,

Sengketa Lahan, Warga Ringinrejo Adukan Holcim ke Swiss

Warga bersama Elsam, organisasi masyarakat sipil yang selama ini mendampingi warga Ringinrejo, Wates, Blitar, Jawa Timur, pengambilalihan lahan oleh PT Holcim Indonesia ke National Contract Point (NCP) di Swiss

“Kami laporkan ke NCP di Swiss. Pengaduan sudah diterima, dan akan diadakan pertemuan antara Holcim pusat dan masyarakat Blitar,” kata Andi Muttaqien dari Elsam,  kepada Mongabay.

Pengaduan ini, katanya, memang disediakan OECD Guidelines for Mulltinational Enterprises. Ia berupa panduan wajib dari negara anggota OECD di manapun mereka beroperasi.

Kronologisnya, lahan sekitar 724,23 hektar dikelola 826 keluarga ditanami jagung, ketela dan semangka di Desa Ringinrejo, Blitar. Ia sumber penghidupan warga selama 19 tahun, kini terancam digusur. Sejak 2013, lahan itu ditetapkan Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hutan.

Tanpa sepengetahuan warga, lahan ini dibeli Holcim dan menjadi hutan–lahan pengganti karena Holcim menggunakan hutan di Tuban untuk penambangan dan semen.

Penetapan lahan warga menjadi hutan ini, katanya, dengan cara-cara manipulatif. Holcim tak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 19 tahun. Bahkan tawaran ganti rugi atau kompensasi kepada pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo, yang mengalami dampak langsung penunjukan kawasan hutan itu.

“Lahan kompensasi Holcim di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan, karena syarat lahan pengganti wajib clear and clean secara de facto dan de jure,” kata Andi.

Dalam aturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 soal Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan menyebutkan, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure).

“Fakta, terdapat sekitar 826 keluarga menggarap lahan di sana.”

Demi memenuhi persyaratan clear and clean lahan, Holcim negosiasi atau musyawarah dengan penggarap yang bukan dari Desa Ringinrejo– wilayah terdekat dengan lahan. “Perusahaan musyawarah dengan warga yang tidak mewakili. Kesepakatan bersama dibuat tidak transparan.”

Tak ikut campur

Sementara itu, Kepala Bagian Pemerintahan Blitar Hendro Winarso mengatakan, sengketa lahan antara Holcim dan petani Desa Ringinrejo, sudah berlangsung lama. Kedua pihak memperebutkan lahan 724,23 hektar garapan petani. “Lahan yang diperebutkan itu memang milik Holcim,” katanya, April 2015 seperti dikutip dari Tempo.co.

Meski Hendro tak mengetahui pasti dokumen kepemilikan Holcim, dia memastikan lahan itu bukan milik petani ataupun negara. Sengketa itu, berawal saat petani didampingi sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri atas kepemilikan lahan Holcim.

Warga yang bercocok tanam sejak dulu menganggap tanah milik negara dan bisa dimiliki petani melalui program redistribusi tanah. Karena tak cukup bukti, pengadilan menolak gugatan dan tetap memberikan hak penguasaan kepada Holcim. Putusan sama diambil hakim PN Jawa Timur yang menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Karena tidak puas, warga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

“Sengketa ini hanya melibatkan warga dan Holcim selaku pemilik lahan. Pemerintah tak bisa ikut campur dan hanya menjadi mediasi sebelum terbit keputusan hukum tetap. Pemerintah tidak berusaha mengambil langkah apa pun saat konflik meruncing.”

Warga Desa Ringinrejo yang hadir di persidangan, berkumpul usai putusan. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,