,

Restorasi Lahan Gambut APP di Sumsel dan Jambi Dinilai Belum Cukup. Kenapa?

Asia Pulp & Paper Group (APP) merupakan perusahaan raksasa kehutanan, yang banyak beroperasi di lahan gambut di Indonesia. Kini mereka berinisiatif merestorasi 7.000 hektar kebun kayu komersil menjadi hutan gambut, yang terletak di lima kubah gambut di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Program tersebut bernama pengelolaan praktik terbaik gambut (Peatland Best Practice Management Programme). Salah satunya di wilayah gambut Sembilang-Berbak di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, dan  Jambi.

“Lahan gambut tersebut memang tidak boleh dikelola APP. Fakta ini menunjukkan kelemahan pemerintah dalam memberikan izin kepada perusahaan. Artinya saat memberikan izin, pemerintah tidak paham dan mengerti mana wilayah yang harus dijaga, dan tidak diperbolehkan dikelola oleh perusahaan kayu komersil maupun perkebunan, dan lainnya,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel), Jumat (14/08/15).

Bahkan dengan adanya upaya tersebut, sebaiknya pemerintah melakukan review izin terhadap penguasaan lahan oleh APP. “Kami percaya masih banyak lahan gambut yang dikuasai APP yang harus dikembalikan menjadi hutan gambut,” kata Hadi.

Aidil Fitrisyah dari Wahana Bumi Hijau (WBH) mempertanyakan indikator kubah gambut yang direstorasi berdasarkan penelitian yang dikepalai Deltares, konsultan Belanda dengan spesialisasi lahan basah dan yang terkait dengan itu.

Jika kedalaman kubah gambut itu 10 meter ke atas, kata Aidil, maka 7.000 hektar tersebut sangatlah kurang. Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), wilayah kubah gambut yang sudah ditanam perusahaan HTI dalam kelompok APP luasnya mencapai sekitar 10 ribu hektar. Sementara di Kabupaten Musi Banyuasin luasnya mencapai 7 ribu hektar.

“Jika kubah gambut itu kedalamannya 7 meter ke atas, maka sangat luas lahan yang dikonservasi,” kata Aidil, Jumat.

“Oleh karena itu sangatlah penting indikator penelitiannya. Itu dari kondisi lahan. Bagaimana dengan berbagai persoalan dengan masyarakat atau yang berkonflik? Hal tersebut juga harus menjadi pertimbangan atau indikator untuk melakukan konservasi lahan gambut,” ujar Aidil.

Lahan gambut sensitif antara konsesi APP di lansekap Berbak-Sembilang. Peta: Deltares

Seperti diberitakan sebelumnya inisiatif APP ini merupakan hasil dari protes panjang beberapa organisasi lingkungan kepada APP, dan merupakan bagian komitmen pengelolaan hutan berkelanjutan yang dimulai 2013. Kelola gambut best practice ini,  bisa menjadi contoh bagi pemerintah dan sektor swasta lain dalam memperbaiki gambut-gambut yang rusak di Kalimantan, Sumatera sampai Papua.

“Keputusan APP menyetop perkebunan komersial merupakan tonggak penting dalam pelaksanaan kebijakan konservasi hutan kami. Ini komitmen belum pernah terjadi sebelumnya,” kata  Aida Greenbury, Managing Director Sustainability APP, dalam pernyataan kepada media.

Namun, katanya, melindungi lansekap gambut seluas ini tidak bisa dilakukan sendiri hanya oleh APP. Upaya mendukung konservasi lansekap hutan dan gambut,  perlu menjadi tujuan bersama, baik pemerintah maupun perusahaan perkebunan lain.  “Ini harus bisa mengatasi hambatan sistemik bagi perlindungan hutan dan lahan gambut, mendukung restorasi dan memastikan peluang pengembangan bagi masyarakat.”

Program ini akan menggunakan pendekatan bertahap, yang dikepalai Deltares, konsultan Belanda dengan spesialisasi lahan basah dan yang terkait dengan itu.

Langkah awal program ini akan melibatkan pemetaan lahan gambut luas di Kalimantan Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, wilayah-wilayah konsesi perusahaan berada.

Deltares menggunakan pesawat LiDAR, teknologi penginderaan jarak jauh yang memanfaatkan laser untuk membangun tiga dimensi yang sangat akurat dari gambaran di bawah termasuk stuktur vegetasi, elevasi, dan tinggi air kanal untik mengerti  tingkat kedalaman lahan gambut, sebaik melihat tutupan hutan.

Lahan gambut dalam di antara konsesi APP di lansekap Berbak-Sembilang. Peta: Deltares

Dikutip dari Mongabay.com, pesawat terbang di ketinggian 11.000 kilometer dari transek, untuk menghasilkan model gambut komprehensif dari 4,5 juta hektar lahan, di konsesi APP dan sekitar.

Meskipun pemetaan tak selesai sampai tahun depan, namun temuan dasar sudah signifikan. Satu contoh, survei menemukan kawasan hutan utama yang tersisa di sepanjang pantai timur Sumatera semua merupakan gambut dalam. Dari lima hutan kubah gambut—merupakan gambut sangat dalam—empat di Riau, tak resmi dilindungi. Empat lainnya, berada di Berbak dan Taman Nasional Sembilang di Jambi dan Sumatera Selatan.

Menurut Deltares, dari hasil LiDAR, menunjukkan, konsesi-konsei APP berada di lima kubah gambut ini. Deltares pun merekomendasikan APP ‘mempensiunkan’ perkebunan mereka, terutama di daerah-daerah sensitif, seperti drainase dan gambut rusak yang memberikan dampak penting bagi hutan kubah gambut. APP pun mendengarkan rekomendasi itu, lantas mengumumkan inisiatif ini dengan menghentikan kebun-kebun di  Kerumutan, Riau dan empat area di lansekap Berbak-Sembilang di Jambi maupun di Sumatera Selatan.

“Mempensiunkan perkebunan aktif bukan keputusan mudah bagi setiap bisnis. Namun, mereka percaya langkah-langkah melindungi,  mengurangi dan menghindari emisi iklim dari lahan gambut, mendesak dan harus menjadi prioritas,” kata Aida. Meskipun dia sadar, perjalanan masih panjang.  “Kami harus banyak belajar, pengumuman hari ini terobosan besar.”

Menurut dia, upaya ini tak semudah menyekat kanal atau membiarkan ketinggian level air maupun mengembalikan tutupan hutan. Pertama, katanya, APP akan menjalankan proses persetujuan awal tanpa paksaan (Free and Prior Informed Consent (FPIC) dengan masyarakat lokal. Kemungkinan, kata Aida, ada beberapa masyarakat menolak penyekatan kanal yang mereka gunakan sebagai akses dan sarana transportasi.

Kedua, beberapa wilayah sudah sangat terdegradasi, yang berarti bahwa, perlu  perencanaan berhati-hati dan proses  restorasi yang mungkin difasilitasi dengan penanaman kembali. Upaya ini bisa menjadi contoh. Di beberapa lokasi, APP akan menggunakan pohon-pohon rawa lokal. Di bagian lain, akan membiarkan alam bekerja alias tanpa intervensi selain menebang pohon-pohon akasia.

Aljosja Hooijer, Kepala Program Deltares mengatakan, APP memiliki kesempatan unik untuk mendukung konservasi hutan gambut dan pengurangan emisi. “Pengumuman hari ini adalah langkah awal dari proses model baru pembangunan ke depan yang menerapkan praktik-praktik terbaik dalam pengelolaan gambut,” katanya.

Greenpeace, organisasi lingkungan yang keras mengkritik APP kini menjadi mitra kunci dan medukung upaya ini. “Proyek ini sangat penting bagi Indonesia,” kata Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Internasional di Indonesia kepada Mongabay.com.

Menurut dia, lahan gambut merupakan satu peluang terbesar dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, sejauh ini belum ada satupun ide bagus dalam mengelola gambut.

“Ini akan menjadi sorotan tajam tentang bagaimana mengatasi emisi lahan gambut dan bagaimana menangani perkebunan di lahan gambut.”

Dia berharap, upaya ini menjadi jalan  bagi pemerintah untuk membangun kebijakan lebih kuas di dalam pengelolaan gambut.

Melibatkan pemerintah sangat penting, melihat aturan soal gambut di Indonesia, termasuk PP 71 yang terbit 2014, cukup membingungkan dan membuka kemungkinan interpretasi. Ke depan, aturan ini mungkin menjadi lebih buruk. Sebab, ada makalah akademis yang terbit awal bulan ini oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengusulkan ekspansi signifikan drainase lahan gambut di Indonesia.

Hasil analisis Deltares di wilayah-wilayah gambut sensitif di antara konsesi APP. Sumber: Deltares
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,