,

Beginilah Semangat Perempuan Lampoko Sulsel Menjaga Pantainya

Sinar matahari bersinar terik pada pukul 14.00 pada Minggu (02/08/2015). Namun Pantai Lampoko, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, mendadak ramai. Puluhan warga Desa Lampoko, berbondong-bondong ke tepian pantai.

Mereka datang bukan untuk berlibur, tetapi akan melakukan penanaman mangrove. Warga yang sebagian besar adalah perempuan, tanpa lelah mulai menggaris hamparan pantai yang sedang surut, menggambar petakan, sebelum akhirnya menanam bibit mangrove berjarak dua meter setiap tanaman di tempat itu.

Meski berusia separuh baya, Rusnawati, termasuk yang paling bersemangat. Ketika bibit di tangannya habis, ia mengambil lagi puluhan bibit, dan mulai menanam dengan saling bercanda dengan temannya. Sesekali ia minta difoto dengan berbagai gaya sambil memegang bibit mangrove. “Bisa difoto untuk disimpan di rumah,” kelakarnya.

Ia mencari lokasi lain yang kosong, ketika petak yang telah digarisi telah ditanami bibit mangrove. Belasan anak membantu mengangkut karung berisi bibit, selain antusias ikut menanam. Kaki seorang anak bahkan luka berdarah, tak sengaja menginjak kulit kerang yang tajam.

Pantai Lampoko memang terdegradasi parah. Sekitar 20 hektar pesisir pantai rusak tanpa mangrove. Sedikit tersisa tegakan mangrove berumur tua.

Inisiator penanaman, Tua Hasiholan Hutabarat, Program Officer Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam mengatakan mangrove itu hilang karena faktor alam yaitu angin kencang yang memicu ombak besar, khususnya di musim barat.

“Semua tempat punya masalah yang berbeda-beda. Kalau di Lampoko ini memang banyak karena faktor angin dan ombak yang tinggi,” katanya.

Tetapi pembangunan tanggul yang tidak mempertimbangkan kondisi pantai menyebabkan ombak besar yang merusak mangrove.  “Tanggul-tanggul pemecah ombak itulah yang mengalihkan kekuatan ombak ke kawasan-kawasan tertentu. Menghancurkan mangrove di tempat itu. Makanya pembuatan tanggul harus mempertimbangkan kondisi pantai, jangan sampai malah menyebabkan pergeseran arus di tempat lain,” katanya.

Meski telah berusia lanjut Rusnawati, perempuan dari Desa Lampoko, Balusu, Kabupaten Barru, Sulsel termasuk yang paling bersemangat dalam kegiatan penanaman mangrove tersebut. Foto : Wahyu Chandra
Meski telah berusia lanjut Rusnawati, perempuan dari Desa Lampoko, Balusu, Kabupaten Barru, Sulsel termasuk yang paling bersemangat dalam kegiatan penanaman mangrove tersebut. Foto : Wahyu Chandra

Hartia, seorang warga menjelaskan fenomema angin kencang dan ombak tinggi juga dipicu suhu panas di pantai karena adanya PLTU di pantai Lampoko. “Dulu tidak seperti ini, tetapi setelah adanya PLTU sekitar 2007, ada perubahan terhadap iklim di sini,” katanya.

Kegiatan penanaman mangrove yang merupakan akhir program RCL Oxfam pada Agustus 2015 ini, juga dilakukan di Desa Lasitae dan Desa Lawallau, Kabupaten Barru, yang mangrovenya rusak karena konversi lahan.

“Mereka misalnya bikin tambak dua hektar, sekelingnya jadi rusak. Mangrove yang dulunya bergerombol mulai menipis karena ditebangi. Kalau mangrove tidak bergerombol akan mudah rusak oleh ombak.”

Penanaman mangrove untuk ketiga lokasi tersebut ditargetkan sekitar 360 ribu bibit di lahan sekitar 185 hektar. Di Desa Lasitae sendiri telah ditanam sekitar 7000 hektar, di Desa Lampoko sekitar 50 ribu hektar. Sisanya akan ditanam di Desa Lawallu.

“Namun, tidak semua mangrove itu kemudian langsung ditanam. Ada yang disisakan mengantisipasi kalau ada bibit mangrove yang telah ditanam hilang karena ombak,” katanya.

Tidak hanya orang dewasa, belasan anak sekolah di Desa Lampoko Desa Lampoko, Balusu, Kabupaten Barru, Sulsel turut ambil bagian dari aksi penanaman mangrove bersama orang tua mereka. Foto : Wahyu Chandra
Tidak hanya orang dewasa, belasan anak sekolah di Desa Lampoko Desa Lampoko, Balusu, Kabupaten Barru, Sulsel turut ambil bagian dari aksi penanaman mangrove bersama orang tua mereka. Foto : Wahyu Chandra

Desa Lampoko sendiri selama ini telah menjadi langganan penanaman mangrove, terlihat dengan beberapa petak penanaman mangrove yang dipagari dengan bambu. “Itu dari program BLHD provinsi tahun 2014 lalu, sekitar bulan November,” ungkap Tua.

Sebelumnya juga dilakukan beberapa kali penanaman, namun selalu gagal, karena dilakukan pada waktu yang tak tepat, yaitu ketika musim barat.

Pemerintah desa bahkan telah berapa kali menganggarkan penanaman mangrove tiap tahunnya, tetapi terkendala pencairan anggaran yang tidak tepat dengan waktu penanaman.

“Setiap tahun selalu dianggarkan tapi hasilnya tidak maksimal. Anggaran biasanya baru cair di akhir tahun, justru di musim barat. Program penanaman tetap dipaksakan, akhirnya banyak program penanaman yang gagal. Paling hanya berhasil 20 persen saja.”

Idealnya, menurut Tua, penanaman mangrove memang harus dilakukan ketika musim laut surut, seperti sekarang ini, sehingga keberhasilan mencapai 50-60 persen.

Untuk merawat mangrove, RCL Oxfam bersepakat dengan warga dan pemerintah mengawasi pertumbuhan bibit tersebut, seperti di Desa Lasitae.

“Kita bangun konsensus dengan warga, khususnya dengan kelompok dampingan Oxfam, dan pemerintah desa. Jadi akan ada semacam kontrol perkembangan pertumbuhan mangrove yang telah ditanami. Kalau ada yang rebah ditegakkan lagi, kalau ada yang hilang diganti dengan yang baru. Selain itu, program seperti ini akan menjadi bagian dari program desa setiap tahunnya.”

Hasilnya memang cukup positif karena setiap saat warga selalu mencatat perkembangan mangrove sesuai kesepakatan.

Banyaknya warga yang terlibat dalam proses penanaman mangrove ini diakui Tua di luar dugaannya. Awalnya dia mengkhawatirkan kurangnya keterlibatan warga karena tidak adanya insentif berupa uang atau biaya-biaya lainnya, seperti yang biasa terjadi pada program pemerintah.

“Ini memberikan harapan bahwa program penanaman ini bisa berhasil karena keikutsertaan warga secara sukarela.”

Ratna, seorang warga Lampoko lainnya, meski kini tidak lagi telibat dalam kelompok dampingan Oxfam namun sangat bersemangat mengikuti kegiatan penanaman ini. Meskipun lokasi penanaman ini agak jauh dari tempat tinggalnya.

“Ketika ada pengumuman akan ada penanaman mangrove ini saya langsung niatkan untuk ikut. Ini kan untuk desa kami juga, apalagi acaranya santai dan kumpul-kumpul dengan ibu-ibu lain.”

Hartia menaruh banyak harapan dengan adanya upaya rehabilitasi mangrove di desanya. Ia mengakui masih ingat keasrian pantai di Lampoko ketika dulu tegakan mangrove masih sangat banyak memenuhi kawasan pesisir.

“Dulu memang sangat padat mangrove nya di sini, seperti yang di sana itu, tapi memang sekarang pelan-pelan berkurang. Kita pun agak khawatir karena pantainya semakin masuk ke dalam. Mudah-mudahan dengan adanya penanaman ini bisa lebih baik lagi.”

Tidak hanya terkait ancaman akan semakin meluasnya degradasi pantai, keberadaan kawasan mangrove di Lampoko juga terkait dengan sumber penghidupan warga di sana. Keberadaan kawasan mangrove itu ternyata menjadi habitat utama kepiting, yang justru lebih banyak ketika musim ombak tinggi. Pada waktu tertentu kepiting bisa mudah ditemukan di sela-sela tanam mangrove yang masih tersisa.

“Kalau memang musimnya kita bisa dapat hingga tiga ember kepiting per hari. Kalau dijual bisa dapat hingga Rp 80 ribu per hari, sebagai tambahan penghasilan,” tandas Hartia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,