan baru yang tidak sehat, kerusakan lingkungan merupakan pendorong utama kian hilangnya kuliner khas Indonesia. “Banyak hutan, sungai, rawa yang rusak. Akibatnya bahan baku kuliner kita menjadi hilang atau langka,” ujarnya.

“Ironinya, negara-negara luar memproduksinya sebagai obatan herbal, dan kita mengonsumsinya dengan harga yang cukup mahal,” tambahnya.

Dr. Tarech Rasyid, pengamat sosial dan lingkungan dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang, menilai pengembangan perkebunan selain merusak hutan, juga menggeser kesadaran para petani, dari yang semula hidup dari sayuran dan buahan, berubah berkebun karet dan sawit. “Pasokan sayuran dan buahan berkurang. Sementara yang masih bertahan, guna meningkatkan produksi terpaksa menggunakan pupuk buatan dan berbagai racun, sehingga hasil sayuran dan buahan tidak menjadi sehat lagi,” ujarnya.

JJ Polong, akademisi dari Universitas Sriwijaya dan aktivis pertanian, mendorong keberadaan pangan yang sehat, yang sesuai dengan kebutuhan kuliner khas Indonesia yang sehat, diperlukan satu gerakan bersama masyarakat untuk membangun rumah pangan.

Misalnya setiap rumah, dapat menanam sejumlah sayuran, buahan atau rempah-rempahan. “Banyak cara dilakukan agar tanaman ini tumbuh dan menghasilkan yang tidak menggunakan lahan yang besar,” jelas Polong.

Kunyit putih, jahe, maupun tanaman rempahan lainnya bisa ditanam di halaman rumah. Foto: Taufik Wijaya
Kunyit putih, jahe, maupun tanaman rempahan lainnya bisa ditanam di halaman rumah. Foto: Taufik Wijaya
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,