,

Peringati Hari Konservasi, Aktivis Di Sulut Suarakan Perlindungan Satwa

Pengetahuan masyarakat dan penegakan hukum yang belum maksimal dinilai jadi kendala perlindungan satwa. Sehingga, aktivis yang terlibat berupaya mengajak masyarakat untuk mengatahui  isu-isu konservasi, contohnya berhenti makan yaki (Macaca nigra) dan satwa dilindungi lainnya.

Oleh karena itu aktivis lingkungan berkumpul di pusat kota Bitung, Sulawesi Utara, pada Senin (10/08/2015), untuk memperingati hari konservasi. Dengan menyuarakan keterancaman satwa dilindungi dan berharap masyarakat mau melibatkan diri dalam isu-isu konservasi.

Sejumlah elemen yang terlibat dalam peringatah hari konservasi di antaranya, Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) dan Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau Airmadidi. Mereka membagikan pin, selebaran dan stiker perlindungan bertema perlindungan satwa di Sulut.

Dalam kurun setahun belakangan, sejumlah kasus perburuan satwa dilindungi memang sempat terpublikasi lewat jejaring sosial maupun media massa, baik lokal maupun nasional. Lewat publikasi tadi, yaki, menjadi satwa yang paling sering diburu. Pelakunya, datang dari berbagai lapisan, mulai dari masyarakat yang dikategorikan awam hingga terpelajar.

Meski informasi sudah merebak di jejaring sosial dan media massa, namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahui isu tersebut. Billy Gustavianto, Education Officer Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), menceritakan, dalam kegiatan itu pihaknya mendapat sejumlah pertanyaan terkait perlindungan satwa. “Memangnya, masih ada yang makan yaki?” demikian ia menirukan pertanyaan pengguna jalan.

Fenomena tadi membuat Billy menjabarkan sejumlah data dan fakta mengenai keterancaman satwa di Sulut, misalnya karena aksi perburuan, perdagangan serta untuk dipelihara.

Namun, ia mengaku senang melayani pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebab, informasi terkait pentingnya perlindungan satwa, secara tidak langsung, menjadi cara mengajak masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan konservasi.

“Harapannya, banyak yang makin sadar tentang perlunya konservasi. Kalau alam sudah seimbang, tidak perlu konservasi lagi,” kata Billy.

Hanya saja, ia melihat, isu konservasi belum menjadi isu prioritas. Upaya penegakan hukum, khususnya terkait perlindungan satwa, dinilai belum maksimal. “Peraturan sudah ada, hanya saja penegakan hukum masih terbilang lemah. Sekecil apapun kasus lingkungannya, efek jera harus diberikan. Jika hukum ditegakkan, maka akan berdampak bagus,” kata Billy.

Aksi hari konservasi nasional di pusat kota Bitung, Sulawesi Utara, pada Senin (10/08/2015). Aksi dilakukan sejumlah elemen seperti Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) dan Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau Airmadidi. Foto : Tasikoki Education
Aksi hari konservasi nasional di pusat kota Bitung, Sulawesi Utara, pada Senin (10/08/2015). Aksi dilakukan sejumlah elemen seperti Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST), Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT) dan Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau Airmadidi. Foto : Tasikoki Education

Nona Diko, koordinator lokal Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT), menambahkan, pemahaman masyarakat yang minim jadi kendala menyampaikan permasalahan konservasi. “Belum semua masyarakat tahu. Kami harus menjelaskan lagi bahwa di Sulut ada satwa di lindungi,” ungkapnya.

Lewat kegiatan itu, Nona menemukan, pengetahuan tentang perlindungan satwa justru dimiliki oleh pelajar SMA. Sejumlah siswa yang melintasi lokasi tak hanya memiliki ketertarikan yang tinggi, namun juga ikut menceritakan informasi yang mereka dengar sebelumnya.

“Komunikasi paling sulit menjelaskan pada masyarakat yang belum tahu soal konservasi. Lain dengan anak-anak SMA, yang bisa sharing tentang penyelamatan yaki. Mereka pernah mendengar dari teman-teman mereka soal kampanye penyelamatan satwa endemik sulut, mungkin dari Yayasan Selamatkan Yaki,” ujar Nona.

Ia memang tidak terlampau terkejut dengan fenomena tadi. Sebab, berdasarkan pengalaman Nona, tema-tema konservasi sudah banyak disampaikan pada siswa-siswi di kelas. Bukan hanya satwa, tapi juga terkait penggunaan kertas, tisu dan plastik. “Contohnya, di awal kegiatan belajar-mengajar di kelas, banyak anak yang pakai gelas air mineral dalam kemasan plastik. Tapi setelah dijelaskan prosesnya sudah tidak lagi.”

“Kami menjelaskan bahwa ada dampak lingkungan dari penggunaan plastik. Kemudian, data mengenai jumlah sampah plastik tiap tahunnya. Itu sesuai dengan materi pelajaran 1, yaitu pengetahuan dasar lingkungan.”

“Jadi, lewat aksi hari konservasi ini, kami berharap, semua elemen sadar bahwa konservasi bukan hanya di luar rumah, tapi bisa dimulai dari dalam rumah. Kurangi penggunaan sampah plastik, misalnya,” tambah Nona.

Maria Taramen, ketua Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau, menuturkan, masyarakat luas perlu melibatkan diri dalam menyelesaikan masalah konservasi di daerah. Sebab, jika keseimbangan ekologi terganggu, maka masyarakat sekitar yang akan langsung merasakan dampaknya.

Di sisi lain, Maria juga berharap, dukungan dan keterlibatan dari pemerintah daerah dalam isu-isu perlindungan satwa. Menurut dia, kendala konservasi di daerah, salah satunya karena penegakkan hukum yang lemah.

Ia menilai, pemerintah daerah harus memberi contoh pada masyarakat lewat penegakan hukum. “Di atas kertas ada perlindungan satwa, tapi penegakkan hukumnya minim. 30% perlindungnan satwa tidak jalan, banyak kasus yang lolos. Sebenarnya, aturan sudah melindungi, pemerintah tinggal jalankan,” tambah Maria.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,