Republik Indonesia sudah 70 tahun merdeka. Namun, masyarakat adat yang menjadi tulang punggung bangsa Indonesia kondisinya kian memprihatinkan. Ini dikarenakan berbagai kebijakan pembangunan yang telah merampas alat produksi utama mereka yakni hutan dan lahan.
“Kita sudah merdeka 70 tahun. Sudah saatnya masyarakat adat Indonesia merasakan kemerdekaan. Masyarakat adat Indonesia harus merdeka,” kata Rustandi Ardiansyah, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan dalam kegiatan sosialisasi lahirnya undang-undang dan peraturan daerah pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, di Kambang Iwak, Palembang, Minggu (16/8/15).
Bagaimana mencapai kemerdekaan tersebut? “Salah satunya dengan lahirnya undang-undang atau peraturan daerah yang mengakui dan melindungi masyarakat adat,” ujarnya.
Saat diskusi, Tarech Rasyid, pengamat sosial dan lingkungan hidup dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang menuturkan, selain mendorong lahirnya undang-undang maupun peraturan daerah terkait masyarakat adat, “Perlu juga pencabutan perundang-undangan pembubaran masyarakat adat, seperti pembubaran hukum Marga di Sumatera Selatan,” kata Tarech.
Artinya, UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa harus dicabut. “Sebab undang-undang tersebut telah mencabut hak-hak adat yang sebelumnya sudah tumbuh dan berkembang pada bangsa Indonesia selama ratusan tahun,” ujarnya.
Sementara di Sumatera Selatan yang perlu dicabut yakni Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga. “Jika Pemerintah Sumatera Selatan benar-benar berpihak pada masyarakat adat, cabut keputusan tersebut, dan lahirkan peraturan daerah yang melindungi dan mengakui masyarakat adat,” kata Tarech.
Perlu kajian
Guna mewujudkan undang-undang maupun peraturan daerah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, kata Tarech, tidak hanya mengandalkan Keputusan MK No.35 Tahun 2013. “Perlu dilakukan riset empiris dan normatif, sehingga draf yang dibuat sangat kuat,” katanya.
Ning Agustini dari bagian hukum Pemerintah Sumatera Selatan, mengatakan Pemerintah Sumatera Selatan sangat mendukung upaya pembuatan undang-undang maupun peraturan daerah tersebut. “Namun semuanya sesuai dengan Permendagri No.52 tahun 2014.”
Oleh karena itu, menurutnya, perlu dilakukan beberapa hal. Mengidentifikasi sistem peradilan adat atau hukum adat dan kekayaan adat atau hak ulayat secara lengkap, serta mengajukan usulan ke prolegnas dan pemerintah daerah atau kota.
Selain berdiskusi, AMAN Sumsel juga menarik dukungan dari masyarakat. Termasuk menggelar pertunjukkan musik dan pembacaan puisi. Dukungan dari masyarakat berupa tanda tangan yang isinya mendesak pemerintah segera melahirkan undang-undang maupun peraturan daerah terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Masyarakat yang memberikan dukungan umumnya mereka yang tengah melakukan olahraga di Kambang Iwak. “Lumayan, terkumpul 300 tanda tangan,” kata Yusri Arafat, selaku ketua panitia pelaksana kegiatan tersebut.
Yusri juga menjelaskan, hasil rekomendasi dari diskusi tersebut akan segera dijalankan. “Langkah pertama kita akan membentuk tim penyusunan naskah akademik untuk peraturan daerah terkait masyarakat adat, dan rekomendasi kepada pemerintahan Jokowi-JK,” ujarnya.
Sebagai informasi, persoalan masyarakat adat di Sumatera Selatan cukup menonjol. Selain persoalan kemiskinan, juga adanya tindak kriminalisasi terhadap sejumlah tokoh adat yang memperjuangankan tanah adatnya, seperti yang dialami Muhammad Nur bin Jakfar.